Minggu, 04 Desember 2016

Pajak Penghasilan Pasan 21 dan Pasal 22



Pajak Pasal 21
A.    Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi, yaitu pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan sebagaiman dimaksud dalam pasal 21 UU No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 17 tahun 2000 dan diubah dengan PER No 57 Tahun 2009. Dan terakhir untuk tarif yang berlaku pada Pph pasal 21 tahun 2013.

B.     Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
·                Pemberi kerja terdir dari orang pribadi atau badan, baik induk maupun cabang.
·                Bendaharawan Pemerintah
·                Dana pensiun, badan penyelenggara JAMSOSTEK, serta badan – badan lain
yang membayar uang pensiun, tabungan hari tua atau tunjangan hari tua (THT)
·                Yayasan, Lembaga, perhimpunan, organisasi dalam segala bidang kegiatan.
·                BUMN / BUMD, Perusahaan / Badan pemberi imbalan kepada wajib pajak luar negeri.

C.     Dikecualikan Sebagai Pemotong Pajak
·                Kantor perwakilan negara asing dengan asas timbal balik memberikan
perlakuan yang sama bagi perwakilan indonesia di negara tersebut
·                Organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
D.    Wajib Pajak
·           Pegawai, karyawan tetap, komisaris, dan pengurus
·           Pegawai lepas
·           Penerima pensiun
·           Penerima honorarium, komisi atau imbalan lainnya, uang saku, beasiswa atau hadiah
·           Penerima upah harian, mingguan, borongan, satuan

E.     Yang Tidak Termasuk Wajib Pajak
·            Pejabat perwakilan diplomatik atau  pejabat negara asing
·            Orang – orang yang diperbantukan kepada pejabat tersebut yang bekerja dan bertempat tinggal bersama mereka
·            Pejabat perwakilan organisasi Internasional dengan keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:
§  Bukan Warga Negara Indonesia (WNI)
§  Tidak menerima / memperoleh penghasilan lan diluar jabatannya di Indonesia.
§  Negara yang bersangkutang memberikan perlakuan timbal balik

F.      Objek Pajak
Objek pajak terdiri dari 4 jenis yaitu:
1.         Penghasilan teratur
2.         Penghasilan tidak teratur
3.         Penerima upah
4.         Penghasilan yang bersifat final

G.    Contoh Perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetap dengan gaji bulanan



Fajar Ariwibowo pada tahun 2013 bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp2.500.000.00 dan membayar luran pensiun sebesar Rp100.000.00. Fajar Ariwibowo menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Januari penghasilan Fajar Ariwibowo dari PT Jaya Abadi hanya dari gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari adalah sebagai berikut:



Gaji

Rp2.500.000,00
Pengurangan:
1.BiayaJabatan:
    5%XRp2.500.000,00 
 Rp125.000,00

2. luran pensiun 
Rp100.000,00
------------------



Rp     225.000,00
---------------------
Penghasilan neto sebulan 

Rp  2.275,000,00
Penghasilan neto setahun adalah 12xRp2.275.000,00 

Rp27.300.000,00
PTKPsetahun
- untuk WP sendiri 
  Rp24.300.000,00

- tambahan karena menikah 
  Rp  2.025.000,00



Rp26.325.000,00
---------------------
Penghasilan Kena Pajak setahun 

Rp975.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp975.000,00 = Rp48.750,00


PPh Pasal 21 bulan Januari
Rp48.750,00 : 12 = Rp4.063,00





Catatan:
a.       Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap prang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
b.      Contoh di atas berlaku apabita pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Januari adalah sebesar:
120% x Rp4.063,00= Rp4.875,00.





Pajak Penghasilan Pasal 22
A.       Pengertian Pajak Pasal 22
PPh pasal 22 merupakan cara pelunasan pembayaran pajak dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak atas penghasilan antara lain sehubungan dengann impor barang / jasa, pembelian barang dengan menggunakan dana APBN/APBD dan non APBN/APBD, dan penjualan barang sangat mewah
Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
v Bendahara Pemerintah Pusat / Daerah, instansi atau lembaga pemerntaah dan lembaga – lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang.
v Badan – badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain
v Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

B.       Subjek Pajak PPh Pasal 22
Yang menjadi subjek pajak pasal 22 yaitu setiap wajib pajak yang melakukan impor, kecuali yang mendapat fasilitas pembebasan (memperoleh surat keterangan bebas).



C.       Cara Menghitung Pph Pasal 22
a)        Atas Import:
  Dengan Angka Pengenal Impor (API), 2,5% dari nilai import.
  Tanpa API, 7,5% dari nilai import.
            Ket: Angka Pengenal Importir (API) merupakan tanda pengenal  yang harus dimiliki oleh setiap importir atau perusahaan  yang melakukan perdagangan impor.
  Yang tidak dikuasai, 7,5% dari harga jual lelang.
  Nilai Import: nilai berupa uang yg mjd dasar perhitungan BM, yaitu CIF ditambah BM dan pungutan lainnya sesuai UU Kepabeanan di bidang import.
b)        Atas Pembelian Brg: butir 2, 3, dan 4 sebesar 1,5% dari harga pembelian.
c)        Atas Penjualan Hasil Produksi:
·       Semen à 0,25% x DPP PPN.
·       Rokok à 0,15% x Harga Bandrol.
·       Kertas à 0,10% x DPP PPN.
·       Sektor Perhutanan, pertanian, perikanan atas pembelian bahan-bahan industri   
     à  1,5% x Harga Pembelian.
·       Baja à 0,30% x DPP PPN.
·       Otomotif à 0,45% x DPP PPN.
d)     Atas Penjualan Pertamina dan BU lain dalam bidang BBM kepada Penyalur/Agen:
·      Premium utk SPBU Swasta à 0,3% dr Penjualan.
·      Solar utk SPBU Swasta à 0,3% dr Penjualan, utk SPBU Pertamina à 0,25% dr Penjualan.
·      Premix/Super TT utk SPBU Swasta à 0,3% dr Penjualan, utk SPBU Pertamina à 0,25% dr Penjualan.
·      Minyak tanah, Gas LPG, Pelumas à 0,3% dr Penjualan.
e)      Penjualan barang yang tergolong sangat mewah 5% dari harga jual tidak termasuk PPN .


D.       Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
  1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
  2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
  3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
  4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
  5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
  6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
  7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
  8. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
E.     Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
  1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
  2. Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
  3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
  4. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
  5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
F.   Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
  1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
  2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
  3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
    1. lembar pertama untuk pembeli;
    2. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
    3. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
  4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
  5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 4) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
  6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
  7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
    1. lembar pertama untuk pembeli;
    2. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
    3. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...