Marapu
merupakan kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat sumba terkhususnya di
Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dari segi
etimologis, istilah Marapu merupakan gabungan dua kata yang apabila dipecah
dapat menimbulkan makna yang berbeda-beda. Menurut L. Ovlee (dalam
Wellem, 2001) kata Marapu dianggap berasal dari dua kata, yakni ma dan rappu.
Ma bermakna “yang” dan rappu bermakna “dihormati”, “disembah”, dan “didewakan”.
Oleh karena itu, marapu merujuk pada arti sesuatu yang dihormati, disembah,
atau didewakan.
A.
A. Yewangoe (1980:52) berpendapat bahwa marapu merupakan gabungan dari kata ma
(yang) dan rappu (tersembunyi), sehingga kata marapu bermakna “yang
tersembunyi”. Selain itu, Yewangoe juga memperkirakan bahwa marapu berasal dari
mera (sama/serupa) dan appu (nenek moyang). Dalam istilah sehari-hari,
masyarakat Sumba memang biasa menyebut nenek moyang mereka dengan sebutan
marapu. Adapun yang dimaksud dengan Kepercayaan Marapu ialah sistem keyakinan
yang berdasarkan kepada pemujaan terhadap arwah-arwah leluhur. Premis dasar
dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa, sesuatu yang bersifat
supernatural, dan kekuatan supranatural (Djawa, 2014). Dalam artinya pemujaan
didalam religi tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan kehidupan
sehari – hari dan kekuatan alam lain.
Dalam
kacamata Yewangoe (1980), kepercayaan Marapu dapat dikelompokkan kepada
agama-agama alam, sebab di dalam agama ini kuasa dan kekuatan alam sangat
dihormati dan mengambil peran penting dalam konsep kepercayaannya. Meminjam
pengelompokan Mariasusai Dhavamony (1995) tentang bentuk-bentuk “agama
primitif”, maka agama Marapu dapat dikelompokkan sebagai agama yang berbasis
pada animisme dan pemujaan terhadap leluhur. Walaupun dalam budaya Sumba tidak
dikenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup
dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini
disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diucapkan atau
diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan dengan diiringi nyanyian adat. Masyarakat
Sumba juga mengenal ilah tertinggi sebagai Pande Peku Tamu – Pande Yura
Ngara (ia yang tidak diketahui namanya). Meskipun dijuluki sebagai “yang
tidak diketahui namanya”, namun pada kenyataannya masyarakat Sumba menamai ilah
tertinggi tersebut dengan sebutan Anatala. Menurut penyelidikan Kapita (dalam
Wellem, 2004:42), nama Anatala kemungkinan dipengaruhi oleh konsep Islam yang
menyebut Tuhan dengan sebutan Allah Ta’ala. Konsep ini mungkin dibawa
oleh orang Ende (Flores) dan Bima (Sumbawa) yang telah masuk Islam yang
melakukan hubungan politik maupun perdagangan dengan orang Sumba jauh sebelum
orang Eropa datang menguasai Pulau Sumba sekitar abad ke-19. Nama ilah
tertinggi tersebut dianggap keramat dan mempunyai kekuatan magis, sehingga
dilarang disebut sembarangan karena dapat menimbulkan malapetaka. Oleh sebab
itu, dalam bahasa sehari-hari, masyarakat Sumba mengganti nama Anatala
dengan menyebut sifat-sifat ketuhanannya, misalnya dengan perkataan Mawulu
Tau – Majii Tau (ia yang menciptakan manusia), Ina Nuku – Ama Hara
(sumber dari segala aturan), dan sebutan-sebutan penghormatan lainnya (Wellem,
2004:42-43). Dari konsepsi masyarakat Sumba ini dapat digambarkan bahwa
eksistensi Tuhan sangat dibedakan dengan manusia, baik karena sifatnya yang
adikodrati maupun tempatnya yang jauh di atas sana.
Jalinan
komunikasi dengan Tuhan hanya dapat terjadi dengan perantara arwah nenek
moyang, yaitu para marapu. dan melalui marapu pula Hupu Ima – Hupu Ana
mengirimkan pesan atau jawaban atas permohonan tersebut. Sebagaimana dibahas
pada bagian sebelumnya, marapu adalah kelompok manusia pertama yang turun dari
langit untuk menetap di bumi. Sebagai generasi pertama yang turun dari langit,
marapu dianggap sebagai makhluk yang mewarisi sifat-sifat adikodrati. Untuk
menghormati para marapu, masyarakat Sumba membuat simbol berupa benda-benda,
seperti tombak, benda-benda dari emas, gong, gading, manik-manik, dan
benda-benda khusus lainnya. Benda-benda ini dianggap sebagai obyek fetis,
dikeramatkan, dan tidak sembarang orang dapat menyentuhnya. Hanya para rato
yang boleh memegangnya dalam suatu upacara keagamaan. Marapu penting karena
dapat menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan. Selain itu, ia telah
mewakili Tuhan dalam tugas-tugas menolong atau menghukum manusia. Jika marapu
dipuja, maka ia akan memberikan pertolongan, perlindungan, dan keselamatan.
Begitu juga sebaliknya, jika ia tidak disembah akan menimbulkan malapetaka.
Di
samping percaya terhadap roh para leluhur, masyarakat Sumba juga meyakini
adanya roh-roh halus yang dapat menolong atau mencelakakan kehidupan manusia.
Roh-roh halus ini mendiami tempat-tempat tertentu. Seperti diutarakan oleh
Dhavamony (1995), kepercayaan terhadap roh merupakan kebutuhan untuk menangkal
kejahatan, musibah, atau untuk menjamin keselamatan. Di dalam pemujaan terhadap
roh terdapat komunikasi antara manusia kepada roh, yaitu permohonan manusia
untuk diberikan keselamatan.
Masyarakat
sumba percaya bahwa Jika seorang individu membuat kesalahan dengan
nenek moyangnya, anggota klan lain mungkin menderita kemalangan (Yewangoe, 1980).
Namun, ketika manusia tidak memperhatikan nenek moyang
mereka, bencana dapat mengganggu para anggota klan (Twikromo,
2008). Di dalam masyarakat Sumba dapat tidak ada satu segi kehidupan yang
tidak diliputi oieh rasa keagamaan. Sudah sejak lahir seseorang dipersiapkan
untuk melayani kepentingan marapu-nya. Anak-anak selalu dibawa untuk turut
serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi sesaji
yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh marapu. Hal
demikian menunjukkan bahwa semua perilaku maupun kegiatan yang dilaksanakan
oleh penganut marapu sangat perilakunya sehari-hari.
Djawa
(2014) menjelaskan kepercayaan marapu segala perilaku yang dilakukan akan di
saksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang di tujukan melalui kalimat-kalimat
kiasan Na Mailu Paniningu Na Mangadu Katandakungu yang artinya (Yang
Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala
perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia). Hampir semua segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan
sehingga bisa dikatakan agama Marapu menjadi inti dari kebudayaan mereka. Dengan
demikian kepercayaan Marapu masih dipegang hingga kini meskipun beberapa
penduduk telah memeluk agama lain seperti Kristen dan Islam ( Hariyanto, dkk.
2012 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar