Senin, 19 September 2016

Cerita Rakyat tentang Leang Passea

Selamat malam para pencari ilmu, kata orang bijak setinggi-tingginya ilmu jikalau tidak dibagikan kepada sesama maka apalah guna ilmu itu jikalau hanya dikonsumsi oleh diri semata padahal jika orang banyak mengetahui ilmu tersebut justru akan menambah bahagia batin kita dan insyaAllah bermanfaat untuk kita semua. Sempat teringat dengan salah satu nasihat dari dosen matakuliah Metodologi Penelitian, beliau berkata bahwa sebaik2nya ilmu adalah ilmu yang bisa di pertanggungjawabkan karena dengan membagikan ilmu yang baik justru juga berdampak kepada amal jariah yang akan kita terima diakhirat kelak, lain halnya dengan mengshare ilmu yang tidak bisa kita pertanggungjawabkan yang justru akan menyesatkan para pembaca dan secara tidak langsung menambah dosa jahiriah kepada kita para pengshare ilmu seperti saya. Oke, beberapa minggu terakhir saya sedang berada di salah satu tempat asal orang tua jojola yakni desa Ara, kebetulan dirumah kami sedang membahas mengenai sejarah yang pernah terjadi di desa ini. Desa Ara merupakan salah satu desa yang berada di pinggiran kota Makassar. Jarak tempuh desa ini dari kota Makassar kira-kira memakan waktu 6-7 jam lamanya. Secara lengkap, desa ini merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupateten Bulukumba, Kecamatan Bontobahari. 

Membahas tentang sejarah, tidak terlepas dari cerita-cerita rakyat yang masih teringat dan membekas di dalam benak masyarakat sekitar terkait dengan insiden maupun kejadian yang terjadi di masanya. Cerita rakyat kali ini diangkat dari kisah sebuah Gua tua yang berada di dekat pantai Ara, yang dikenal sebagai gua Leang Passea. Leang Passea berasal dari kata ‘Liang=Lubang’ dan “Passea=Pedis”, beberapa literature mengartikan gua ini sebagai tempat orang bersedih. Gua ini merupakan salah satu Gua yang konon digunakan  masyarakat setempat untuk persembunyian para penduduk di zaman koloneal yang berdasarkan sejarah terjadi di masa pengaruh Portugis di Indonesia, dimana orang Portugis memperalat suku Seram sebagai pasukan pembunuh yang tak bermoral. Akibat kekejaman suku Seram, orang-orang yang berada di sekitar Kerajaan Tiro sangat takut pada suku Seram dan dijadikanlah leang tersebut sebagai tempat perlindungan.  Selain itu, gua ini juga biasa digunakan sebagai tempat persebunyian dalam menghindari bangsa cannibal yang dipercaya merupakan bangsa yang berasal dari daerah timur Indonesia. 

       Selama bertahun-tahun tempat ini merupakan rumah bagi mereka yang ingin menghindari bahaya karena selain tempatnya yang aman dan tidak mudah terjangkau, tempat ini juga sangat jauh dari pemukiman sehingga mereka dapat menghindari marabahaya. Malang tak dapat di tolak, meskipun dirasa merupakan tempat persembunyian yang aman, tidak menutup kemungkinan para cannibal dapat menemukan mereka. Konon mereka yang ditemukan  sedang bersembunyi di gua tersebut akan langsung menjadi santapan para cannibal yang memburu mereka. Di dalam gua passea terdapat tiga buah peti mati yang terbuat dari kayu dengan panjang peti mati sekitar 2 meter dan lebar sekitar 0,5 meter dan tergeletak begitu saja di lantai gua dengan kerangka manusia yang sudah cerai berai, sebelumnya Peti mati tersebut jumlahnya puluhan dan tergantung di langit-langit gua, namun gua Passea tidak luput dari pengerusakan banyak situs-situs di sulawesi oleh gerombolan DI/TII pada tahun 1960-an. Selain itu, peti mati ini jumlahnya tersisa tiga buah karena orang-orang yang tidak bertanggung jawab menjualnya kepada kolektor benda-benda prasejarah, dari salah satu situs mengatakan jika peti mati ini di jual kepada warga asing yang berkunjung ke Bulukumba. Selain itu kita akan menemukan pecahan gerabah dan penggalian yang tersebar hampir di setiap sudut gua.
Leang Passea bisa dikatakan sebagai tinggal sekaligus makam bagi mereka yang menghuni gua tersebut, hal ini dapat diketahui dari banyaknya tulang belulang yang diketemukan digua tersebut. Selain itu juga di gua tersebut ditemukan sebuah sampan yang tidak diketahui siapa pemilik dan bagaimana bisa berada di dalam gua tersebut, karena faktanya bahwa digua tersebut tidak terdapat air maupun kolam, selain itu juga lokasi tersebut lumayan jauh dari pesisir pantai jadi kecil kemungkinan yang timbul apabila sampan tersebut terseret arus maupun dijadikan sebagai alat transportasi di masa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...