Selamat
malam para pencari ilmu, kata orang bijak setinggi-tingginya ilmu jikalau tidak
dibagikan kepada sesama maka apalah guna ilmu itu jikalau hanya dikonsumsi oleh
diri semata padahal jika orang banyak mengetahui ilmu tersebut justru akan
menambah bahagia batin kita dan insyaAllah bermanfaat untuk kita semua. Sempat
teringat dengan salah satu nasihat dari dosen matakuliah Metodologi Penelitian,
beliau berkata bahwa sebaik2nya ilmu adalah ilmu yang bisa di pertanggungjawabkan
karena dengan membagikan ilmu yang baik justru juga berdampak kepada amal
jariah yang akan kita terima diakhirat kelak, lain halnya dengan mengshare ilmu
yang tidak bisa kita pertanggungjawabkan yang justru akan menyesatkan para
pembaca dan secara tidak langsung menambah dosa jahiriah kepada kita para
pengshare ilmu seperti saya. Oke, beberapa minggu terakhir saya sedang berada
di salah satu tempat asal orang tua jojola yakni desa Ara, kebetulan dirumah
kami sedang membahas mengenai sejarah yang pernah terjadi di desa ini. Desa Ara
merupakan salah satu desa yang berada di pinggiran kota Makassar. Jarak tempuh
desa ini dari kota Makassar kira-kira memakan waktu 6-7 jam lamanya. Secara lengkap,
desa ini merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupateten Bulukumba, Kecamatan
Bontobahari.
Membahas
tentang sejarah, tidak terlepas dari cerita-cerita rakyat yang masih teringat
dan membekas di dalam benak masyarakat sekitar terkait dengan insiden maupun kejadian
yang terjadi di masanya. Cerita rakyat kali ini diangkat dari kisah sebuah Gua
tua yang berada di dekat pantai Ara, yang dikenal sebagai gua Leang Passea. Leang
Passea berasal dari kata ‘Liang=Lubang’ dan “Passea=Pedis”, beberapa literature
mengartikan gua ini sebagai tempat orang bersedih. Gua ini merupakan salah satu
Gua yang konon digunakan masyarakat
setempat untuk persembunyian para penduduk di zaman koloneal yang berdasarkan sejarah
terjadi di masa pengaruh Portugis di Indonesia, dimana orang Portugis
memperalat suku Seram sebagai pasukan pembunuh yang tak bermoral. Akibat
kekejaman suku Seram, orang-orang yang berada di sekitar Kerajaan Tiro sangat
takut pada suku Seram dan dijadikanlah leang tersebut sebagai tempat
perlindungan. Selain itu, gua ini juga
biasa digunakan sebagai tempat persebunyian dalam menghindari bangsa cannibal
yang dipercaya merupakan bangsa yang berasal dari daerah timur Indonesia.
Selama bertahun-tahun tempat ini merupakan rumah bagi mereka yang ingin
menghindari bahaya karena selain tempatnya yang aman dan tidak mudah
terjangkau, tempat ini juga sangat jauh dari pemukiman sehingga mereka dapat
menghindari marabahaya. Malang tak dapat di tolak, meskipun dirasa merupakan
tempat persembunyian yang aman, tidak menutup kemungkinan para cannibal dapat
menemukan mereka. Konon mereka yang ditemukan sedang bersembunyi di gua
tersebut akan langsung menjadi santapan para cannibal yang memburu mereka. Di
dalam gua passea terdapat tiga buah peti mati yang terbuat dari kayu dengan
panjang peti mati sekitar 2 meter dan lebar sekitar 0,5 meter dan tergeletak
begitu saja di lantai gua dengan kerangka manusia yang sudah cerai berai,
sebelumnya Peti mati tersebut jumlahnya puluhan dan tergantung di langit-langit
gua, namun gua Passea tidak luput dari pengerusakan banyak situs-situs di
sulawesi oleh gerombolan DI/TII pada tahun 1960-an. Selain itu, peti mati ini
jumlahnya tersisa tiga buah karena orang-orang yang tidak bertanggung jawab
menjualnya kepada kolektor benda-benda prasejarah, dari salah satu situs
mengatakan jika peti mati ini di jual kepada warga asing yang berkunjung ke
Bulukumba. Selain itu kita akan menemukan pecahan gerabah dan penggalian yang
tersebar hampir di setiap sudut gua.
Leang
Passea bisa dikatakan sebagai tinggal sekaligus makam bagi mereka yang menghuni
gua tersebut, hal ini dapat diketahui dari banyaknya tulang belulang yang
diketemukan digua tersebut. Selain itu juga di gua tersebut ditemukan sebuah
sampan yang tidak diketahui siapa pemilik dan bagaimana bisa berada di dalam
gua tersebut, karena faktanya bahwa digua tersebut tidak terdapat air maupun
kolam, selain itu juga lokasi tersebut lumayan jauh dari pesisir pantai jadi kecil
kemungkinan yang timbul apabila sampan tersebut terseret arus maupun dijadikan
sebagai alat transportasi di masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar