Kluckhohn dalam Pelly (1994)
mengemukakan bahwa nilai budaya merupakan sebuah konsep beruanglingkup luas
yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai
apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain
saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya. Secara fungsional sistem nilai ini mendorong
individu untuk berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa
hanya dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam
Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara
emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan
hidup yang diperjuangkan. Sejak kecil seorang individu telah diresapi dengan
nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsep – konsep itu tekah berakar
didalam mentalitasnya. Oleh
karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu.
Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya
Dapat pula dikatakan bahwa sistem nilai budaya suatu masyarakat merupakan wujud
konsepsional dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di
atas para individu warga masyarakat itu. Sistem nilai budaya juga berfungsi sebagai pedoman
orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidupnya.
Ada lima
masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan
secara universal. Menurut Kluckhon dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok
tersebut adalah : (1) Human Nature atau makna hidup manusia, (2) Man Nature
atau persoalan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, (3) Persoalan Waktu,
atau persepsi manusia terhadap waktu, (4) persoalan aktivitas “Activity”,
persoalan mengenai pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia, dan (5)
persoalan relasi “Relationality” atau hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Dalam kaitannya dengan masalah Human Nature, ada kebudayaan-kebudayaan yang
menganggap bahwa hidup adalah suatu sumber keprihatinan dan derita, yang selalu
hari diingat dan disadari oleh manusia (ini adalah apa yang oleh Kluckhohn
dirumuskan dengan kata evil). Dalam banyak kebudayaan terdapat konsep lain pula
mengenai hidup, yakni bahwa hidup adalah sumber kesenangan maupun segala hal
yang indah dan bermakna, dan bahwa manusia wajib menjalani hidupnya dengan
penuh kegairahan ( ini adalah apa yang oleh Kluckhohn dirumuskan dengan kata
good ). Dalam berbagai kebudayaan lain pula, hidup orang dianggap sudah
ditentukan oleh nasib dan tidak dapat diubah, sementara ada kebudayaan yang
mempunyai konsepsi bahwa setiap manusia dapat berupaya untuk menyesuaikan
hidupnya dengan kehendaknya sendiri.
Berkenaan dengan soal Man Nature, banyak kebudayaan mengkonsepsikan
alam sebagai hal yang demikian dahsyat dan sempurnanya, sehingga manusia
sepatutnya tunduk saja kepadanya ( subjucation to nature, menurut Kluckhohn ).
Sebaliknya ada kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya sejak usia yang muda
sekali bahwa walaupun alam bersifat ganas dan sempurna, namun nalar manusia
harus mampu menjagai rahasia-rahasianya dan akhirnya menaklukan dan
memanfaatkanya guna keperluan ( mastery over nature ). Suatu nilai budaya yang
mempunyai orientasi seperti itu telah memberi motivasi bagi berkembangnya sains
dan teknologi, terutama dalam kebudayaan bangsa-bangsa Eropa Barat dan Amerika.
Namun banyak pula yang tidak mengajarkan warganya untuk tunduk kepada alam dan
untuk berusaha menguasainya, melainkan untuk hidup selaras dengannya ( harmony
with nature ).
Dalam kaitanya dengan soal waktu , ada kebudayaan-kebudayaan yang para
warganya memntingkan masa sekarang ( present ), sementara banyak pula yang
warganya suka berorientasi ke masa depan ( future ). Dalam
kebudayaan-kebudayaan seperti yang tersebut terakhir, warganya biasanya ingat
bahwa ada dua kemungkinan : masa depan yang baik atau buruk. Karena itu manusia
yang hidup dengan persepsi seperti itu seringkali menyisihkan sebagian dari
keperluan hidupnya untuk digunakan
apabila sewaktu-waktu ia mengalami masa yang sulit. Manusia seperti itu
biasanya hidupnya wajar dan hemat.
Dalam kaitanya dengan soal mengenai
pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia, banyak kebudayaan menganggap bahwa
manusia bekerja untuk mencari makan, sama seperti semua kegiatan dan tingkah
laku binatang maupun mahluk-mahluk lain dalam alam semesta adalah untuk makan,
selain untuk bereproduksi. Hal ini adalah apa yang oleh Kluckhohn dirumuskan
dengan kata being. Sejumlah kebudayaan lain memberi makna yang lebih luas
kepada “bekerja”. Manusia, misalnya bekerja untuk beramal menolong orang lain
yang kurang beruntung atau untuk menghasilkan karya-karya agung. Banyak
kebudayaan lain telah mengajarkan kepada warganya bahwa manusia yang bekerja
keras kelak mendapat rakhmat Tuhan, sementara ada kebudayaan-kebudayaan yang
telah mengembangkan konsepsi bahwa kepuasan hidup terletak dalam bekerja dan
kualitas dari hasil kerjanya ( doing menurut Kluckhohn ).
Dan dalam kaitannya dengan Relationslity, banyak kebudayaan sejak awal
mengajarkan kepada warganya agar senantiasa hidup bergotong-royong dan agar
mereka selalu “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Kebudayaan-kebudayaan
dengan variasi orientasi nilai budaya seperti ini biasanya mementingkan
konsensus untuk kerjasama. Namun biasanya dalam kebudayaan seperti itu ada juga
orang-orang yang selain mementingkan gotong-royong dengan sesamanya
(collaterality), juga selalu mengacu kepada warga masyarakat yang senior,
berpangkat tinggi atau yang berasal dari golongan-golongan sosial yang tinggi.
Sebaliknya, banyak kebudayaan menekankan pada hak asasi dari setiap individu
yang menjadi warganya, yang tidak boleh diganggu-gugat oleh siapa pun. Dalam
kebudayaan semacam ini warganya biasanya sejak dini sudah diajarkan agar
bersikap mandiri, karena keberhasilannya dalam hidup harus diperoleh dengan
upayanya sendiri tanpa campur tangan orang lain individuality. (Supsiloani :
2008)
Berdasarkan
teori diatas dapat menjelaskan bahwa akuntabilitas yang dipertanggungjawabkan
oleh manusia yang sejak lahir telah memegang teguh dan berpedoman pada
nilai-nilai budaya daerah diharapkan dapat menjadikan akuntabilitas sebagai
sebuah kewajiban yang harus direalisasikan sesuai harapan masyarakat. Terkait dengan
lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan dapat berimplikasi
terhadap proses akuntabilitas, dimana hal ini sangat mempengaruhi sikap dan
wawasan pemerintah daerah tentang hakikat hidup, yang tidak hanya diperuntukkan
bekerja untuk kesenangan sendiri dengan
mendapatkan kekuasaan, status, jabatan dan kehormatan, tetapi bagaimana bekerja
untuk memperlihatkan sebuah prestasi atau karya-karya agung dengan orientasi
waktu yang tepat dengan tetap memperhatikan hubungan antar manusia sehingga
tercipta akuntabilitas yang tidak hanya dinilai sebagai pertanggungjawaban
namun juga sebagai apresiasi atas tindakan yang sejalan dengan keinginan
prinsipal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar