A. Asal Usul Mamluk
Mamalik adalah jamak dari Mamluk yang berarti budak atau
hamba. Dinasti Mamluk ini memang didirikan oleh para hamba. Mereka pada mulanya
adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyyah sebagai hamba,
kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok
tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Pada masa penguasa Ayyubiah yang
terakhir, Al-Malik Al-Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin
kelangsungan kekuasaannya. Dan mereka juga mendapat hak-hak istimewa di masa
itu, baik dalam bidang ketenteraan maupun dalam perolehan benda-benda. Di
Mesir, mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani
latihan tentera. Dan kerana itulah, mereka dikenali dengan julukan Mamluk Bahri
(laut). Saingan mereka dalam ketenteraan pada masa itu adalah tentera yang
berasal dari suku Kurdi.
Golongan Mamluk ini berasal dari berbagai suku bangsa di
wilayah Balkan, Asia Kecil, dan Transoksiana, yang sering disebut dengan suku bangsa
Turki (at-turk), sehingga pemerintahan mereka dinamakan Daulah at-Turk.
Suku-suku bangsa Mamluk adalah
Turkoman, Kurdi, Romawi, Turki, Circasian, dan Kaukasus ( Qapjaq ). Di negeri
asalnya, mereka adalah suku-suku pengembara yang hidup berpindah-pindah
tempat. Di musim panas, mereka menempati suatu wilayah dan di musim sejuk,
mereka mencari wilayah lain yang lebih sesuai.
Seperti terlihat pada gambar di bawah
ini, daerah kekuasaan kerajaan mamluk meliputi : Allepo,Syiria,Mesir,Damascus,Jerusalem,Mekkah
dan Madinnah. Pusat kepemerintahan kerajaan Mamluk berada di Mesir dengan
kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang sulthan
.
B.
Sejarah
Pembentukan Dinasti Mamluk
Kalau ada negara Islam yang selamat dari kehancuran akibat dari serangan bangsa
Mongol, baik serangan Hulagu Khan maupun Timur Lenk, maka negeri itu adalah
Mesir yang ketika itu di bawah kekuasaan dinasti Mamalik. Karena negeri ini terhindar dari
kehancuran, maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relatif
terlihat dan beberapa diantara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik
bertahan di Mesir.
Proses berdirinya Mamalik dimulai dengan terbunuhnya Sultan Maliq al-Shaleh
dari dinasti Ayyubiyah pada 14 Sya’ban 647 H/22 November 1249 M. ketika
mempertahankan Kairo dari serangan tentara Salib dibawa pimpinan Lois IX (raja
Prancis). Kata Mamalik adalah jamak dari Mamluk yang artinya yang dimiliki,
yaitu budak atau hamba sahaya. Kaum Mamalik yang menguasai Mesir sebagian besar
berasal dari Circassia, Torkoman atau Mongol.
Dinasti ini mulai berkuasa pada tahun 1250-1517 M, yang terbagi dalam dua
Mamalik yakni Mamalik Bahri yang berkuasa sampai dengan tahun 1382 M dan
Mamalik Burji, sejak tahun 1382 sampai dengan tahun1517 M. Dinamakan dengan
Mamalik Bahri karena semua budak-budak menjadi pengawal menempati al-Ramdat di
sungai Mil (al-Bahr) dan dinamakan Mamalik Burji karena Sultan Qalawun
menempatkan para budak di benteng (al-Burj) Kairo.
Ketika sultan al-Malik al-Shalih meninggal dunia pada tahun 1249 M, budak-budak
asal Turki memperkuat dirinya dalam satu kesatuan yang terorganisasi. Hal ini
dilakukan karena mereka menyadari bahwa pergantian sultan akan
menggoyahkan kedudukan mereka. Sepeninggal sultan al-Malik al-Shalih, anaknya
yang tertua, Turonsyah datang dari Mesopotania pada bulan Februari 1250 M di
Mesir, kedatangan Turonsyah di Mesir ini menimbulkan rasa takut dan iri
dikalangan Mamalik dan Syajarah ad-Durr. Sehingga mereka berusaha untuk
membunuh Turansyah. Pada bulan Mei 1250 M, Syajar ad-Durr dengan dibantu oleh
Mamalik berhasil membunuh Turansyah. Mereka selanjutnya memproklamirkan Syajar
ad-Durr sebagai penguasa baru menggantikan al-Malik al-Shalih.
Pemproklamiran Syajar al-Dur sebagai Sultan bagi dinasti Baru Mamalik mendapat
kecaman dari para bangsawan Ayyubiyah di Syiriah dan khalifah Mu’tazim di
Bagdagh. Kepemimpinan Syajar al-Durr berlangsung selama tiga bulan. Ia kemudian
kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk
pimpinan kepadanya sambil berharap dapat berkuasa terus di belakang tabir. Akan
tetapi, segera setelah itu Aybak membunuh Syajar al-Dur dan mengambil
sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya Aybak mengangkat seorang
keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan “syar’i” (formal) di
samping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, musa
akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di
Mesir dan awal dari kekuasaan Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamluk.
Sepeninggal Aybak, ia diganti oleh putranya, Ali (1257-1259) sebelum ditetapkan
Qutuz –yang pada waktu itu sebagai wakilnya menjadi penggantinya pada tanggal
12 Zulqaiddah 657 H/12 November 1259 M. setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang
mengasingkan diri ke Syiriah karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak
kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol
yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. kedua tentara bertemu
di ‘Ayn Jalut dan pada tanggal 13 November 1260 M, tentara Mamluk di bawah
pimpinan Qutuz dan Baybar berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut.
Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamluk di Mesir menjadi
tumpuan harapan umat Islam disekitarnya. Penguasa-penguasa di Syiriah segera
menyatakan setia pada penguasa Mamluk.
Tidak lama setelah itu Qutuz
meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, diangkat
oleh pasukannya menjadi Sultan (1260- 1277 M) dengan gelar al-Malik al-Zahir.
Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur di antara Sultan Mamalik. Ia pula yang
dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik kerana kerajaannya yang
begitu utuh dan kuat. Sebelum wafat, Baybar berwasiat agar putranya pangeran
Said, dinobatkan menjadi penggantinya.
Pangeran Sa’id dikawinkan dengan putri Saifuddin Qalawun. Sementara Said
dinobatkan menjadi sultan, tetapi mertuanya memaksa turun tahta kemudian
menggantikannya. Ketika Saifuddin Qalawun berkuasa (1279-1290 M) Mamalik Bahri
tidak lagi memiliki figur yang dapat menandinginya bahkan jumlah mereka di
kalangan militer semakin berkurang, karena Qalawun mengambil tenaga militer
untuk memperkuat kedudukannya dari Sarasia. Budak-budak Sirkasia dibelinya
dalam jumlah besar untuk dididik menjadi militer yang ditempatkan di
menara-menara (Burj) atau benteng. Tempat pendidikan mereka ini akhirnya
menjadi identitas dari kelompok mereka, Mamluk Burji.
Tersisihnya Mamluk bahri dan masuknya Mamluk Burji menyebabkan Qalawun berhasil
mewariskan kekuasaaan kepada keturunannya empat generasi.
Pemerintahan dinasti Mamluk yang juga disebut daulah al-Atrak (Negra-negara
orang Turki) adalah oligarki militer dan tidak menerapkan sistem turun-temurun.
Tokoh militer yang menonjol dan berprestasi dapat dipilih sebagai sultan. Hal
tersebut bergeser ketika Qalawun berkuasa. Ia menerapkan sistem turun-temurun
dengan mewariskan kekuasaan kepada keturunannya sebanyak empat generasi.
Dari keterangan di atas, dapat
dipahami bahwa dalam proses berdirinya Dinasti Mamluk sebagaimana
dinasti-dinasti lainnya, juga mengalami hambatan dan rintangan yang tidak
ringan. Namun demikian kaum Mamalik dengan keberanian dan keuletannya dapat
tampil dalam panggung sejarah, bahkan dinasti ini dapat eksis selama dua
setengah abad lebih.
C.
Masa kekuasaan
Dinasti Mamluk
Nnegeri
Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa Mongol, baik
serangan Hulagu Khan maupun Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang
ketika itu berada di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Karena negeri ini terhindar dari
kerhancuran, maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik
relatif terlihat dan beberapa di antara prestasi yang pernah dicapai pada masa
klasik bertahan di Mesir. Walaupun demikian, kemajuan yang dicapai oleh dinasti
ini, masih di bawah prestasi yang pernah dicapai oleh umat Islam pada masa
klasik. Hal itu mungkin karena metode berpikir tradisional sudah tertanam
sangat kuat sejak berkembangnya aliran teologi 'Asy'ariyah, filsafat mendapat
kecaman sejak pemikiran al- Ghazali mewarnai pemikiran mayoritas umat Islam,
dan yang lebih penting lagi adalah karena Baghdad dengan fasilitas-fasilitas
ilmiahnya yang banyak memberi inspirasi ke pusat-pusat peradaban Islam, hancur.
Sejarah daulah ini hanya berlangsung
sampai tahun 1517 M, ketika dikalahkan oleh Bani Utsmani, Daulah ini dibagi
menjadi dua periode :
·
Pertama, periode kekuasaan Mamluk
Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan baybars tahun
1277 M.
·
Kedua, periode kekuasaan Mamluk
Burji, sejak berkuasanya Saifuddin Qalawun berkuasa (1279-1290 M) sampai
kerajaan ini dikalahkan oleh Bani Utsmani tahun 1517 M.
Daulah Mamalik membawa warna baru dalam
sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer,
kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan
pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat
tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem
pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir
menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka
merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang,
seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan.
Daulah Mamalik juga banyak mengalami
kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk
membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain
yang didirikan pada masa ini di antaranya adalah rumah sakit, museum,
perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid.
D.
Kemajuan-kemajuan
yang dicapai dinasti Mamluk
Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan
dinasti ini bersifat oligarki militer, utamanya pada masa pemerintahan Mamluk
Bahri. Sistem oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Para amir
berkompetisi dalam prestasi, karena merupakan kandidat sultan. Adanya kompetisi
semacam ini, memotivasi setiap amir untuk melakukan perubahan demi terjadinya
suatu kemajuan di Mesir.
Adapun kemajuan-kemajuan yang dicapai
dinasti Mamluk adalah sebagai berikut:
1. Bidang Militer.
Pemerintahan dinasti ini dilantik dari pengaruhnya dalam
kemiliteran. Para Mamluk yang dididik haruslah dengan tujuan untuk
menjadi pasukan pendukung kebijaksanaan pemimpin. Ketua Negara atau sultan akan
diangkat di antara pemimpin tentara yang terbaik, yang paling berprestasi, dan
mempunyai kemampuan untuk menghimpun kekuatan. Walaupun mereka adalah pendatang
di wilayah Mesir
Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk
akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah
aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan
hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang
kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera.
Tentara Mamluk ini hidup di dalam
komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka diisi dengan permainan
seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif
dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk juga akan memastikan bahwa
kebudayaan Mamluk ini abadi.
Setelah tamat latihan, tentara Mamluk
ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Mereka
mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu
dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah
setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil
dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan.
Pada mulanya, status tentara Mamluk
ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti
jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamluk mulai
menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh
yang luas. Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu
berkembang pesat. Sedangkan, pada zaman Shalahuddin, ada buku manual militer
karya AT-Thurtusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan menaklukan
Yerussalem. Semenjak awal Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai soal
perang. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah meminta agar
para anak lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah
peperangan seperti legenda Daud dan Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam
Al-Qur'an. Bahkan, ada satu surat di Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’
kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan.
”Demi kuda perang yang berlari
kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan
(kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka,
ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Al-‘aAdiyat 1-4).
Kaum muslim sebenarnya pun sudah
menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu militer. Berbagai jenis
buku mengenai 'jihad' dan pengenalan terhadap seluk beluk kuda, panahan, dan
taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris The Catologue yang merupakan karya Ibnu Al-Nadim (wafat antara
380H-338 H/990-998 M).
Dalam karya itu, Al-Nadim menulis
berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang
menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan
yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian
banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah
al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan Daulah Al-Mamluk
produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat. Minat para
penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah
karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan
sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan serangan
bangsa Mongol.
Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah
buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M.
Buku ini membahas mengenai keberhasilan Shalahuddin di dalam memenangkan perang
melawan bala tentara salib dan menaklukan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan
bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain
berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’
saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara
pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku
ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana
senjata itu digunakan.
Buku lain yang membahas mengenai
militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abi Bakar Al Harawi (wafat 611
H/1214 M). Buku ini membahas secara detail mengenai soal taktik perang,
organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli
militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap
tentang pasukan muslim di medan tempur dan dalam pengepungan. Pada lingkungan
militer Daulah Mamluk menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya
keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai
bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara
menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.
Contoh buku yang lain adalah karya
Al-Aqsara’i (wafat74 H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris
menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the
Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas
soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan
pembahasan pembagaian rampasan perang.
2.
Bidang
Pemerintahan.
Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik atas
tentara Mongol di 'Ayn al-Jalut menjadi modal besar untuk menguasai
daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan
setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri,
Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Disamping itu, untuk
memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan
Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol,
al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah
dihancurkan oleh tentara Hulaghu di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh daulah
ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat
mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di
sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia (tempat berkuasanya
orang-orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.
3. Bidang Ekonomi.
Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik
membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur
perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya.
Jatuhnya Baghdad menjadikan kota Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia
dan Eropa, dan menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur
perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, hasil
pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh
pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun
darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan
perekonomiannya.
Pembangunan di bidang ekonomi dan
perdagangan membawa kemakmuran. Jalur perdagangan yang dibangun sejak
kekhalifaan fatimiyah diperluas dengan membuka hubungan dagang dengan Italia
dan Perancis. Dalam pada itu, kedudukan Mesir menjadi penting bagi jalur
perdagangan antara Asia dan Eropa melalui laut merah dan laut tengah.
Bidang perhubungan darat dan laut yang menjadi pilar utama dan penopang ekonomi
negara menjadi lancar dengan menggali terusan-terusan, membuat
pelabuhan-pelabuhan, dan menghubungkan Kairo dengan Damaskus. Disamping itu
hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan ekonomi Mesir pada periode ini,
didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antar kota
melalui laut dan darat. Oleh karena itu ketangguhan angkatan laut menjadi
bagian penting dalam pengembangan perekonomiannya.
4.
Bidang ilmu
pengetahuan.
Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir
menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara
Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah,
kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat
nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di
bidang astronomi dikenal nama Nashiruddin ath-Thusi. Di bidang matematika Abul
Faraj al-'Ibry . Dalam bidang kedokteran: Abul Hasan 'Ali an-Nafis, penemu
susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abdul Mun'im ad-Dimyathi,
seorang dokter hewan, dan Ar-Razi’, perintis psykoterapi. Dalam bidang
opthalmologi dikenal nama Shalahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu
keagamaan, tersohor nama Syaikhul Islam ibn Taimiyah Rahimahullah, seorang
mujaddid, mujahid dan ahli hadits dalam Islam, Imam As-Suyuthi Rahimahullah
yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani Rahimahullah
dalam ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain.
Dasar untuk mengukur kemajuan peradaban
suatu bangsa atau dinasti biasanya diukur dari tingkat perhatian dan
penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan
merupakan pertanda bagi kebangkitan peradaban suatu bangsa. Banyak
dinasti Islam yang sangat berprestasi dalam dunia ilmu pengetahuan sehingga
menambah khazanah keintelektualan yang mewarnai corak rasionalistik masa klasik
Islam. di antara dinasti Islam yang sangat mengutamakan ilmu pengetahuan adalah
dinasti Mamluk.
Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa
dinasti Mamluk disebabkan oleh jatuhnya Baghdad yang mengakibatkan sebagian
ahli ilmu pengetahuan melarikan diri ke Mesir. Dengan demikian Mesir berperan
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, melanjutkan kedudukan kota-kota
Islam lainnya setelah dihancurkan oleh bangsa Mongol.
Di Mesir, para ilmuan tersebut
memperoleh perlindungan dan kehidupan yang terjamin sehingga ilmu
pengetahuan dapat berkembang dengan pesat, seperti dalam bidang ilmu sejarah,
kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Ketika para ulama Baghdad
kehilangan semangat pintu ijtihad dan lari ke dunia tasawuf dan
tarekat dan umat hidup dalam taqlid, maka di wilayah Mesir yang dikuasai
dinasti Mamluk bermunculan ulama-ulama besar. Ulama-ulama tersebut antara lain
Ibnu Taimiyah (1263-1328), penganjur kemurnian ajaran Islam untuk kembali pada
al-Qur’an dan Hadis dan membuka pintu ijtihad; Jalaluddin al-Suyuti, seorang
ulama yang produktif menulis, baik di bidang tafsir maupun sejarah.
5.
Bidang Seni dan
Budaya.
Pergantian Sultan yang dialami oleh
dinasti Mamluk, khususnya pada masa dinasti Mamluk Bahri memberikan corak
tersendiri bagi perkembangan arsitektur setiap sultan. Kondisi persaingan di
bidang arsitektur ini memberikan gambaran tersendiri bagi kewibawaan dan
kemajuan bagi diri sultan. Oleh karena itu perhatian terhadap kondisi
arsitektur melambangkan kejayaan kerajaan. Hal tersebut dapat dilihat dari
setiap sultan berusaha lebih berhasil dari pendahulunya meskipun semuanya tidak
terpenuhi, sehingga ada keinginan mengabadikan sesuatu yang bersifat monumental
dari kepemimpinannya sebagai warisan sejarah.
Pengembangan arsitektur yang sangat
tinggi tersebut ditopang oleh datangnya beberapa insinyur tehnik yang melarikan
diri ke Mesir untuk mencari perlindungan kepada sultan akibat kejaran tentara
Mongol. Kedatangan arsitek tersebut membawa Mesir mengalami perkembangan seni
dan budaya secara cepat, dengan prestasi-prestasi tersendiri seperti
arsitektur, keramik, dan karya arsitek dalam logam.
Desain arsitektural yang khas muncul
sebagai seni arsitektur keagamaan pada periode ini. beberapa mesjid dan
madrasah biasanya dibangun dengan sebuah ruang tengah yang terbuka yang
dikelilingi empat serambi pada setiap sisi utama dari ruang tengah tersebut,
dengan beberapa ruang yang berhubungan dilengkapi dengan kamar-kamar untuk para
pelajar. Bangunan makam biasanya diberi atap dengan sebuah kubah.
Bangunan-bangunan yang lain yang didirikan pada masa ini adalah rumah sakit
umum, perpustakaan, vila-vila, kubah dan menara mesjid.
Kondisi kejayaan arsitektur Mamluk masa klasik digambarkan oleh beberapa ahli
sejarah sebagai kota yang kaya akan pertunjukan visual ala kota klasik yang
sangat luas, membentuk tatanan fisik kota dan melambangkan hubungan integral
antara negara-negara Islam dan masyarakat urban.
E.
Kemunduran dan
Kehancuran dinasti Mamluk
Dinasti Mamluk telah menorehkan tinta
sejarah keemasan Islam dan memberikan sumbangsih terhadap peradaban Islam
dengan berbagai kejayaan yang pernah diraihnya. Namun demikian, sejarah
mencatat pula bahwa banyak kerajaan-kerajaan yang telah mencapai puncaknya
akhirnya mengalami kemunduran. Hal itulah yang dialami oleh dinasti Mamluk,
kejayaan yang diraihnya tertoreh sebagai warisan sejarah kejayaan Islam.
sekaligus pengalaman pahit yang pernah terjadi dalam sejarah dinasti Islam
akibat kehancuran yang dialami oleh dinasti ini.
Sejarah telah mencatat bahwa pada
masa dinasti Mamluk Bahri, Mamluk mengalami berbagai puncak kejayaan utamanya
pada masa Baybar memegang tampuk kepemerintahan. Setelah pemerintahan Mamluk
beralih kepada kelompok Mamluk Burji, dinasti Mamluk mengalami banyak
kemunduran. Kemunduran itu disebabkan berbagai faktor internal dan eksternal.
Para Sultan dari Mamluk Burji tidak
memiliki pengetahuan cara mengatur roda pemerintahan kecuali latihan militer.
Kenyataan menunjukkan situasi kelemahan yang dialami oleh dinasti ini. Barbesi
misalnya melarang megimpor rempah-rempah dari India. Akibatnya, harga
rempah-rempah menjadi mahal, apalagi komoditi ini dimonopoli oleh Sultan. Ia
juga memonopoli pabrik gula dan melarang kaum wanita keluar rumah, memecat
orang-orang non Muslim dari pegawi pemerintah. Dalam suasana stabilitas dalam
negeri yang begitu rapuh, masyarakat juga dijangkiti berbagai macam penyakit
epidemi yang meminta korban banyak.
Banyak penguasa Mamluk Burji yang
bermoral rendah dan tidak menyukai pengetahuan. Kebiasaan hidup berpoya-poya
dan hidup mewah menyebabkan harga pajak melambung tinggi, sehingga
menyengsarakan rakyat dan membuat mereka putus asa dan hilang kepercayaan
terhadap sultan. Pajaklah satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang yang banyak
untuk membiayai pemerintahan, membayar pegawai, melengkapi istana-istana dengan
berbagai kemewahan. Sultan yang memerintah dari tahun 1412-1421 M adalah
seorang pemabuk, yang dibeli dari seorang pedagang Circassia. Sultan inilah
yang melakukan berbagi perbuatan yang melampaui batas. Kondisi yang melanda
dinasti Mamalik ini, meluas dari tingkat amir ke bentuk gangguan dalam
masyarakat. Keadaan itu diperparah dengan adanya musim kemarau panjang yang
mengakibatkan pertanian tidak berproduksi.
Disamping kondisi internal tersebut
di atas, kondisi yang tak kalah pentingnya yang mewarnai kemunduran dan
kehancuran dinasti Mamluk adalah faktor eksternal. Pada tahun 1498 Vasco Da
Gama, seorang navigator yang berkebangsaan Portugis, mendapat jalan ke Timur
melalui Tanjung Pengharapan di Afrika Selatan. Dengan penemuan ini, orang
Portugis dan Eropa lainnya bersatu untuk mendatangi daerah-daerah penghasil
rempah-rempah di Timur. Akibatnya adalah kapal-kapal yang biasanya melintas di
daerah Mesir dan Syiria kini baralih ke Tanjung Pengharapan, sehingga
penghasilan Mamluk menjadi berkurang. Dengan ditemukannya Tanjung Harapan
sistem perdagangan dinasti Mamalik mulai runtuh secara berangsur-angsur.
Di pihak lain suatu kekuatan politik
baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi dinasti Mamalik, yakni kerajaan
Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Datangnya
kekuatan baru tersebut diperparah dengan bergolaknya daerah kekuasaan Mamluk di
Syiria. Selain karena penyerbuan tentara Mongol, juga karena ulah
penguasa-penguasa setempat yang ingin melepaskan diri dari pemerintahan pusat.
Kekuatan Turki Usmani yang masuk Syiria itu berasal dari Anatolia yang
memberikan perlawanan yang berarti terhadap pasukan Mamluk.
Dari Syiria, tentara Usmaniyah melaju
ke Mesir. Pada waktu itu yang menjadi sultan di Mesir adalah Tumam Bey, bekas
budak Qunshawh. Kedua belah pihak berhadapan di kota Kairo pada tanggal 28
Zulhijjah923 H/ 22 Januari 1417M,. kondisi pasukan Mamalik tidak dapat
mengimbangi pasukan Turki Usmaniyah. Sehari setelah itu, sultan Salim dengan
mudah memasuki Kairo. Orang-orang Mamalik menyerah kalah. Tumam Bey, sultan
terakhir Mamalik akhirnya terbunuh pada bulan rabiul Awal 923 H/April 1517M.
Dengan demikian, berakhirlah masa
pemerintahan dinasti Mamalik, Kairo yang sebelumnya menjadi ibu kota kerajaan,
sekarang tidak lebih dari sebuah kota propinsi dari kesultanan Turki Usmaniyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar