Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan,
pihakyang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran
yang berasal dari APBN/APBD adalah bendahara pemerintah. Termasuk
dalam pengertian bendahara pemerintah antara lain bendahara pengeluaran,
pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama. Berikut ini merupakan aspek-aspek perpajakan terkait
dengan kewajiban untuk melakukan Pungutan oleh Bendaharaharawan.
A.
Mendaftarkan
Diri Menjadi Wajib Pajak
Bendahara pemerintah yang mengelola dana yang bersumber dari APBN
dan APBD wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
1. Tempat pendaftaran
Bendahara pemerintah wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) yang sesuai dengan tempat kedudukan unit kerja.
2. Tata cara pendaftaran
Mengisi
formulir pendaftaran Wajib Pajak untuk Wajib Pajak bendahara yang tersedia di
KPP dengan melampirkan fotokopi surat penunjukan sebagai bendahara dan Kartu Tanda
Penduduk bendahara tersebut;
B.
Melakukan
Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh, PPN dan Bea Materai
Kewajiban bendahara pemerintah sehubungan dengan Pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Meterai adalah pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23,
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Meterai.
1. Pemotongan PPh Pasal 21
Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah cara pelunasan
pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
Pembayaran Penghasilan yang wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh
bendahara pemerintah antara lain adalah pembayaran atas gaji, tunjangan, honorarium,
upah, uang makan dan pembayaran lainnya (tidak termasuk pembayaran biaya perjalanan
dinas), baik kepada pegawai maupun bukan pegawai.
Pengecualian atas PPh pasal 21 berlaku atas tambahan tarif 20% karena
belum punya NPWP, tidak Ditanggung Pemerintah, tidak Bersifat Final Bersifat
Final
Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 adalah: Pasal
21 Undang-undang PPh; Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010; Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008; Peraturan Menteri Keuangan Nomor
162/PMK.011/2012; serta beberapa peraturan lainnya.
2. Pemungutan PPh Pasal 22
Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dilakukan sehubungan
dengan pembayaran atas pembelian barang seperti: komputer, meubeler, mobil dinas,
ATK dan barang lainnya oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak penyedia barang.
Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh: Bendahara pemerintah dan
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan
dengan mekanisme uang persediaan (UP); Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk
pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS).
Pengecualian pemugutan PPh Pasal 22 yakni Pembelian barang dengan
nilai maksimal pembelian Rp2.000.000,00 dengan tidak dipecah-pecah dalam
beberapa faktur; pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air
minum/PDAM dan benda-benda pos.
Peraturan terkait pelaksanaan pemungutan PPh Pasal 22 adalah: Pasal
22 Undang-Undang PPh; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.11/2012;
dan Peraturan lain.
3. Pemotongan PPh Pasal 23
PemotonganPPh Pasal 23 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun
berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh
bendahara kepada pihak lain. Penghasilan yang dibayarkan tersebut antara lain:
Sewa dan penghasilan (PPh) lain sehubungan
dengan
penggunaan harta, royalti, hadiah/ penghargaan serta imbalan sehubungan dengan
jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan dan jasa lain.
Peraturan-peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23
adalah Pasal 23 Undang-Undang PPh, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008.
4. Pemotongan / Pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2)
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan
atau pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penghasilan tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final
adalah: Persewaan tanah dan/atau bangunan dengan besarnya PPh Final yang
dipotong adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan, baik yang
menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan; Pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dengan besarnya PPh Final yang dipungut adalah 5% dari
jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah.
Peraturan-peraturan terkait pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh; PP Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan PP
Nomor 71 Tahun
2008; PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor
5 Tahun 2002;
serta beberapa peraturan lain.
5. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan pelunasan
pajak yang dikenakan atas setiap transaksi pembelian barang atau perolehan jasa
dari pihak ketiga, misal pembelian alat tulis kantor, pembelian seragam untuk
keperluan dinas,dan pembelian-pembelian lainnya.
Terdapat beberapa transaksi pembelian barang dan perolehan jasa
dari pihak ketiga yang tidak perlu dipungut PPN oleh bendahara yaitu: pembayaran
yang jumlahnya paling banyak
Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; pembayaran
untuk pembebasan tanah; pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
Pengecualian pemungutan PPN atas pembayaran ≤ Rp1.000.000,00, pembayaran
untuk pembebasan tanah, pembayaran BKP/JKP yang PPN tidak dipungut dan/atau
dibebaskan dan bebrapa pembayaran lain yang telah di atur di dalam
perundang-undangan.
Apabila terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai berupa
pemungutan Pajak
Pertambahan
Nilai yang lebih besar daripada yang seharusnya atau kesalahan pemungutan yang
bukan merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai, maka atas kelebihan pembayaran
PPN yang seharusnya tidak terutang tersebut dapat dimintakan pengembalian.
Peraturan-peraturan terkait pemungutan PPN adalah antara lain: Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2012; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2001
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2007; serta beberapa peraturan lain dalam perundang-undangan.
6. Bea Meterai
Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen berupa kertas
yang menurut Undang- Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Objek Bea Meterai terdiri ata Surat
perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai
alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata; akta-akta notaris termasuk salinannya; akta-akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya serta Surat yang memuat
jumlah uang, seperti kuitansi, billing statement, dll:
Bea Meterai tidak dikenakan atas: dokumen yang berupa; surat
penyimpanan barang konosemen, surat angkutan penumpang dan barang dll; segala
bentuk Ijazah; tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat surat yang
diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu dan lain lain.
Peraturan-peraturan terkait Bea Meterai adalah: Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1985; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000; Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 55/PMK.02/2009; Keputusan Menteri Keuangan Nomor
133b/KMK.04/2000; serta beberapa peraturan lainnya yang mengatur tentang
pemungutan Bea Materai.
C.
Kewajiban
Penyetoran dan Pelaporan
Kewajiban bendahara pemerintah selanjutnya adalah menyetorkan PPh
dan/atau PPN ke Bank Persepsi/Kantor Pos penerima pembayaran dan melaporkan SPT
Masa PPh dan/atau PPN ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak
bendahara terdaftar sesuai batas waktu yang telah diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007
Batas waktu pembayaran/penyetoran pajak yang sudah dipotong
dan/atau dipungut oleh bendahara pemerintah serta tanggal pelaporan Surat Pemberitahuan
Masa adalah sebagai berikut: Pasal Tanggal Penyetoran Tanggal Pelaporan PPh
Pasal 21 Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir; PPh Pasal 22 Disetor
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran Paling lama 14 hari setelah
Masa Pajak berakhir; PPh Pasal 23 Paling lama tanggal 10 bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir; PPh Pasal 4 ayat (2) Paling lama tanggal 10 bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir; PPN a. Bendahara pengeluaran sebagai Pemungut PPN paling lama tanggal
7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir; b. Pejabat
Penandatangan
Surat Perintah Membayar
sebagai Pemungut PPN harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan melalui
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Paling lama akhir bulan
berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan kewajiban
pemotongan/pemungutan, penyetoran dan pelaporan pajak-pajak yang telah
dipotong/ dipungut antara lain:
1.
apabila batas akhir pembayaran
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya;
2.
apabila batas akhir pelaporan
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya;
3.
pembayaran dan penyetoran pajak
dilakukan di Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
4.
Surat Setoran Pajak atau sarana
administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN);
5.
bendahara sebagai Pemotong PPh Pasal
21 atas penghasilan PNS di satuan kerjanya, memberikan tanda bukti pemotongan
paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir;
6.
Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21
wajib menggunakan e-SPT apabila jumlah bukti pemotongan dan/atau SSP dan/atau
bukti Pbk lebih dari 20 dokumen dalam satu masa pajak;
7.
Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD)/Kuasa Bendahara Umum Daerah (Kuasa BUD) wajib membuat
Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah (DTH) atas Belanja Daerah yang memuat
rincian transaksi harian belanja daerah.
8.
Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi
lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan
Negara (NTPN);
9.
bendahara sebagai Pemotong atau
Pemungut PPh memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan
kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut PPh setiap
melakukan pemotongan atau pemungutan;
10. bendahara
sebagai Pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS di satuan kerjanya,
memberikan tanda bukti pemotongan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun
kalender berakhir;
11. bendahara
sebagai Pemungut PPN melakukan validasi Faktur Pajak yang diterbitkan oleh
rekanan
12. Pelaporan
SPT Masa PPh Pasal 21 wajib menggunakan SPT apabila jumlah bukti pemotongan
dan/atau SSP dan/atau bukti Pbk lebih dari 20 dokumen dalam satu masa pajak;
13. DTH
yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD disampaikan kepada Kuasa BUD paling
lama tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir dengan dilampiri
fotokopi SSP lembar ke-3;
14. Kuasa
BUD membuat Rekapitulasi Transaksi Harian Belanja Daerah (RTH) yang memuat
rekapitulasi dari DTH dalam satu wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota berdasarkan
DTH yang disampaikan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD. RTH disampaikan kepada
Kepala KPP tempat Kuasa BUD terdaftar secara bulanan paling lama tanggal 20
setelah bulan yang
15. bersangkutan
berakhir dengan dilampiri DTH dan SSP lembar ke-3. Dalam pembuatan laporan
DTH/RTH, bendahara SKPD maupun Kuasa BUD dapat memanfaatkan sistem informasi
yang digunakan oleh Pemda (SIMDA,SIPKD, SIMAKDA dan lain-lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar