Syariah Enterprise Theory adalah enterprise
theory yang telah diinternalisasi dengan nilai- nilai Islam guna
menghasilkan teori yang transendental dan lebih humanis. Enterprise theory seperti telah dibahas oleh Meutia (2010),
merupakan teori yang mengakui adanya pertanggungjawaban tidak hanya kepada
pemilik perusahaan saja melainkan kepada kelompok stakeholders yang lebih luas. Enterprise
theory, menurut Triyuwono (2003), mampu mewadahi kemajemukan masyarakat (stakeholders), hal yang tidak mampu
dilakukan oleh proprietary theory dan
entity theory. Hal ini karena konsep enterprise theory menunjukkan bahwa
kekuasaan ekonomi tidak lagi berada disatu tangan (shareholders), melainkan berada pada banyak tangan, yaitu stakeholders. Oleh karena itu, enterprise theory ini lebih tepat untuk
suatu sistem ekonomi yang mendasarkan diri pada nilai nilai syariah. Hal ini
sebagaimana dinyatakan Triyuwono (2003, h.83) bahwa “diversifikasi kekuasaan
ekonomi ini dalam konsep syariah sangat direkomendasikan, mengingat syariah
melarang beredarnya kekayaan hanya di kalangan tertentu saja”. Namun demikian,
menurut Slamet (2001), enterprise theory
masih perlu diinternalisasi dengan nilai- nilai Islam agar dapat digunakan
sebagai teori dasar bagi suatu ekonomi dan akuntansi Islam.
Konsep Corporate Social Responsibility dalam
islam terdiri dari konsep zakat, konsep keadilan, konsep kemaslahatan, konsep
tanggung jawab dan konsep falah. Kemudian konsep tersebut terbentuk menjadi Syariah Enterprise Theory. Konsep
pertama mendorong kepada pemahaman bahwa dalam harta sebenarnya tersimpan hak
orang lain. Pemahaman ini tentu membawa perubahan penting dalam terminologi syariah enterprise theory yang
meletakkan premisnya untuk mendistribusikan kekayaan berdasarkan kontribusi
para partisipan, yaitu partisipan yang memberikan kontribusi keuangan atau
keterampilan. Pemikiran ini dilandasi premis yang mengatakan bahwa manusia
adalah khalifatullah fil ardh yang
membawa misi menciptakan dan mendistribusikan kesejahteraan bagi seluruh
manusia dan alam. Premis tersebut mendorong syariah
enterprise theory untuk mewujudkan nilai keadilan terhadap lingkungan
manusia dan alam. Oleh karena itu, syariah
enterprise theory akan membawa kemaslahatan bagi stockholders, stakeholders,
masyarakat dan lingkungan.
Dari beberapa diskusi telah
diketahui bahwa ET lebih sarat dengan nilai-nilai kapitalisme, sehingga
akuntansi syari’ah lebih cenderung pada Enterprise Theory (Baydoun and
Willett 1994; Triyuwono 2000). Namun demikian, Enterpise Theory perlu
dikembangkan lagi agar memiliki bentuk yang lebih dekat lagi dengan syari’ah.
Pengembangan dilakukan sedemikian rupa, hingga akhirnya diperoleh bentuk teori
dikenal dengan istilah Shari’ah Enterprise Theory (SET) (Triyuwono
2006). Sejalan dengan penjelasan
tersebut, Shari’ah Enterprise Theory merupakan Enterprise
Theory yang telah diinternalisasi dengan nilai-nilai Islam guna
menghasilkan teori yang transendental dan lebih humanis. Shari’ah Enterprise
Theory dapat dikatakan merupakan suatu socialintegration yang
berawal dari adanya kepentingan emansipatoris untuk membebaskan knowledge yang
selalu terperangkap dalam dunia materiil menjadi suatu knowledge yang
juga mempertimbangkan aspek non materiil. Aspek non materiil yang dimaksud
adalah aspek spiritual atau nilai-nilai Illahi (Purwitasari 2011).
SET yang dikembangkan berdasarkan
pada metafora zakat pada dasarnya memiliki karakter keseimbangan. Secara umum,
nilai keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara nilai-nilai
maskulin dan nilai-nilai feminin (Triyuwono 2000). SET menyeimbangkan nilai
egoistik (maskulin) dengan nilai altruistik (feminin), nilai materi (maskulin)
dengan nilai spiritual (feminin), dan seterusnya. Dalam syari’ah Islam, bentuk keseimbangan
tersebut secara konkrit diwujudkan dalam salah satu bentuk ibadah, yaitu zakat.
Zakat (yang kemudian dimetaforakan menjadi “metafora zakat”) secara implisit
mengandung nilai egoistik-altruistik, materi-spiritual, dan individu-jama’ah
(Triyuwono 2007). Konsekuensi dari nilai keseimbangan ini menyebabkan SET tidak
hanya peduli pada kepentingan individu, tetapi juga pihak-pihak lainnya. Oleh
karena itu, SET memiliki kepedulian yang besar pada stakeholders yang
luas. Menurut SET, stakeholders meliputi Tuhan, manusia, dan alam. Tuhan
merupakan pihak paling tinggi dan menjadi satu-satunya tujuan hidup manusia.
Dengan menempatkan Tuhan sebagai stakeholder tertinggi, maka tali
penghubung agar akuntansi syari’ah tetap bertujuan pada “membangkitkan
kesadaran keTuhanan” para penggunanya tetap terjamin. Konsekuensi menetapkan
Tuhan sebagai stakeholder tertinggi adalah digunakannya sunnatullah sebagai
basis bagi konstruksi akuntansi syari’ah. Intinya adalah bahwa dengan sunnatullah
ini, akuntansi syari’ah hanya dibangun berdasarkan pada tata-aturan atau
hukum-hukum Tuhan.
Stakeholder kedua dari SET adalah manusia. Di sini
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu direct-stakeholders dan indirect–stakeholders.
Direct-stakeholders adalah pihak-pihak yang secara langsung memberikan
kontribusi pada perusahaan, baik dalam bentuk kontribusi keuangan (financial
contribution) maupun non-keuangan (non-financial contribution). Karena
mereka telah memberikan kontribusi kepada perusahaan, maka mereka mempunyai hak
untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan. Sementara, yang dimaksud
dengan indirect-stakeholders adalah pihak-pihak yang sama sekali tidak
memberikan kontribusi kepada perusahaan (baik secara keuangan maupun
non-keuangan), tetapi secara syari’ah mereka adalah pihak yang memiliki hak
untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan.
Golongan stakeholder terakhir
dari SET adalah alam. Alam adalah pihak yang memberikan kontribusi bagi
mati-hidupnya perusahaan sebagaimana pihak Tuhan dan manusia. Perusahaan eksis
secara fisik karena didirikan di atas bumi, menggunakan energi yang tersebar di
alam, memproduksi dengan menggunakan bahan baku dari alam, memberikan jasa kepada
pihak lain dengan menggunakan energi yang tersedia di alam, dan lain-lainnya.
Namun demikian, alam tidak menghendaki distribusi kesejahteraan dari perusahaan
dalam bentuk uang sebagaimana yang diinginkan manusia. Wujud distribusi
kesejahteraan berupa kepedulian perusahaan terhadap kelestarian alam,
pencegahan pencemaran, dan lain-lainnya. Dari penjelasan singkat tersebut
secara implisit dapat dipahami bahwa SET tidak mendudukkan manusia sebagai
pusat dari segala sesuatu sebagaimana dipahami oleh antroposentrisme. Tapi
sebaliknya, SET menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segala sesuatu. Tuhan
menjadi pusat tempat kembalinya manusia dan alam semesta. Oleh karena itu,
manusia di sini hanya sebagai wakilNya (khalituLlah fil ardh) yang
memiliki konsekuensi patuh terhadap semua hukum-hukum Tuhan (Triyuwono 2007).
Shari’ah
Enterprise Theory memiliki
pandangan dalam distribusi kekayaan(wealth) atau nilai tambah (value
added) tidak hanya berlaku pada partisipan yang terkait langsung atau
partisipan yang memberikan kontribusi kepada operasi perusahaan (pemegang
saham, kreditur, karyawan, pemerintah), tetapi juga terhadap pihak lain yang
tidak tekait secara langsung terhadap operasi perusahaan. Dari penjelasan
tersebut, SET mengandung nilai-nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, amanah,
dan pertanggungjawaban (Hasanah 2015),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar