A.
Asal Usul Bani Umayyah
Nama
Umayyah merujuk pada seorang Quraisy di masa Jahiliyah. Dia adalah
Umayyah bin Abdus Syam bin Abdi Manaf. Masih terhitung saudara dari Bani Hasyim
(keluarga besar Rasulullah SAW), karena Hasyim (ayah Abdul Muthalib) juga salah
satu Putra Abdi Manaf. Jadi, Abdi Manaf adalah kakek moyang kedua Bani
tersebut. Tetapi, sekalipun satu kakek moyangnya, sejak zaman Jahiliyah Bani
Umayyah juga tidak jarang mengganggu keberhasilan Bani Hasyim. Abdul
Muthalib, pemimpin Ka’bah saat itu, diganggu oleh Abdus Syam dan Umayyah.
Ketika menemukan kembali mata air zamzam, Umayyah dan bapaknya meminta
bagian agar dapat mengurusi mata air itu. Tetapi karena penduduk Mekkah tidak
berkenan dengan tindakan mereka itu, maka keluarga Abdus Syam tersebut
meninggalkan Mekkah menuju Damaskus karena merasa malu.
Pada
masa Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah, Bani
Umayyah merupakan keluarga kaya, terdidik dan berpengaruh. Salah satu dari
mereka adalah pemimpin Kaum Quraisy Mekkah. Dia adalah Abu Sufyan bin Harb bin
Umayyah. Kecintaannya kepada harta dan kekuasaan membuat dia dan keluarganya
tidak mau mengakui kebenaran Islam sebagai ajaran yang mulia. Oleh karena itu,
Abu Sufyan tidak mau tunduk terhadap ajakan Rasulullah SAW, bahkan terus
memusuhi. Aktivitas dakwah Rasulullah SAW yang dianggapnya akan mengubah
keadaan sosial, ekonomi, dan politik Mekkah, tentu merugikan para orang kaya,
termasuk Bani Umayyah. Untuk itu, berbagai cara dilakukan guna
menggagalkan gerakan reformasi yang dibangun Rasulullah SAW tersebut.
Sampai-sampai, cara-cara kekerasan (perang) pun mereka lakukan. Tercatat
beberapa perang besar (Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq) pasca
hijrah, melibatkan kepemimpinan Abu Sufyan.
Abu
Sufyan dan keluarga, akhirnya masuk Islam dengan terpaksa pada saat
berpuluh-puluh ribu kaum Muslimin mengepung Mekkah dari segala penjuru. Walapun
banyak sahabat tidak suka terhadap masuk Islamnya keluarga Abu Sufyan,
Rasulullah SAW tetap menghormati perubahan sikapnya. Kesalahan-kesalahannya
diampuni, bahkan Muawiyah putra Abu Sufyan diangkat sebagai sekretaris beliau
dan saudara perempuannya, Ummu Habibah diperistri oleh Beliau. Setelah beberapa
tahun bergabung sebagai kaum Muslimin, keluarga terdidik dan berpengaruh ini
ikut membesarkan Islam. Di masa Abu Bakar Sidiq, keluarga Abu Sufyan dan Bani
Umayyah merasa rendah diri karena kelas mereka berada di bawah kaum Muhajirin
dan Ansar. Mereka tahu diri bahwa perjuangan mereka belum apa-apa dibanding
dengan kedua kaum di atas. Apalagi di masa dahulu, mereka memusuhi perjuangan
Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka maklum ketika Khalifah
Abu Bakar menyatakan di depan umum bahwa keluarga besar Bani Umayyah harus ikut
berjuang membela Islam termasuk di medan perang, bila ingin setingkat dengan
kaum Muhajirin dan Ansar. Beberapa peperangan yang terjadi di masa Abu Bakar
ini anggota Bani Umayyah ikut serta dibarisan kaum Muslimin. Bahkan, Yazid bin
Abu Sufyan menjadi salah satu panglima untuk memimpin pasukan ke Syiria melawan
Bizantium.
Pada
masa Umar, ketika wilayah Islam semakin meluas dan membutuhkan banyak tenaga
administratif, sang Khalifah memanfaatkan tenaga-tenaga Bani Umayyah
yang umumnya terdidik untuk membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, Yazid dan
Muawiyah dipercaya untuk mengelolah wilayah Syiria. Kepercayaan Khalifah Umar
ini tidak disia-siakan oleh Bani Umayyah. Mereka bekerja dengan tekun
dan dikenal sukses dalam mengerjakan tugas-tugas administratif. Periode Umar
inilah awal mula Bani Umayyah menduduki posisi-posisi penting. Namun
karena kewibawaan sang Khalifah yang bersih dan berwibawa, mereka tidak berani
bertindak macam-macam, seperti korupsi dan sejenisnya.
Pada
masa Ustman, kebijakan mempekerjakan tenaga-tenaga Bani Umayyah seperti
masa Umar, tetap dilanjutkan. Bahkan Ustman mempercayai mereka untuk
jabatan-jabatan strategis. Enam tahun pertama, Ustman sukses membangun Negara.
Namun, pada enam tahun berikutnya, karena usia Ustman yang semakin uzur, maka
posisi Bani Umayyah semakin kuat. Melalui sekretaris Negara Marwan bin
Hakam yang juga salah satu anggota Bani Umayyah, mereka menempatkan
kroni-kroninya pada posisi strategis. Praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) dijalankan dengan penuh kesungguhan. Hal inilah yang menjadi awal
bencana hingga terbunuhnya Khalifah Ustman.
Pada
era Ali, keluarga Umayyah yang menjabat posisi-posisi penting pada
pemerintahan Ustman, semuanya dicopot. Kebijakan Ali yang keras inilah yang
mendorong mereka menentang pengangkatan Ali sampai membuat pecahnya Perang
Siffin. Namun, keberuntungan memang ada dipihak mereka pada saat Perang Siffin
mengangkat Muawiyah menjadi Khalifah tandingan. Bahkan lebih beruntung lagi
ketika Hasan bin Ali yang menggantikan kepemimpinan ayahnya mengakui Muawiyah
sebagai Khalifah yang sah di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Sejak itulah
mereka mulai membangun pemerintahan Islam warisan Rasulullah SAW dan para
sahabat tersebut menjadi pemerintahan milik keluarga besar Bani Umayyah.
B.
Corak Khas Pemerintahan Bani Umayyah
Pada
masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah adalah sosok pemimpin yang alim dalam ilmu
agama, sederhana dalam hidup, dan tanggung jawab kepada rakyatnya. Dia menjadi
imam di Masjid, sekaligus komandan di medan perang. Dia hidup sederhana dan
jauh dari sikap mewah. Bahkan, sebagai kepala Negara tidak ada pengawal yang
menjaga di sekitarnya. Karena baginya, hidup mati adalah urusan Allah. Adapun
untuk mengetahui denyut nadi keadaaan rakyatnya, hampir setiap malam seorang
Khalifah mengunjungi kehidupan rakyatnya. Keinginan dan kebutuhan rakyat harus
disaksikan dan dirasakan sendiri dengan cara seperti itu. Khalifah sadar bahwa
tanggung jawab sebagai pemimpin umat sangatlah berat.
Pada
masa kekuasaan Bani Umayyah, sikap hidup seperti itu tidak akan
ditemukan. Sejak Muawiyah memegang kekuasaan, gaya hidup seorang Khalifah sudah
berubah drastis. Muawiyah hidup di dalam benteng dengan pengawalan ketat dan
bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan
kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang
jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada
Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar
II). Hal lain yang berubah pada masa Bani Umayyah adalah fungsi dan
kedudukan Baitul Mal. Ketika era Khulafaur Rasyidin. Baitul Mal adalah harta
Negara yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun pada masa Bani
Umayyah, fungsi dan kedudukan Baitul Mal telah bergeser, sebab Khalifah
memiliki wewenang yang besar untuk menggunakan harta Baitul Mal sesuai
keinginannya. Kewenangannya, khalifah menggunakan harta tersebut untuk
kepentingan pribadi maupun keluarganya. Kecuali Khalifah Umar II, semua
Khalifah memperlakukan Baitul Mal seperti itu. Khalifah Umar II berusaha
mengembalikan fungsi dan kedudukan Baitul Mal sebagaimana yang dicontohkan oleh
para Khulafaur Rasyidin.
Bani
Umayyah juga
meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang dirintis oleh
pendahulunya. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah didampingi oleh sebuah
Dewan penasehat yang ikut berperan dalam setiap kebijakan-kebijakan penting
Negara. Lebih dari itu, seorang rakyat biasa pun dapat menyampaikan pendapatnya
tentang kebijakan Khalifah secara terbuka. Tradisi positif itu tidak
dilanjutkan oleh Muawiyah dan para penerusnya. Walapun lagi-lagi, Umar II
berusaha menghidupkan kembali tradisi tersebut, namun penguasa setelahnya
segera mengembalikan pada cara-cara kerajaan yang menempatkan sang raja di atas
segala-galanya. Satu hal yang memprihatinkan pada masa pemerintahan Bani
Umayyah adalah diabaikannya nilai-nilai ajaran Islam oleh para pejabat Negara
dan keluarganya. Mereka lebih suka hidup mewah, mengembangkan budaya KKN
(Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta tidak segan-segan menggunakan kekerasan
untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu direstui oleh sang
Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru menikmati kondisi
seperti itu.
Namun
demikian, ada pula kemajuan positif yang terjadi pada masa Bani Umayyah.
Di antaranya adalah bertambah luasnya daerah kekuasaan pemerintahan Islam yang
membentang dari Afganistan sampai Andalusia. Suksesnya politik ekspansi ini
menempatkan Islam menjadi kekuatan Internasional yang paling disegani di Timur
dan di Barat. Imbas positifnya, dakwah Islam cepat tersebar ke berbagai penjuru
dunia. Islam dapat tersebar dengan cepat dan meluas. Bahasa Arab menjadi bahasa
dunia, Masjid-masjid dibangun di setiap kota besar serta kegiatan pendalaman
agama dan pengembangan ilmu pengetahuan Islam semarak di mana-mana. Saat itu,
Daulah Bani Umayyah adalah sebuah Negara adikuasa di dunia. Sebagai
Negara besar, Daulah Bani Umayyah memiliki militer yang sangat kuat.
Tidak seperti para pejabat istana, kaum militer ini umumnya terdiri atas
orang-orang yang sederhana dan taat beribadah. Mereka berjuang bukan demi
Khalifah, melainkan demi tersiarnya Islam diseluruh penjuru bumi. Bagi mereka,
mati di medan perang adalah persembahan terbaik kepada Tuhan. Gugur di medan
laga adalah syahid di jalan Allah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemenangan
pasukan Islam di berbagai wilayah disebabkan oleh semangat seperti ini. Karena
itu, Bani Umayyah sangat terkenal dalam suksesnya politik ekspansi.
Salah satu kesuksesannya adalah mampu menembus hingga wilayah Spanyol.
C.
Perkembangan Islam di Masa Bani
Umayyah
Daulat
Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayyah pada
tahun 41 H.
Berdirinya
daulah ini, karena Muawiyah tidak mau meyakini kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Sehingga pada waktu itu terjadi perang saudara di antara umat Islam yaitu
anatar pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah. Dalam pertempuran yang sengit itu
banyak mengorbankan jiwa kaum muslimin, hingga pada akhirnya diadakan
perundingan.
Dalam
perundingan itu Ali mengutus Abu Musa Al-Asy’ari seorang ahli hukum, zakelyk
dan jujur. Sedang Muawiyah mengutus Amr bin Ash, seorang diplomat yang ulung,
cerdik dan pandai mengatur siasat. Dari perundingan tersebut keduanya
memutuskan akan menurunkan Ali serta Muawiyah dari kekhalifahan, dan untuk
selanjutnya khalifah akan diangkat oleh kaum muslimin.
Atas
kelicikan Amr bin Ash, maka Abu Musa dipersilahkan terlebih dahulu untuk
mengumumkan penurunan Ali dari jabatannya sebagai khalifah, dengan alasan
karena Abu Musa lebih tua usianya dari Amr bin Ash, maka sudah sepantasnyalah
diberi kesempatan yang pertama.
Sesudah
Abu Musa mengumumkan penurunannya Ali sebagai khalifah di hadapan kaum
muslimin, naiklah Amr bin Ash, dan berkata: “Wahai kaum muslimin tadi barulah
kita dengar bersama pernyataan dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa beliau pada hari
ini telah menurunlkan Ali bin Abi Thalib dari jabatannya sebagai khalifah.
Dengan kekosongan khalifah itu, maka pada hari ini saya mengangkat Muawiyah bin
Abi Sofyan sebagai khalifah”.
Sejak
itulah Muawiyah menjadi khalifah kaum muslimin secara resmi, meskipun diperoleh
dengan tidak wajar dan sekaligus menyimpang dari ajaran Islam.[1]
Sejak
berdirinya pemerintahan Bani Umayah pada tahun 661 M dimulai pula tradisi baru
dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem pemilihan secara demokratis yang
dikembangkan selama masa kekhalifahan ar-Rasyidin telah tidak dikenal lagi
dalam proses pemilihan khlaifah. Proses pergantian khalifah untuk seterusnya
dilakukan mengikuti sistem turun-temurun. Dalam literatur Islam sistem itu
dikenal sebagai Daulah Islamiyah, yang berarti kekuasaan Islam yang berciri
kedinastian atau ashobiyah.
Dalam
pada itu pemerintahan Islam yang ditegakkan dengan cara perebutan kekuasaan
oleh Muawiyah terhadap Khalifah Ali yang sah, harus tetap waspada terhadap
setiap pengkritik. Oleh karenanya selalu menaruh kecurigaan terhadap
kemungkinan terjadinya intrik istana maupun gerakan perlawanan terhadap
khalifah. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau Bani Umayyah menjadi
sangat kuat, sehingga berhasil menegakkan kekhalifahan Bani Umayyah selama 90
tahun. Selama itu pula telah memerintah 14 orang khalifah, sebagai berikut:
1. Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan
(661-689 M)
2. Khalifah Yazid I (680-683 M)
3. Khalifah Muawiyah II (683-684 M)
4. Khalifah Marwan I bin al-Hakam
(684-685 M)
5. Khalifah Abdul Malik (685-705 M)
6. Khalifah Al-Walid (705-715 M)
7. Khalifah Sulaiman (715-717 M)
8. KhalifahUmar bin Abdul Aziz (717-720
M)
9. Khalifah Yazid II (720-724 M)
10. Khalifah Hisyam (724-743 M)
11. Khalifah Al-Walid II (743-744 M)
12. Khalifah Yazid III dan Ibrahim
(744-744 M)
13. Khalifah Marwan II bin Muhammad
(744-750 M)[2]
D.
Tokoh-Tokoh Bani Umayyah
Empat
orang khalifah memegamg kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu Muawiyah, Abdul
Malik, al-Walid I, dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya
memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Para pencatat sejarah umumnya
sependapat bahwa khalihah-khalifah terbesar mereka ialah: Muawiyah, Abdul Malik
dan Umar bin Abdul Aziz.
1. Muawiyah adalah bapak pendiri
dinasti Umayah.
Muawiyah
adalah pembangun besar. Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafa ar-Rasyidin.
Bahkan kesalahannya yang mengkhianati prinsip pemilihan kepala negara oleh
rakyat, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya
yang mengagumkan. Muawiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan ibn Ali
ibn Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 41 H. Umat Islam sebagiannya
membaiat Hasan setelah ayahnya itu wafat. Namun Hasan menyadari kelemahannya
sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyah sehingga
tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah, tahun persatuan. Muawiyah menerima
kekhalifahan di Kufah dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Hasan, yakni:
a. Agar Muawiyah tiada menaruh dendam
terhadap seorang pun penduduk Irak.
b. Menjamin keamanan dan memaafkan
kesalahan-kesalahan mereka.
c. Agar pajak tanah negeri Ahwaz
diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
d. Agar Muawiyah membayar kepada
saudaranya, Husain, 2 juta dirham.
e. Pemberian kepada Bani Hasyim
haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syams.
Muawiyah
dibaiat oleh umat Islam di Kufah sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke
Madinah. Hasan wafat di kota Nabi itu tahun 50 H. diantara jasa-jasa Muawiyah
ialah mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap
di tiap pos. ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan mata uang), dan
lain-lain.[3]
Muawiyah
bin Abi Sufyan dapat menduduki kursi khalifah dengan berbagai cara dan tiga,
yaitu dengan ketajaman mata pedangnya, dengan siasatnya yang halus dan dengan
tipu muslihatnya yang amat licin. Bukanlah ia mendapat pangkat yang mulia itu
dengan ijma’ dan persetujuan umat Islam, melainkan karena licinnya jua.
Dengan
kenaikan Muawiyah, berakhirlah hukum syura, pilihan menurut hasil
permusyawaratan yang terbanyak, yang berlaku di zaman al-Khulafaur Rasyidin,
yaitu hukum yang menyerupai aturan pemerintahan Republik (Jumhuriyah) di zaman
kita ini. Dan pangkat khalifah menjadi pusaka turun-temurun, maka daulat
Islampun telah berubah sifatnya menjadi daulat yang bersifat kerajaan
(monarchie).
Sesungguhnya Muawiyah telah amat
terpengaruh oleh peraturan-peraturan peninggalan orang Romawi di negeri Syam,
yakni di negeri tempat ia memerintah.
Kemegahan
dan kemuliaan raja-raja yang belum pernah ditiru oleh khalifah-khalifah yang
terdahulu daripadanya, telah diteladan dan dipakainya. Dia telah memakai
singggasana dan kursi kerajaan serta mengadakan barisan pengawal yang
senantiasa menjaga dirinya siang malam. Bahkan dalam mesjidpun dibuatnya suatu
kamar istimewa, tempat dia sembahyang sorang diri, dijaga oleh pengawalnya
dengan pedang tercabut. Hal ini dilakukannya karena ia takut kalau-kalau
terjadi pula atas dirinya apa yang telah terjadi atas diri Ali bin Abi Thalib.[4]
Muawiyah
wafat tahun 60 H. di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya, Yazid
yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya. Yazid tidak sekuat
ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang yang dihadapinya, antara lain
ialah membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husain
sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya
Husain, cucu nabi SAW itu. Yazid menghadapi para pemberontak di Mekkah dan
Madinah dengan keras. Dinding Ka’bah runtuh dikarenakan terkena lemparan
manjaniq, alat pelempar batu kearah lawan. Peristiwa tersebut merupakan aib
besar pada masanya.
Penduduk
Madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya untuk kemudian mengangkat
Abdullah ibn Hanzalah dari kaum Anshar. Mereka juga memenjarakan kaum Umaiyah
di Madinah dan mengusirnya dari kota suci kedua bagi umat Islam itu, sehingga
terjadilah bentrok pisik antara pasukan yang dikirim oleh Yazid yang dipimpin
oleh Muslim ibn Uqbah al-Murri, dan penduduk Madinah. Peperangan antara kedua
pasukan itu terjadi di al-Harrah yang dimenangkan oleh pasukan Yazid, pada
tahun 63 H. sedangkan kaum Quraisy mengangkat Abdullah ibn Muti’ sebagai
pemimpin mereka tanpa pengkuan terhadap kepemimpinan Yazid.
Penduduk
Makkah lain lagi keadaannya, sebagian dari mereka membaiat Abdullah ibn Zubair
sebagai khalifah. Maka, pasukan Yazid yang telah menundukkan Madinah meneruskan
perjalanannya ke Makkah untuk menguasainya. Abdullah ibn Zubair selamat dari
gempuran pasukan Yazid karena ada berita bahwa Yazid mangkat sehingga
ditariklah pasukannya ke Suriah. Tetapi kota Mekkah menjadi porak poranda akhir
perlakuan pasukan Yazid tersebut. Yazid meninggal tahun 64 H setelah memerintah
4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Muawiyah II.[5]
Sebelum
Yazid meniggal dunia dia telah berwasiat supaya putranya Muawiyah diangkat
menggantikan dia menjadi khalifah, menurut cara yang telah dilakukan oleh
ayahandanya Muawiyah bin Abi Sufyan.
Akan
tetapi Muawiyah II bin Yazid ini hanya memerintah 40 hari saja lamanya. Oleh
karena dia berpenyakitan dan jiwanya sendiri memberontak, tidak dapat
menanggung jawab atas perobahan-perobahan dan kerusakan-kerusakan yang
ditinggalkan ayahnya. Maka turunlah dia dengan kemauan sendiri dari singgasana
khilafat dan pangkat khalifah itupun diserahkannya kepada permusyawaratan umat
Islam, agar mereka dengan merdeka memilih dan mengangkat siapa yang mereka
kehendaki. Tetapi cita-citanya itu tidak dapat berlaku, sebab pemilihan
khalifah telah ditentukam oleh kemauan Bani Umayyah.[6]
Muawiyah
diganti oleh Marwan ibn Hakam, seorang yang memegang stempel khilafah pada masa
Utsman ibn Affan. Ia adalah Gubernur Madinah dimasa Muawiyah dan penasehat
Yazid di Damaskus dimasa pemerintahan putra pendiri Daulah Umayyah itu. Ketika
Muawiyah II wafat dan tidak menunjuk siapa penggantinya, maka keluarga besar
Muawiyah mengangkatnya sebagai khalifah. Ia dianggap orang yang dapat
mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya, sedangkan orang lain yang pantas
memegang jabatan khilafah itu tidak didapatkannya. Padahal keadaan begitu rawan
dengan perpecahan di tubuh bangsa Arab sendiri dan ditambah dengan
pemberontakan kaum Khawarij dan Syi’ah yang bertubi-tubi. Khalifah yang baru
itu menghadapi segala kesulitan satu demi satu. Ia dapat mengalahkan kabilah
ad-Dahhak ibn Qais. Kemudian menduduki Mesir, dan menetapkan putranya, Abdul
Aziz sebagai Gubernurnya. Abdul Aziz adalah ayah Umar, seorang khalifah Bani
Umayyah yang masyhur itu. Marwan menundukkan Palestina, Hijaz, dan Irak. Namun
ia cepat pergi, hanya sempat memerintah 1 tahun saja, ia wafat tahun 65 H dan
menunjuk anaknya, Abdul Malik dan Abdul Aziz sebgai pengganti sepeniggalnya
secara berurutan.
2. Khalifah Abdul Malik
Abdul
Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khlaifah Bani Umayyah
yang disebut-sebut sebgai ‘Pendiri Kedua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal
sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqih.
Dia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya intregitas wilayah dan wibawa dan
kekuasaan keluarga Umayyah dari sagala pengacau negara yang merajalela pada
masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah ibn Zubair di
Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij sampai kepada aksi teror yang
dilakukan oleh Mukhtar ibn Ubaidah as-Saqafy di wilayah Kufah, dan
pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab ibn Zubair di Irak. Ia juga menundukkan
tentara Romawi yang sengaja membuat kegoncangan sendi-sendi pemerintahan
Umayyah. Ia memerintahkan pemakaian bahasa Arab sebagai bahasa administrasi di
wilayah Umayyah, yang sebelumnya masih memakai bahasa yang bermacam-macam, seperti
bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia, dan bahas Qibti di Mesir. Ia
juga memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun gedung-gedung,
masjid-masjid dan saluran-saluran air.
Khalifah
Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para
pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaannya, seperti
al-Hajjaj ibn Yusuf yang gagah berani di medan perang, dan Abdul Aziz,
saudaranya yang dipercaya memegang jabatan sebagai Gubernur Mesir. Yang
tersebut pertama itu menjadi Gubernur wilayah Hijaz setelah menundukkan
Abdullah ibn Zubair yang memberontak di wilayah tersebut. Gubernur itu
dipindahkan ke Irak setelah dapat pula menaklukkan raja bangsa Turki, Ratbil
yang berusaha menyerang Sijistan yang sudah menjadi wilayah Islam dan membunuh
Gubernurnya, dengan pasukan yang dipimpin oleh Abdurrahman ibn al-Asy’as.
Padahal telah disepakati perjanjian damai antara kedua belah pihak, sehingga
penguasa Turki itu harus membayar jizyah kepada Umayyah. Tetapi pasukan Islam
berakhir dengan tragis karena perselisihan intern yang terdapat dalam elite
penguasa Muslim sendiri, yakni antara al-Hajjaj dengan al-Asy’as. Tidak
terelakkan lagi terjadinya kontak senjata antara keduanya yang akhirnya
dimenangkan oleh pasukan al-Hajjaj karena dibantu oleh Khalifah Abdul Malik.
Disamping berjaya di medan perang al-Hajjaj juga berhasil memperbaiki
saluran-saluran sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan
memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan, disamping menyempurnakan
tulisan mushhaf al-Quran dengan titik pada huruf-huruf tertentu. Khalifah Abdul
Malik wafat tahun 86 H dan diganti oleh putranya yang bernama al-Walid.
Khalifah
al-Walid ibn Abdul Malik memerintah sepuluh tahun lamanya (86-96 H). pada masa
pemerintahannya kejayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Kekuasaan Islam
melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan pasukan tariq ibn Ziyad ketika Afrika
Utara dipegang oleh Gubernur Musa ibn Nusair. Karena kekayaan melimpah maka ia
sempurnakan gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi
dengan sumur untuk para kafilah yang berlalu lalang di jalur tersebut. Ia
membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Di
samping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim
piatu, fakir miskin, dan pederita cacat seperti orang lumpuh, buta, sakit
kusta. Khalifah itu wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya, Sulaiman
sebagaimana wasiat ayahnya.
Khalifah
Sulaiman ibn Abdul Malik tidak sebijaksana kakaknya, ia kurang bijaksan, suka
harta sebagaimana yang diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan
perang (ganimah) dari Spanyol yang dibawa oleh Musa ibn Nusair. Ia menginginkan
harta itu jatuh ke tangannya, bukan ke tangan kakaknya, al-Walid yang saat itu
masih hidup walau dalam keadaan sakit. Musa ibn Nusair diperintahkan oleh
Sulaiman agar memperlambat datangnya ke Damaskus dengan harapan harta yang
dibawanya itu jatuh ke tangannya. Namun Musa enggan melaksanakan perintah
Sulaiman tersebut, yang mengakibatkan ia disiksa dan dipecat dari jabatannya
ketika Sulaiman naik menjadi Khalifah menggantikan al-Walid.
Ia
dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para
pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang
berjasa dimasa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga al-Hajjaj ibn
Yusuf dan Muhammad ibn Qasim yang menundukkan India. Ia menunjuk Umar ibn
Adul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada tahun 99 H.
3. Umar ibn Abdul Aziz
Meskipun
masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz sangat pendek, namun Umar merupakan
‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri,
mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan
Daulah Umayyah yang banyak disesali. Dia merupakan personifikasi seorang
khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada
sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Khalifah
yang adil itu adalah putra Abdul Aziz, Gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat
Kairo, atau Madinah kata sumber yang lain. Rupanya keadilannya itu menurun dari
Khalifah Umar ibn Khattab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia
menghabiskan waktunya di Madinah untuk mendalami ilmu pengetahuan dimasa kecil,
dan memang kota tersebut menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada saat itu.
Ia mendalami ilmu agama Islam khususnya ilmu hadits, dan ketika ia menjadi
khalifah memerintahkan kaum Muslimin untuk menuliskan hadits, dan inilah
perintah resmi pertama dari penguasa Islam. Umar adalah orang yang rapi dalam
berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang
tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru banyak orang di masanya.
Ia
dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, Khalifah Umayyah yang sekaligus
sebagai pamannya. Ia diangkat menjadi Gubernur Madinah oleh Khalifah al-Walid
ibn Abdul Malik, salah seorang sepupunya, tetapi ia dipecat dari jabatannya itu
karena masalah putra mahkota. Berbekal dengan pengalamannya sebagai pejabat,
kaya akan ilmu dan harta sebagi bangsawan Arab yang mulia, ia diangkat menjadi
Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana, bekerja keras,
dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang hanya memerintah kurang
lebih dua tahun saja.
Khalifah
yang kaya itu dengan menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaz, Syam, Mesir,
Yaman, dan Bahrain, yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun, setelah
menduduki jabatan barunya mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya
dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang
mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Disamping itu ia
mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan
peperangan, mencegah caci maki terhadap Khalifah Ali ibn Abi Thalib dalam
khutbah Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(An-Nahl: 90)
Khalifah
yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada dimasa
kekhalifahannya, sepeti menaikan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran
dengan memberikan santunan kepada para fakir dan miskin, dan memperbaharui
dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan orang-orang non Arab yang menempati
sebagai warga negara kelas dua, dengan orang-orang Arab ia mengurangi beban
pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru. Khalifah Umar
meninggal pada tahun 101 H dan diganti oleh Yajid II ibn Abdul Malik (101-105
H) pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudhariyah
dan Yamaniyah. Pemerintahannya yang singkat itu mempercepat proses kemunduran
Umayyah.
Kekhalifahan
Umayyah mulai mundur sepeninggal Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Walau tidak
secemerlang tiga khalifah yang masyhur sebagaimana tersebut di atas, Khalifah
Hisyam ibn Abdul Malik perlu dicatat juga sebagai khalifah yang sukses. Ia
memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 tahun (105-125 H). Ia dapat pula
dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang terbaik, karena kebersihan
pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan tergolong
teliti terutama dalam soal keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil. Dalam
masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah yang
bersekutu dengan kaum Abbasiyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan yang
diterapkan oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut kepada
semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan
tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah.
Masih
ada empat khalifah lagi setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu tujuh
tahun, yakni al-Walid II ibn Yazid II, Yazid III ibn al-Walid, Ibrahim ibn
al-Walid dan Marwan ibn Muhammad. Yang tersebut terakhir adalah penguasa
Umayyah penghabisan yang terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyah pada
tahun 132 H/750 M.[7]
E.
Kebijakan-Kebijakan Pada Masa Bani
Umayyah
1. Politik dan Perluasan Wilayah
Di jaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Disebelah
timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan
Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan
ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan
Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik, dia menyeberangi
sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana
dan Samarkand. Mayoritas penduduk dikawasan ini kaum Paganis. Pasukan islam
menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41H / 661M. pada tahun 43H / 663M
mereka mampu menaklukkan Salistan dan menaklukkan sebagian wilayah Thakaristan
pada tahun 45H / 665M. Mereka sampai kewilayah Quhistan pada tahun 44H / 664M.
Abdullah Bin Ziyad tiba dipegunungan Bukhari. Pada tahun 44H / 664M para
tentaranya datang ke India dan dapat menguasai Balukhistan,Sind, dan daerah
Punjab sampai ke Maitan.
Ekspansi kebarat secara besar-besaran dilanjutkan dijaman
Al-Walid Ibn Abd Abdul Malik (705M-714M). Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman,
kemakmuran dan ketertiban. Umat islam merasa hidup bahagia, tidak ada
pemberontakan dimasa pemerintahanya. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid
Jami’ di Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang
indah, dia juga membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi,
disamping itu juga melakukan pembangunan fisik dalam skala besar.
Pada masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang
demikian luas, penaklukan ini dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat
daya, benua eropa yaitu pada tahun 711M. Setelah Al Jazair dan Maroko dapat
ditaklukkan, Tariq Bin Ziyad pemimpin pasukan islam dengan pasukannya
menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa dan mendarat
disuatu tempat yang sekarang dikenal nama Bibraltar (Jabal Tariq). Tentara
Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi.
Selanjutnya Ibu Kota Spanyol Kordova dengan cepatnya
dapat dikuasai, menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira, dan
Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.
Pasukan islam memperoleh dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama
menderita akibat kekejaman penguasa. Pada masa inilah pemerintah islam mencapai
wilayah yang demikian luas dalam rentang sejarahnya, dia wafat pada tahun 96H /
714M dan memerintah selama 10 tahun.
Dijaman Umar Ibn Ab Al-Aziz masa pemerintahannya diwarnai
dengan banyak Reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki
tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru dan membangun
masjid-masjid. Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar
hingga kemiskinan tidak ada lagi dijamannya. Dimasa pemerintahannya tidak ada
lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah. Berkat ketaqwa’an dan
kesalehannya, dia dianggap sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin. Penaklukan
dimasa pemerintahannya pasukan islam melakukan penyerangan ke Prancis dengan
melewati pegunungan Baranese mereka sampai ke wilayah Septomania dan Profanes,
lalu melakukan pengepungan Toulan sebuah wilayah di Prancis. Namun kaum
muslimin tidak berhasil mencapai kemenangan yang berarti di Prancis. sangat
sedikit terjadi perang dimasa pemerintahan Umar. Dakwah islam marak dengan
menggunakan nasehat yang penuh hikmah sehingga banyak orang masuk islam, masa
pemerintahan Umar Bin Abd Aziz terhitung pendek.
Dijaman Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724-743M)
pemerintahannya dikenal dengan adanya perbaikan-perbaikan dan menjadikan
tanah-tanah produktif. Dia membangun kota Rasyafah dan membereskan tata
administrasi. Hasyim dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan pertumpahan
darah. Namun dia dikenal sangat kikir dan pelit. Penaklukan dimasa
pemerintahannya yang dipimpin oleh Abdur Rahman Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan
menyerang Bordeau, Poitiers, dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam
peperangan yang terjadi diluar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Prancis pada tahun 114H / 732M. peristiwa penyerangan ini
merupakan peristiwa yang sangat membahayakan Eropa.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik
ditimur maupun barat. Wilayah kekuasaan islam masa Bani Umayyah ini betul-betul
sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria,
Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah
yang sekarang disebut Pakistan Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah.
Khususnya dibidang Tashri, kemajuan yang diperoleh
sedikit sekali, sebab kurangnya dukungan serta bantuan pemerintah (kerajaan)
waktu itu. Baru setelah masa khalifah Umar Bin Abd Al-Aziz kemajuan dibidang
Tashri mulai meningkat, beliau berusaha mempertahankan perkembangan hadits yang
hampir mengecewakan, karena para penghafal hadits sudah meninggal sehingga Umar
Bin Abd Al-Aziz berusaha untuk membukukan Hadits.
Meskipun
keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik
dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya
dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan
pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat islam.
Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya
gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang
saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
2. Ekonomi
Bidang-bidang
ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan
kepada rakyatnya yaitu:
ü Dalam bidang pertanian Umayyah telah
memberi tumpuan terhadap pembangunan sector pertanian, beliau telah
memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
ü Dalam bidang industri pembuatan
khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
3. Peradilan dan Pengembangan Peradaban
Meskipun
sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa pemerintahan
Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan daulah
ini untuk kesejahteraan rakyatnya.
Diantara
usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam
mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh system pemerintahan
dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan. Organisasi ini
bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:
ü Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
ü Pembangunan pertanian, termasuk
irigasi.
ü Biaya orang-orang hukuman dan
tawanan perang
ü Perlengkapan perang
Disamping
usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga
negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai
hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu,
Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh
seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara
dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah
Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik,
sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara
tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Disamping
itu, kekuasaan islam pada masa Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam
pengembangan peradaban seperti pembangunan di berbagai bidang, seperti:
ü Muawiyah mendirikan Dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang
jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
ü Lambang kerajaan sebelumnya
Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru pada masa
Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu
menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
ü Arsitektur semacam seni yang
permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik membangun sebuah kubah yang
megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah
As-Sakharah).
ü Pembuatan mata uang dijaman khalifah
Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri islam.
ü Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak
yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, segala
fasilitas disediakan oleh Umayyah.
ü Pengembangan angkatan laut muawiyah
yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan
idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah 1700
buah.
ü Pada masa Umayyah, (Khalifah Abd
Al-Malik) juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam.
4. Militer
Salah satu
kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah
adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh,
pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur
kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama
itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan
pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan
yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para
penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke
Eropa.
Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah
terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.
F.
Masa Kejayaan dan Kemunduran Bani
Uamyyah
Masa
pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, dimana perhatian
tertumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak
zaman Khulafa ar-Rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak
bangsa di penjuru empat mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam,
yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab,
Suriyah, Palestina, separoh daerah Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India dan
negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan
Kirgiztan yang termasuk Sovyet Rusia.[8]
Memasuki
kekuasaan masa Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintah
yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun
temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh dengan kekerasaan, diplomasi dan tipu
daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Sukses kepemimpinan secara
turun-temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
meyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah mencontoh monarchi di Persia
dan Bizantium. Dia memang menggunakan istilah khalifah, namun dia menberikan
interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebutkan “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh
Allah.[9]
Kekuasaan
Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan
Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa menjadi gubernur
sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Muawiyah
ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn
Abd Malik (705-715), Umar ibn Abdul Aziz (71720 M) dan Hisyam ibn Abd al-Malik
(724-743 M).
Ekspansi
yang terhenti pada masa Usman dan Ali dilanjutkan oleh dinasti ini. Di zaman
Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan afganistan sampai ke Kabul.
Angkatan-angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Bizantium, Konstantinopel.
Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilakukan oleh Abd al-Malik.
Dia mengirim tentaranya menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukan
Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke
India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi
ke barat secara besar-besaran dilanjutkan oleh al-Walid ibn Abd al-Malik. Masa
pemerintahan al-Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat
Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara
menuju wliyah barat daya, Benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M setelah al-Jazair
dan Marokko dapat ditundukan, Thariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan
pasukannya menyeberangi laut yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa,
dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi
sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dapat
dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan
Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.
Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan
rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman
Umar ibn Abd Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Piranee.
Serangan ini dipimpin oleh Abd al-Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana dia menyerang Tours, namun peperangan
yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur
kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang
berada di laut tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan
keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah
kekuasaan Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia
kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang ini disebut Pakistan,
Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Disamping
ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu
dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada
masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi
tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik mengubah
mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai
kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik juga berhasil melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan memberlakukan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi administrasi Islam. Keberhasilan Khalifah Abdul Malik
diikuti oleh putranya al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M) seorang yang
berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun
panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang
humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan
raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[10]
Ibu
kota Daulah Umayyah pindah ke Damaskus, suatu kota tua di negeri Syam yang
telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya.
Daerah
kekuasaannya, selain yang diwariskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, telah pula
menguasai Andalu, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan, terus ke Timur
sampai benteng Tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat
kebudayaan, seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde, Sahfur,
yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroaster.
Setelah masuk Islam para ilmuwan itu tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan
Yunani itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara mereka ada yang mendapat
jabatan tinggi di istama Khalifah. Ada yang menjadi dokter pribadi,
bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka, sedikit banyak,
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.[11]
Dinasti
Bani Umayyah mengalami masa kemunduran, ditandai dengan melemahnya sistem
politik dan kekuasaan karena banyak persoalan yang dihadapi para penguasa
dinasti ini. Diantaranya adalah masalah polotik, ekonomi, dan sebagainya.[12]
Adapun sebab-sebab kemunduran
dinasti Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Khalifah memiliki kekuasaan yang
absolute. Khalifah tidak mengenal kompromi. Menentang khalifah berarti mati.
Contohnya adalah peristiwa pembunuhan Husein dan para pengikutnya di Karbala.
Peritiwa ini menyimpan dendam dikalangan para penentang Bani Umayyah. Sehingga
selama masa-masa kekhalifahan Bani Umayyah terjadi pergolakan politik yang
menyebabkan situasi dan kondisi dalam negeri dan pemerintahan terganggu.
2. Gaya hidup mewah para khalifah.
Kebiasaan pesta dan berfoya-foya dikalangan istana, menjadi faktor penyebab
rendahnya moralitas mereka, disamping mengganggu keuangan Negara. Contohnya,
Khalifah Abdul Malik bin Marwan dikenal sebagai seorang khalifah yang suka
berfoya-foya dan memboroskan uang Negara. Sifat-sifat inilah yang tidak disukai
masyarakat, sehingga lambat laun mereka melakukan gerakan pemberontakan untuk
menggulingkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
3. Tidak adanya ketentuan yang tegas
mengenai sistem pengangkatan khalifah. Hal ini berujung pada perebutan
kekuasaan diantara para calon khalifah.
4. Banyaknya gerakan pemberontakan
selama masa-masa pertengahan hingga akhir pemerintahan Bani Umayyah. Usaha
penumpasan para pemberontak menghabiskan daya dan dana yang tidak sedikit,
sehingga kekuatan Bani Umayyah mengendur.
5. Pertentangan antara Arab Utara (Arab
Mudhariyah) dan Arab Selatan (Arab Himariyah) semakin meruncing, sehingga para
penguasa Bani Umayah mengalami kesulitan untuk mempertahankan kesatuan dan
persatuan serta keutuhan Negara.
6. Banyaknya tokoh agama yang kecewa
dengan kebijaksanaan para penguasa Bani Umayah, karena tidak didasari dengan
syari’at Islam.[13]
G.
Kemajuan Islam Pada Masa Bani
Umayyah
Kemajuan Islam di masa Daulah Umayyah meliputi
berbagai bidang, yaitu politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, seni dan
budaya. Di antaranya yang paling spektakuler adalah bertambahnya pemeluk Agama
Islam secara cepat dan meluas. Semakin banyaknya jumlah kaum Muslimin ini
terkait erat dengan makin luasnya wilayah pemerintahan Islam pada waktu itu.
Pemerintah memang tidak memaksakan penduduk setempat untuk masuk Islam,
melainkan mereka sendiri yang dengan rela hati tertarik masuk Islam. Akibat
dari makin banyaknya orang masuk agama Islam tersebut maka pemerintah dengan
gencar membuat program pembangunan Masjid di berbagai tempat sebagai pusat
kegiatan kaum Muslimin. Pada masa Khalifah Abdul Malik, masjid-masjid didirikan
di berbagai kota besar. Selain itu, beliau juga memperbaiki kembali tiga Masjid
utama umat Islam, yaitu Masjidil Haram (Mekkah), Masjidil Aqsa (Yerusalem) dan
Masjid Nabawi (Madinah). Al-Walid, Khalifah setelah Abdul Malik yang ahli
Arsitektur, mengembangkan Masjid sebagai sebuah bangunan yang indah. Menara
Masjid yang sekarang ada dimana-mana itu pada mulanya merupakan gagasan
Al-Walid ini. Perhatian pada Masjid ini juga dilakukan oleh Khalifah-Khalifah
Bani Umayyah setelahnya.
Perkembangan lain yang
menggembirakan adalah makin meluasnya pendidikan Agama Islam. Sebagai ajaran baru,
Islam sungguh menarik minat penduduk untuk mempelajarinya. Masjid dan tempat
tinggal ulama merupakan tempat yang utama untuk belajar agama. Bagi orang
dewasa, biasanya mereka belajar tafsir Al-Quran, hadist, dan sejarah Nabi
Muhammad SAW. Selain itu, filsafat juga memiliki penggemar yang tidak sedikit.
Adapun untuk anak-anak, diajarkan baca tulis Arab dan hafalan Al-Quran dan
Hadist. Pada masa itu masyarakat sangat antusias dalam usahanya untuk memahami
Islam secara sempurna. Jika pelajaran Al-Quran, hadist, dan sejarah dipelajari
karena memang ilmu yang pokok untuk memahami ajaran Islam, maka filsafat
dipelajari sebagai alat berdebat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
waktu itu suka berdebat menggunakan ilmu filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu lain seperti
ilmu alam, matematika, dan ilmu social belum berkembang. Ilmu-ilmu yang
terakhir ini muncul dan berkembang denga baik pada masa dinasti Bani Abbasiyah
maupun Bani Umayyah Spanyol.
Bidang seni dan budaya pada masa itu
juga mengalami perkembangan yang maju. Karena ajaran Islam lahir untuk
menghapuskan perbuatan syirik yang menyembah berhala, maka seni patung dan seni
lukis binatang maupun lukis manusia tidak berkembang. Akan tetapi, seni
kaligrafi, seni sastra, seni suara, seni bangunan, dan seni ukir berkembang
cukup baik. Di masa ini sudah banyak bangunan bergaya kombinasi, seperti
kombinasi Romawi-Arab maupun Persia-Arab. Apalagi, bangsa Romawi dan Persia
sudah memiliki tradisi berkesenian yang tinggi. Khususnya dalam bidang seni
lukis, seni patung maupun seni arsitektur bangunan. Contoh dari perkembangan
seni bangunan ini, antara lain adalah berdirinya Masjid Damaskus yang
dindingnya penuh dengan ukiran halus dan dihiasi dengan aneka warna-warni
batu-batuan yang sangat indah. Perlu diketahui bahwa untuk membangun Masjid
ini, Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang ahli bangunan dari Romawi. Tetapi
di antara kemajuan-kemajuan yang terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah
tersebut, prestasi yang paling penting dan berpengaruh hingga zaman sekarang
adalah luasnya wilayah Islam. Dengan wilayah yang sedemikian luas itu ajaran
Islam menjadi cepat dikenal oleh bangsa-bangsa lain, tidak saja bangsa Arab.
H.
Keruntuhan Dinasti Umayyah dan
Hikmahnya
Setelah
sekian lama mengalami masa-masa kemunduran, akhirnya dinasti Bani Umayah
benar-benar mengalami kehancuran atau keruntuhan. Keruntuhan ini terjadi pada
masa pemerintahan Marwan bin Muhammad setelah memerintah lebih kurang 6 tahun
(744-750 M).
Keruntuhan
dinasti Bani Umayyah ditandai dengan kekalahan Marwan bin Muhammad dalam
pertempuran zab hulu melawa pasukan Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 748 M.
pada peristiwa itu terjadi pembersihan etnis terhadap anggota keluarga Bani
Umayyah. Selain itu, pasukan Marwan bin Muhammad yang ditawan dibunuh.
Sementara yang tersisa dan masih hidup, terus dikejar dan kemudian dibunuh.
Bahkan Marwan bin Muhammad yang sempat melarikan diri dapat ditangkap dan
kemudian dibunuh oleh pasukan Abu Muslim al-Khurasani.
Pertikaian
dan pembunuhan ini menimbulkan kekacauan sosial dan politik, sehingga negara
menjadi tidak aman dan masyarakat yang pernah merasa tersisih bersatu dengan
kelompok Abu Muslim dan Abul Abbas. Bergabungnya masyarakat untul mengalahkan
kekuatan Bani Umayyah, menandai berakhirnya masa-masa kejayaan Bani Umayyah,
sehingga sekitar tahun750 M Bani Umayyah tumbang.
Adapun
sebab-sebab utama terjadinya keruntuhan dinasti Bani Umayyah adalah sebagai
berikut:
1. Terjadinya persaingan kekuasaan di
dalam anggota keluarga Bani Umayyah.
2. Tidak ada pemimpin politik dan
militer yang handal yang mampu mengendalikan kekuasaan dan menjaga keutuhan
negara.
3. Munculnya berbagai gerakan
perlawanan yang menentang kekuasaan Bani Umayyah, antara lain gerakan kelompok
Syi’ah.
4. Serangan pasukan Abu Muslim
al-Khurasani da pasukan Abul Abbas ke pusat-pusat pemerintahan dan
menghancurkannya.
Banyak
hikmah yang dapat diambil dari kehancuran dinasti Bani Umayyah. Diantaranya
adalah:
1. Tidak boleh rakus dalam kekuasaan.
2. Tidak boleh boros, apalagi
menggunakan uang negara yang sumbernya berasal dari uang rakyat.
3. Harus berlaku adil dalam segala hal
ketika menjadi penguasa dan setelahnya.
4. Berakhlak mulia dan jangan sombong.
5. Harus dekat dengan Tuhan dan rakyat
yang mendukung kekuasaannya.
6. Mengasihi fakir miskin dan
orang-orang lemah.
[1] Drs.
H. Badri Rasyidi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV. Armico, hal 28.
[2] Prof.
Dr. Abu Su’ud, Sejarah Ajaran dan Perannya dalam Peradaban Umat Manusia,
Jakarta: RINEKA CIPTA, hal. 66-67.
[3] Dr.
Ali Mufradi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos, hal 72-73.
[4] A. Latif Asman, Ringkasan Sejarah
Islam, Jakarta: Widjaya, hal. 28.
[5] Dr.
Ali Mufradi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos, hal 74
[6] A. Latif Asman, Ringkasan Sejarah
Islam, Jakarta: Widjaya, hal.83
[7] Dr.
Ali Mufradi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos, hal.75-80
[8]. Dr. Ali Mufradi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos, hal 81
[9] Dr.
Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
hal. 42
[10] Dr.
Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
hal. 43-45
[11] Prof.
Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam, Jakarta: Prenada Media, hal. 38-39.
[12] Murodi,
Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal. 26.
[13] Murodi,
Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal. 27-28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar