Minggu, 23 Juli 2017

Konsep Kepercayaan Marapu Di Pulau Sumba

Marapu merupakan kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat sumba terkhususnya di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dari segi etimologis, istilah Marapu merupakan gabungan dua kata yang apabila dipecah dapat menimbulkan makna yang berbeda-beda.  Menurut L. Ovlee (dalam Wellem, 2001) kata Marapu dianggap berasal dari dua kata, yakni ma dan rappu. Ma bermakna “yang” dan rappu bermakna “dihormati”, “disembah”, dan “didewakan”. Oleh karena itu, marapu merujuk pada arti sesuatu yang dihormati, disembah, atau didewakan.
A. A. Yewangoe (1980:52) berpendapat bahwa marapu merupakan gabungan dari kata ma (yang) dan rappu (tersembunyi), sehingga kata marapu bermakna “yang tersembunyi”. Selain itu, Yewangoe juga memperkirakan bahwa marapu berasal dari mera (sama/serupa) dan appu (nenek moyang). Dalam istilah sehari-hari, masyarakat Sumba memang biasa menyebut nenek moyang mereka dengan sebutan marapu. Adapun yang dimaksud dengan Kepercayaan Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan terhadap arwah-arwah leluhur. Premis dasar dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa, sesuatu yang bersifat supernatural, dan kekuatan supranatural (Djawa, 2014). Dalam artinya pemujaan didalam religi tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan kehidupan sehari – hari dan kekuatan alam lain.
Dalam kacamata Yewangoe (1980), kepercayaan Marapu dapat dikelompokkan kepada agama-agama alam, sebab di dalam agama ini kuasa dan kekuatan alam sangat dihormati dan mengambil peran penting dalam konsep kepercayaannya. Meminjam pengelompokan Mariasusai Dhavamony (1995) tentang bentuk-bentuk “agama primitif”, maka agama Marapu dapat dikelompokkan sebagai agama yang berbasis pada animisme dan pemujaan terhadap leluhur. Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan dengan diiringi nyanyian adat. Masyarakat Sumba juga mengenal ilah tertinggi sebagai Pande Peku Tamu – Pande Yura Ngara (ia yang tidak diketahui namanya). Meskipun dijuluki sebagai “yang tidak diketahui namanya”, namun pada kenyataannya masyarakat Sumba menamai ilah tertinggi tersebut dengan sebutan Anatala. Menurut penyelidikan Kapita (dalam Wellem, 2004:42), nama Anatala kemungkinan dipengaruhi oleh konsep Islam yang menyebut Tuhan dengan sebutan Allah Ta’ala. Konsep ini mungkin dibawa oleh orang Ende (Flores) dan Bima (Sumbawa) yang telah masuk Islam yang melakukan hubungan politik maupun perdagangan dengan orang Sumba jauh sebelum orang Eropa datang menguasai Pulau Sumba sekitar abad ke-19. Nama ilah tertinggi tersebut dianggap keramat dan mempunyai kekuatan magis, sehingga dilarang disebut sembarangan karena dapat menimbulkan malapetaka. Oleh sebab itu, dalam bahasa sehari-hari, masyarakat Sumba mengganti nama Anatala dengan menyebut sifat-sifat ketuhanannya, misalnya dengan perkataan Mawulu Tau – Majii Tau (ia yang menciptakan manusia), Ina Nuku – Ama Hara (sumber dari segala aturan), dan sebutan-sebutan penghormatan lainnya (Wellem, 2004:42-43). Dari konsepsi masyarakat Sumba ini dapat digambarkan bahwa eksistensi Tuhan sangat dibedakan dengan manusia, baik karena sifatnya yang adikodrati maupun tempatnya yang jauh di atas sana.
Jalinan komunikasi dengan Tuhan hanya dapat terjadi dengan perantara arwah nenek moyang, yaitu para marapu. dan melalui marapu pula Hupu Ima – Hupu Ana mengirimkan pesan atau jawaban atas permohonan tersebut. Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, marapu adalah kelompok manusia pertama yang turun dari langit untuk menetap di bumi. Sebagai generasi pertama yang turun dari langit, marapu dianggap sebagai makhluk yang mewarisi sifat-sifat adikodrati. Untuk menghormati para marapu, masyarakat Sumba membuat simbol berupa benda-benda, seperti tombak, benda-benda dari emas, gong, gading, manik-manik, dan benda-benda khusus lainnya. Benda-benda ini dianggap sebagai obyek fetis, dikeramatkan, dan tidak sembarang orang dapat menyentuhnya. Hanya para rato yang boleh memegangnya dalam suatu upacara keagamaan. Marapu penting karena dapat menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan. Selain itu, ia telah mewakili Tuhan dalam tugas-tugas menolong atau menghukum manusia. Jika marapu dipuja, maka ia akan memberikan pertolongan, perlindungan, dan keselamatan. Begitu juga sebaliknya, jika ia tidak disembah akan menimbulkan malapetaka.
Di samping percaya terhadap roh para leluhur, masyarakat Sumba juga meyakini adanya roh-roh halus yang dapat menolong atau mencelakakan kehidupan manusia. Roh-roh halus ini mendiami tempat-tempat tertentu. Seperti diutarakan oleh Dhavamony (1995), kepercayaan terhadap roh merupakan kebutuhan untuk menangkal kejahatan, musibah, atau untuk menjamin keselamatan. Di dalam pemujaan terhadap roh terdapat komunikasi antara manusia kepada roh, yaitu permohonan manusia untuk diberikan keselamatan.
Masyarakat sumba percaya bahwa Jika seorang individu membuat kesalahan dengan nenek moyangnya, anggota klan lain mungkin menderita kemalangan (Yewangoe, 1980). Namun, ketika manusia tidak memperhatikan nenek moyang mereka, bencana dapat mengganggu para anggota klan (Twikromo, 2008). Di dalam masyarakat Sumba dapat tidak ada satu segi kehidupan yang tidak diliputi oieh rasa keagamaan. Sudah sejak lahir seseorang dipersiapkan untuk melayani kepentingan marapu-nya. Anak-anak selalu dibawa untuk turut serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi sesaji yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh marapu. Hal demikian menunjukkan bahwa semua perilaku maupun kegiatan yang dilaksanakan oleh penganut marapu sangat perilakunya sehari-hari.
Djawa (2014) menjelaskan kepercayaan marapu segala perilaku yang dilakukan akan di saksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang di tujukan melalui kalimat-kalimat kiasan Na Mailu Paniningu Na Mangadu Katandakungu yang artinya (Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia). Hampir semua segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan sehingga bisa dikatakan agama Marapu menjadi inti dari kebudayaan mereka. Dengan demikian kepercayaan Marapu masih dipegang hingga kini meskipun beberapa penduduk telah memeluk agama lain seperti Kristen dan Islam ( Hariyanto, dkk. 2012 )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...