Minggu, 12 Februari 2017

Qiro'ah



A.                 Pengertian Qiro’ah
Menurut bahasa, Qira’at(قراءات) adalah bentuk jamak dari qira>’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaanPengertian Qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian Qira’atmenurut istilah. Qira’atmenurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan Qira’atsaja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan Qira’atitu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan Qira’atitu. Ada pengertian lain tentang Qira’atyang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian Qira’atmenurut pendapat al-Zarqani. Al-Zarqani memberikan pengertian Qira’atsebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah Qira’atriwayatdan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara Qira’atdengan riwayatdan tariqah, sebagai berikut
1.      Qira’ata dalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti Qira’atNafi’, Qira’atIbn Kasir, Qira’atYa’qub dan lain sebagainya.
2.      Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayatQalun ‘anNafi’ atau riwayatWarsy ‘an Nafi’.
3.      Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil Qira’atdari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan Qira’atNafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa qira’ah adalah cara membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dipilih dari salah seorang imam ahli qira’ah yang berbeda dengan cara ulama’ lain serta didasarkan atas riwayat-riwayat yang mutawatir sanadnya yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang terdapat dalam salah satu mushaf Usmani.
B.                 Sejarah Qiraatil Qur’an
Pada periode awal  kaum muslimin memperoleh ayat-yat Al- Qur’an lansung dari Nabi Saw. kepada para sahabat, dan dari para sabat ini kemudian kepada para tabi’in serta para imam-imam Qira’at pada masa selanjutnya. Pada masa Nabi Saw. ayat-ayat ini diperoleh dari Nabi dengan cara mendegarkan, membaca lalu beberapa sahadat menhafalkannya.  pada periode ini Alqur’an belum dibukukan, pedoman dasar bacaan dan pelajarannya langsung bersumber dari Na         bi Saw. Serta para sahabat yang hafal Al-Qur’an . hal ini berlangsung hingga masa para sahabat yang pada perkembangannya Al-Qur’an dibukukan atas dasar ikhtiar Abu Bakar dan inisiatif Umar bin Khattab. pada perkembangan berikutnya, al-qur’an justru tertata lebih karena kholifah  usman berinisiatif untuk menyalin mushaf dan dicetak lebih banyak untuk kemudiyan disebarkan kepada kaum muslimindi berbagai kawasan. Langkah ini ditempuh oleh utsman bin affan karena pada waktu itu terjadi perselisihan diantara kaum muslimin tentang perbedaan bacaan yang mereka terima, maka dengan dasar inilah sejarah awal terjadinya perdebatan Qira’at yang kemudiyan dipadankan oleh Utsman bin Affan dengan menyalin mushaf itu menjadi satu bentuk yang sama dan mengirimnya ke berbagai daerah.. Dengan cara seperti ini maka tidak akan ada lagi perbedaan, karena seluruh mushaf yang ada di daerah-daerah kaum muslimin semuanya sama, yaitu mushaf yang berasal dari kholifah utsman bin affan.
Setelah masa itu, maka muncullah para qurra’ (para ahli dalam Membaca Al-Qur’an), merekalah yang menjadi penutan di daerahnya masing-masing dan dari bacaan mereka di jadikan pedoman serta cara-cara membaca Al-Qur’an. Di madinah, misalnya terdapat banyak qurro’ diantaranya Ibnul Musayyab, Urwah, bin Abdul Aziz, Said bin Aslam. Di mekkah terdapat Ubaid bin Umar, Thoush, Mujahid dan Ikrimah. Di kufah terdapat Alqomah, Masruq, dan Ubaidah. Di Basrah ada Abu ‘Aliyah, Abu Roja’, dan Nasir bin Asir. Di Syam juga terdapat para qurro’ diantaranya: Mughiroh bin Abi Syihab, Kholifah bin Sa’id, Sahibu abi Darda’. Mereka semua adalah tokoh-tokoh yang ahli dalam qira’ah Al-Qur’an yang termasyhur.
Selain itu qira’ah Al-Quran juga dikenal bacaan yang teori membacanya berasal dari imam tujuh (qiro’ah sab’ah) mereka adalah : Imam Abu  ‘Amr, Nafi’, Ashim, Khamzah, Kisai, Ibnu Amir dan Ibnu Kasir. Tetapi ilmu qiro’ah ini muncul pada abad IV H. Imam sayuthi menyatakan bahwa yang pertama kali mengkaji  dan membukukannya dalam sebuah kitab adalah Abu Ubaid Al-Qasim bin salam, lalu imam Ahmad bin Jubair Al-Kufi  dan Ismail bin Ishaq Al-Maliki.
Adapun beberapa kitab yang membahas Qiro’ah sab’ah adalah At-tafsir fi Qira’ati Sab’Ikarya imam Abu amr’ Ad-dhani. Sedang yang membahas Qira’at asyrah adalah  Al-misbahud dzahir fi qira’atil asyir Dzawahir karya abduk kirom mubarak bin hasan asy-Syahraqarzy.
Selain itu, Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu Qira’atini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira>’at. Ada dua pendapat tentang hal ini; Pertama, Qira’atmulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya Qira’atsebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa Qira’atitu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah. Kedua, Qira’atmulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota Madinah. Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu Qira’atyang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai Qira’atyang ada. Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan Qira’atal-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima Qira’atdari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’atorang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil Qira’atdari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil Qira’atdari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli Qira’atantara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari. Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa Qira’atmasing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil Qira’atdari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil Qira’atdari para Tabi’in. Ahli-ahli Qira’atdi kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli Qira’atyang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam. Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah. Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi. Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d. Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam Qira’at– Qira’attertentu dan mengajarkan Qira’atmereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu Qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’atyang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai saat itu Qira’atmenjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun Qira’atSab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam Qira’atyanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya. Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan Qira’atsab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
C.                 Syarat- Syarat Sahnya Qiraat
1.      Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2.      Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3.      Shahih sanadnya.

   Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih. Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu. Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.
D.                 Macam –Macam Qira’ah
Dalam pembahasan tentang macam-macam qira’at ini akan di jelaskan pendapat para Ulama’ mengenai hal ini diantaranya:
1.      Dalam kitab mahabis fii’ ulumil Qur’an, prof. Dr . manna’ul Qatthan membagi jenis qira’at menjadi:           
a.       Pertama:  Qira’ah mutawatir, yaitu qira’ah yang periwayatannya melalui beberapa orang, seperti Qira’ah sab’ah yang menurut jumhhur ulama’ Qira’ah sab’ah ini semua riwatnya adalah mutawatir.. para imam yang termasuk dalam Qira’ah sab’ah adalah: Nafi’ bin Abdurrahman (w.169 H.) di Madinah; Ashim bin Abi Najud Al-asdy (w. 127 H.) di Kufah; Hamzah bin Habib At-Taymy (w. 158 H.) di Kufah; Ibnu amir al- yahuby (w. 118 H.) di Syam; Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H.) di Makkah; Abu Amer Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah dan Abu Ali Al- Kisa’i (w. 189 H) di Kufah
b.      Kedua : Qiroat Ahad, yaitu qiro’at yang sanatnya soheh tetapi tulisannya tidak cocok dengan tulisan mushap usmani yang juga tidak selaras dengan kaidah bahasa arab. Qiro’at ini tidak boleh untuk membaca al-qur’an.
c.       Ketiga : Qiro’at Syadz, yaitu qiro’at yang sanatnya tidak soheh, seperti bacaan dengan bentuk fi’il  madi yang berasa dari bacaaan ibnu sumaifai.
2.      Dalam kitab Zubdah Al- Itqon Fii Ulumil Qur’an Karya  Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki bahwa imam Al-Jaziri mengelompokkan Qiro’at dalam lima bagian, yaitu:
a.       Qiro’ah Mutawatir, yakni Qiro’at yang disampaikan oleh sekelompok orang mulai dari awal sampai sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Dengan kata lain, Qira’at Mutawatir adalah Qira’atyang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berbuat kebohongan. Contoh untuk Qira’atmutawatir ini ialah Qira’atyang telah disepakati jalan perawiannya dari imam Qiraat Sab’ah
b.      Qiroa’at Masyhur, yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sohih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Usmani, masyhur di kalangan ahli qiro’ah dan tidak termasuk qiro’ah yang keliru dan menyimpang. Misalnya qiro’at dari imam yang tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi misalnya meriwayatkan dari Imam Tujuh , sementara yang lainnya tidak. Qiro’at semacam ini banyak di jumpai kitab-kitab Qiro’ah misalnya At-taisir karya Ad-dani, Qashidah karya As-Syatibi, Au’iyyah Annasr Fi Qiro’ah Al-Asyr dan Taqrib An-Nasyr, keduanya karya Ibnu Al-Jaziri.
Selain itu, Qira’atMasyhur adalah Qira’atyang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta Qira’at-nya sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik Qira’at itu dari para imam Qira’at sab’ah, atau imam Qiraat’asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima Qira’at-nya dan dikenal di kalangan ahli Qira’atbahwa Qira’at itu tidak salah dan tidak syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada derajat Mutawatir. Misalnya ialah Qira’atyang diperselisihkan perawiannya dari imam Qira’atSab’ah, dimana sebagian ulama mengatakan bahwa Qira’atitu dirawikan dari salah satu imam Qira’atSab’ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka.
c.       Qira’at Ahad, yaitu qira’ah yang memiliki sanad sohih, tetapi menyalahi tulisan mushaf Usmani, dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur. Atau, Qira’at Ahad adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam Utsamani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan imam qiraat. Qira’at Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya sebagai al-Qur’an. Seperti riwayat dari Al-Hakim Al-Jahdiri dari Abu Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi saw. Membaca ayat:
متكئين عاي رفارف خضر وعباقري حسان
Dari Abu Hurairah, Al-Hakim meriwayatkan bahwa Nabi saw. Membaca:
فلا تعلم نفس ما اخفي لهم من قرات اعين
Juga dari Abu Hurairoh, Al-Hakim meriwatkan bahwa Nabi saw membaca:
                        لقد جاءكم رسول من انفسكم
(Huruf fa’ dibaca dlommah: anfasikum)
Dari ‘Aisyah, Alhakim meriwayatkan bahwa Nabi saw. Membaca:
فروح وريحا ن
(huruf fa’ di baca dlommah: faruuhun)
d.      Qiro’ah syadz, yaitu qiro’ah yang sanadnya tidak sohih. Contoh:ملك يوم الدين  (di baca malaka yauma). Qira’at Syazah adalah Qira’atyang cacat sanadnya dan tidak bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Hukum Qiraat Syazah ini tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar sholat.
e.       Qira’ah maudlu’ (palsu) seperti qira’ah Al-Khazza’I dengankata lain, Qira’at Maudu’ adalah Qira’atyang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa mempunyai dasar periwayatan sama sekali.
3.      Imam Suyuthi menambah jenis qira’ah yng keenam, yaitu yang menyerupai hadits Mudroj, yaitu adanya sisipan pada baca’an dengan tujuh penafsiran seperti qiro’ah Abi Waqqash yang berbunyi: وله اخ او اخت من ام       Juga sperti qiro’ah Ibnu Abbas yang berbunyi: ليس عليكم جناح ان تبتعوا فضلا من ربكم في موسم الحج
4.      Sedang menurut Prof. Dr.H. Abdul Djalal HA.dalam bukunay ulumul qur’an membagi qiroat beberapa kritria, yaitu:
a.      Qiro’ah ditinjau dari segi para pembacanya ( qurrok ):
1.      Qiro’ah Sab’ah yang disandarkan pada Imam Tujuh ahli qira’a, yaitu qira’ah yang  telah disebutkan diatas. Ada dua alasan kenapa di sebut qira’ah sab’ah: Pertama: ketika kholifah Utsman menirim ke berbagai daerah itu berjumlah tujuh buah yang masing-masing disertai dengan ahli qira’ah yang mengajarkan. Nama Sab’ah berasal dari jumlah qurro’ yang mengajarkan yaitu Sab’ah (tujuh). Dan Kedua: tujuh qira’ah itu adalah qira’at yang sama dengan tujuh cara (dialek) bacaan diturunkannya Al-qur’an. Dua pendapat diatas di sampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. yang mengutip dari pendapat Imam Al-Maliki.
2.      Qir’ah Asyrah: qira’ah yang di sandarkan kepada sepuluh orang ahli qra’ah, yaitu tujuh orang yang sudah tersebut dalam qira’ah sab’ah di tambah dengan tiga orang, yaitu:
a)      Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-qari (w. 130 H.) di Madinah
b)      Abu Muhammad Ya’ Qub bin Ishaal-Hadhary (w. 205 H.) di Basrah
c)      Abu Muhammad Kholf bin Hisyam Al-A’masyy (w. 229 H.)
Menurut sebagian ulama’, pembatasan terhadap tujuh ahli qira’at kurang tepat, karna masih banyak orang (ulama’) lain yang juga mamahami dan pandai tentang qira’at.
3.      Qira’ah Arba’a Asyrata: yaitu qira’ah yang di sandarkan kepada 14 ahli qira’ah yang megajarkannya, sepuluh ahli qira’ah yang telah di tulis di tambah dengan empat orang, yaitu:
a.       Hasan Al-Bashri (w. 110 H.) di Basrah
b.      Ibnu Muhaish (w. 123 H.)
c.       Yahya Ibnu Mubarok Al- Yazidy (w. 202 H.) di Baghdad
d.      Abu Faroj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy (w. 388 H.) di Baghdad
b.      Ditinjau dari Para Perawi Qira’at dilihat dari perawinya di bagi menjadi enam kelompok yang sudah di jelaskan pembagiannya pada pembahasan yang terdahulu, yaitu qira’ah mutawatiroh, Qira’ah Masyhurah, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz, Qira’ah maudlu’ dan Qira’ah Mudroj.
1.      Qira’ah Mudroj yaitu Qira’at yang ditambah dengan kalimat lain yang merupakan tafsirnya.
2.      Qira’ah Syaz yaitu Qira’at yang tidak mempunyai salah satu dari rukun yang tiga.
c.       Ditinjau dari segi nama jenis Sebagian ulama’ berpendapat bahwa jika qira’ah itu ditinjau dari sisi nama jenis, maka qira’ah itu di bagi menjadi:
1.      Qira’ah, yaitu untuk nama bacaan yan telah memenuhi tiga syarat sebagaimana penjelasan di atas, seperti Qira’ah Sab’ah, Qira’ah Asyrah dan Qira’ah Arba’a Asyrata.
2.      Riwayat,  nama bacaan yang hanya berasal dari salah sorang perawinya sendiri.
3.      Thariq, yaitu nama untuk bacaan yang sanadnya terdiri  dari orang-orang yang sesudah para perawinya sendiri.
4.      Wajah, yaitu nama untuk bacaan Al-qur’an yang tidak di dasarkan sifat-sifat tersebut di atas, melainkan berdasarkan pilihan pembacanya sendiri..
E.                 Syarat di Terimanya Qira’ah
Dengan banyaknya periwayatan dalam qira’ah, maka ada beberapa syarat, agar qira’ah tersebut shahih dan dapat di baca oleh umat. Syarat – syarat itu adalah:
1.      Qira’ah tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab,
2.      Sanad dari riwayat yang menceritakan qira’ah-qira’ah tersebut haru shahih,
3.      Bacaan yang di terapkan adalah bacan yang cocok dengn salah satu mushaf Utsmani.
Oleh sebab itu maka qira’ah yang shahih harus memenuhi syarat-syarat di atas, meskipun diriwayatkan kurang dari tujuh oang perawi Al-qur’an. Dengan pengertin lain, bahwa apabila sebuah qira’ah sudah memenuhi persyaratan tersebut diatas, maka qira’at tersebut dinyatkan Shahih yang harus di imani dan tidak bole di pungkiri keberadaannya. Berdasarkan persyaratan tersebut, maka setiap qira’at yang sudah terpenuh tiga hal di atas , maka dikatakan qira’ah shahih, baik berasal dari Qira’ah Sab’ah, Qir’ah Asyrah Ataupun Qira’ah Arba’a Asyrata. Prof. Dr. H.A. Djalal juga menegaskan bahwa menurut Al-kawassy, semua qira’ah yang shahih sanadnya, selaras dengan kaidah bahasa arab, dan sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, itu adalah termasuk qira’ah sab’ah yang dinash dalam hadits Nabi Muhammad saw.
F.                  Metode Penyampaian Qira’ah
Menurut Dr. Muhammad bin alawial-maliki dalam bukunya berjudul zubdah al-itqan fi ulumil qur’an mengatakan, bahwa di kalanga ahli hadits ada beberapa periwayatan atau penyampaian qira’ah di antaranya:
1.      Mendengr langsung dari guru (al-sima’)
2.      Membacakan teks atau hafalan di depan guru (al-qira’ah `ala al-syaikh)
3.      Melalui ijazah dari guru kepada murid
4.      Guru memberikan sebuh naskah asli kepada muridnya atau salinan yang di koreksinya untuk di riwayatkan(al-munalah)
5.      Guru menuliskan sesuatu untuk di berikan di berikan kepada muridnya(mukatabah)
6.      Wasiat dari guru kepada para murid-muridnya
7.      Peberitahuan tentang qira’ah tertentu(al-I’lam)
8.      Hasil temuan (al-wijadah)
Para imam qira’ah, baik salaf maupun kholafmeriwayatkan lebih banyak menggunakan metode qira’ah `al al-syaikh. Metode ini juga di gunakan oleh nabi saw. Ketika beliau menyodorkan bacaan al-qur’an di hadapan jibril pada seiap bulan ramadhan. Adapun al-sima’tidak di gunakan oleh para imam qira’ah dengan beberapa alasan: Pertama: karna yang mendengar langsung dari nabi hanyalah para sahabat. sedang mayoritas para imam qir’ah tidak pernah mendengarkan secara langsung dari nabi saw. Dan Kedua: setiap murid yang mendengar langsung dari gurunya tidak mampu secara persis meriwayatkan apayang telah di dapat dari gurunya. Sedang para sahabat dengan kulitas kefasihan yng baik, mereka mampu menyampaikan al- qur’an sama persis seperti ynag mereka dengarkan dari nabi.
G.                Manfaat Dari Keberagaman Qira’at
Meringankan numat islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-quran,Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-quran dari perubahan dan penyimpangan, Dapat menjelaskan hal2 mungkin masaih samar dalam qiraat yang lain, Bukti kemukjizatan al quran dari segi kepadatan  maknanya, karenasetiap qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ trtentu tanpa perlu ada pngulangan lafaz Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah,menunjukkan keutamaan  dan kemuliaan umat Muhammad saw atas umat2 pendahulunya.; Menunjukkan kemurnian al qur’an; Mempermudah mempelajari al-qur’an; Menunjukkan keagungan dan kemukjisatan al-qur’an.
H.                Pembagian Para Imam Qiro’at Menurut Tingkatan
            Berikut ini adalah pembagian tingkatan qiraat para imam qiraat berdasarkan kemutawatiran qiraat tersebut, para ulama telah membaginya ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu
1.      Qira’at yanng telah disepakati kemutawatirannya tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ahli Qira’atyaitu para imam Qira’atyang tujuh orang (Qira’atSab’ah)
2.      Qira’at yang diperselisihkan oleh para ahli Qira’at tentang kemutawatirannya, namun menurut pendapat yang shahih dan masyhur qiraat tersebut mutawatir, yaitu Qira’atpara imam Qira’atyang tiga; imam Abu Ja’far, Imam Ya’kub dan Imam Khalaf.
3.      Qira’at yang disepakati ketidak mutawatirannya (Qira’atsyaz) yaitu Qira’atselain dari Qira’atpara imam yang sepuluh (Qira’at‘Asyarah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...