Pada dasarnya setiap teori
etika yang ada memiliki kesamaan, kesamaan tersebut terletak pada kajian aspek
moralitas, dimana moralitas hanya dikaji berdasarkan proses penalaran manusia
tanpa ada yang mengakui atau mengaitkannya dengan kekuatan tak terbatas (Tuhan).
Peschke
S.V.D (2003) mengungkapkan keterbatasan akan teori-teori yang telah ada, dimana
mereka tidak mengakui adanya kekuatan tak terbatas yaitu kekuatan Tuhan yang
ada dibelakang semua hakikat keberadaan alam semesta ini. Oleh karena itu
mereka keliru menafsirkan tujuan hidup manusia bukan hanya untuk memperoleh
kebahagiaan yang bersifat duniawi saja.
Teori etika teonom juga
merupakan salah satu teori yang dilandasi oleh filsafat Kristen. Teori ini
mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh
kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah (Matondang, 2015). Perilaku
manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan
perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan-aturan Allah
sebagaimana telah dituangkan dalam kitab suci. Teori Teonom adalah salah satu aliran moral
yang meletakkan dasar moralnya pada perintah Allah secara mutlak. Menurut
aliran ini Perintah Allah mutlak dijalankan oleh semua orang tanpa
pengecualian. Dalam tradisi agama abramik ini, Allah sendiri menawarkan suatu
hukum yang sifatnya harus ditaati. Pada dasarnya Tuhan tidak memaksa manusia
untuk menerima hukum-hukum yang Ia tawarkan, karena manusia diciptakan secara
bebas tetapi secara mendasar, teori ini mengajarkan bahwa benar secara moral
apabila sesuai dengan perintah Allah, salah secara moral apabila tidak sesuai
Allah, dan sifatnya wajib atau mengikat bila diperintahkan Allah.
Etika ini terdiri dari dua
macam, yaitu Etika Teonom Murni dan Etika Hukum Kodrat. Etika teonom murni
mengajarkan bahwa tindakan dikatakan benar ( baik ) bila sesuai dengan kehendak
Allah, dan dikatakan salah (buruk) apabila tidak sesuai dengan kehendak-Nya.
Menurut teori ini Allah sama sekali bebas dalam menentukan apa yang harus kita
anggap buruk. Tugas manusia dalam hal ini adalah menerima apa yang diajarkan
Allah terhadapnya jangan sampai berpikir sendiri karena pikirannya tidak
berdaya. Sedangkan etika hukum kodrat mengatakan bahwa baik dan buruk
ditentukan oleh Allah semata-mata. Sesuatu dikatakan benar jika sesuai dengan
tujuan manusia atau sesuai dengan kodrat manusia. Thomas Aquinas, salah seorang
tokoh teori ini mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia karena Allah
menghendaki agar manusia ada. Dikatakan bahwa kodrat manusia mencerminkan
kehendak Allah Sang Pencipta. Karena itu manusia tinggal bertindak sesuai
dengan kodratnya yang baik baginya. Dengan demikian, ia sekaligus memenuhi
kehendak Allah. Ada sisi perbedaan teori ini dengan dua
teori sebelumnya. Dalam teori teonom yang menjadi ukuran adalah ketentuan dan
kehendak Tuhan, sehingga dengan sendirinya sumber ajarannya termaktub dalam kitab
suci masing-masing. Dalam keyakinan agama samawi, Tuhan tidak memberi wahyu
kepada semua orang, namun hanya diberikan kepada makhluk pilihan-Nya yang
disebut Nabi atau Rasul. Kepada orang-orang terpilih inilah Tuhan menurunkan
kitab suci-Nya sebagai petunjuk kepada masing-masing umatnya.
Bila pemikiran etika hanya
dikaitkan dengan tujuan manusia yang berorientasi duniawi yang bersifat
terbatas maka akan tampak bahwa ajaran moral etika tersebut akan selalu
bersifat relatif. Moralitas dikatakan
bersifat mutlak hanya bila moralitas itu dikaitkan dengan tujuan tertinggi
manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan dengan
pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui tingkat
kecerdasan rasional yang dimiliki manusia. Terlepas dari manusia mengakui
adanya Tuhan atau tidak, setiap manusia telah diberikan potensi kecerdasan tak
terbatas yang melampaui kecerdasan rasional. Tujuan tertinggi umat manusia
hanya dapat dicapai apabila potensi kecerdasan tak terbatas ini dimanfaatkan
(Agoes dan Ardana. 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar