2.1 Pemotong PPh Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984),
pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah :
a. Badan
Pemerintah
Tidak ada penjelasan
dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun
demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan
Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di
Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya, pemotongan
PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah.
b. Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan
Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak
badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan
berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat
kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di
Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan
tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian
badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap
c. Penyelenggara
kegiatan
Penyelenggara kegiatan
bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau
kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang
mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan
lain-lain.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT
adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di
Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan
kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam
negeri.
Pengertian
BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan,
yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa
tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung
kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain
BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya
adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan
asing.
2.2 Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 23
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan, penerima penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib
Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak
yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ataupun
Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa jika penerima penghasilan
adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa
dikenakan.
2.3 Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23
Penghasilan yang dikenakan PPh pasal 23 (selanjutnya disebut Objek PPh
Pasal 23) sesuai dengan pasal 23 Undang – undang No. 36 tahun 2008, yaitu :
- Deviden;
- bunga termasuk premium ,diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
- royalti;
- hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong pajak penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri orang pribadi yang berasal dari penyelenggaraan kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
- sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan
- imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh.
2.4 Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23
Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa terdapat pengecualian
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan yang tidak
dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-undang No. 17
Tahun 2000, yaitu:
1.
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
bank.
Pembayaran bunga ke bank misalnya tidak dapat
dipotong PPh Pasal 23. Bank akan melunasi Pajak Penghasilannya melalui
pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
2.
Sewa yang dibayarkan
atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
Sama halnya dengan bank, pelunasan Pajak
Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi akan dilakukan dengan
pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
3.
Deviden atau bagian laba
yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam
negeri, koperasi, badan usaha milik negara,atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan yang didirikan dan bertempat kedudukan di indonesia
dengan syarat :
a. deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas,badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima deviden,kepemilikan saham pada badan yang memberikan
deviden paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
4. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham – saham , persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
5. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi anggotanya;
6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/ atau pembiayaan.
2.5 tarif dan Pemotongan PPh Pasal 23
1)
PPh Pasal 23 dengan Tarif 15%(lima
belas persen) dari jumlah bruto atas :
1.
Dividen
2.
Bunga termasuk
premium ,diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
3.
Royalti;
4.
Hadiah, penghargaan,
bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
21.
Hadiah, penghargaan
dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 juga. Namun harus
diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 adalah bahwa penerima
penghasilannya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Apabila penerimanya
adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau BUT, maka PPh Pasal 21 tidak bisa
diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak tersebut maka PPh Pasal 23 lah yang
bisa diterapkan.
2)
PPh Pasal 23 tarif 2%
Berikut adalah jenis-jenis penghasilan objek
pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif 2% dari jumlah bruto.
1.
Sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta
Sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta merupakan penghasilan yang
diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak
menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis
maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh
penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.
Perlu
digarisbawahi bahwa tidak termasuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah
sewa tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Pasal 4
ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
2.
Imbalan sehubungan
dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa
lain
Jasa konstruksi telah
dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak lagi menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, dalam kelompok ini pada umumnya
adalah imbalan jasa selain dari imbalan jasa konstruksi.
Jasa teknik merupakan
pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan
pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat
meliputi :
a. Pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti
pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
b.
pemberian informasi
dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam
bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan
sebagainya; atau
c.
pemberian informasi
yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian
informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang
telah ditentukan oleh pengguna jasa.
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan
ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
Sementara itu Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk,
pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan,
atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli,
yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut
dalam pelaksanaannya.
Tarif PPh atas Jasa Konstruksi :
No.
|
Jenis
kegiatan
|
Kualfikasi
|
Tarif
|
1.
|
Pelaksanaan
Konstruksi
|
Kualifikasi
usaha kecil
|
2%
|
2.
|
Pelaksanaan
Konstruksi
|
Tidak
memiliki kualifikasi usaha
|
4%
|
3.
|
Pelaksanaan
Konstruksi diluar angka 1 dan 2
|
Kualifikasi
usaha menengah dan besar
|
3%
|
4.
|
Perencanaan
dan pengawasan konstruksi
|
Memiliki
kualifikasi usaha
|
4%
|
5.
|
Perencanaan
dan pengawasan konstruksi
|
Tidak
memiliki kualifikasi
|
6%
|
2.6 Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki
kewajiban melakukan penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara atas PPh Pasal 23
yang dipotong dari penerima penghasilan. Terhadap penerima penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 23 kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas
pemotongan yang telah dilakukan salam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai
pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah
dilakukan. Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa PPh Pasal 23.
1.
Tata cara Penyetoran PPh Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang
dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau
penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang
diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah
dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran
yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat
pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
sebagai tempat pembayaran pajak.
2.
Tatacara
Pelaporan PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda
bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong
setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti
pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun
tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya.
Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh
Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak
tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26
harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23
harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2010.
Dalam hal batas akhir pelaporan di atas
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur
nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum
yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar