A.
Kodifikasi Al-Qur’an
pada Masa Rasulullah SAW
Al-Qur’an dikumpulkan pada dua
masa,yaitu masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyidin. Masing-masing tahap
Kodifikasi ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Kata “Kodifikasi”, kadang
diartikan menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat. Kadang pula
diartikan penulisan atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun. Dan keduanya
ini berlaku pada tahap Kodifikasi di zaman nabi sekaligus,yaitu :
1.
Kodifikasi dalam dada, dengan cara
menghafal dan mengekspresikannya.
2.
Kodifikasi dalam tulisan, dengan
cara menulis dan mengukirnya.
Kedua sistem Kodifikasi tersebut sangat sempurna penjagaan dan
perhatian terhadap al-Qur’an al-Karim, baik penulisan dan pembukuan sebagai
kitab Allah yang suci dan mukjizat Nabi Muhammad Saw yang abadi, yang tidak
dimiliki oleh kitab-kitab lainnya. Berikut ini akan dijelaskan tahap Kodifikasi
Al-Qur’an diatas.
1.
Kodifikasi Al-Qur’an dalam dada Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi yang ummi. Otomatis, maka himmah Nabi hanya tercurahkan
untuk menghafal dan melahirkannya, agar ia dapat dihafal sebagaimana diturunkan
kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada manusia agar mereka dapat hafal
dan membacakannya. Telah maklum bahwa beliau adalah Nabi yang buta huruf yang
diutus oleh Allah kepada bangsa Arab yang juga buta huruf. Allah berfirman
dalam surat Al-Jumu’ah:2
Artinya : ”Dia yang mengutus kepada umat yang ummi (Arab) seorang rasul diantara mereka,yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari kekafiran dan kelakuan yang tidak baik) dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka.” (QS.Al-Jumu’ah:2). (Ash-Shaabuuniy :94) Sudah barang tentu, biasanya seorang yang buta huruf berpegang kepada orang yang hafal dan mengingatnya. Karena dia tidak bisa membaca atau menulis, maka bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an bangga dengan sifat kekhususannya, yaitu memiliki daya ingat yang kuat serta cepat menghafal,bahkan hatinya begitu terbuka.
Rasulullah ingin sekali hendak mengumpulkan wahyu itu. Turunnya ayat itu oleh nabi ditunggu dengan kerinduan dan setelah turun oleh Nabi dipahami dan dihafalnya. Benarlah janji Allah yang berbunyi “Sesungguhnya atas tanggung jawab kamilah megnumpulkannya (dalam dadamu) membuat kamu pandai membaca.(QS.75:17). Kemudian datang Al-Qur’an yang ternyata dengan kuatnya penjelasan kehebatan hokum-hukum serta kehebatan kerajaannya dapat mengalahkan syair-syair arab.Bahkan mampu mengalahkan akal dan pikiran,sehingga orang arab mengalihkan perhatiannya kepada kitab mulia itu.Dengan sepenuh hati mereka curahkan untuk menghafal dan membaca ayat-ayat serta surat-suratnya. Mereka meninggalkan syair-syairnya.Karena mereka telah menemukan cahaya kehidupan dalam Al-Qur’an.
Artinya : ”Dia yang mengutus kepada umat yang ummi (Arab) seorang rasul diantara mereka,yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari kekafiran dan kelakuan yang tidak baik) dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka.” (QS.Al-Jumu’ah:2). (Ash-Shaabuuniy :94) Sudah barang tentu, biasanya seorang yang buta huruf berpegang kepada orang yang hafal dan mengingatnya. Karena dia tidak bisa membaca atau menulis, maka bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an bangga dengan sifat kekhususannya, yaitu memiliki daya ingat yang kuat serta cepat menghafal,bahkan hatinya begitu terbuka.
Rasulullah ingin sekali hendak mengumpulkan wahyu itu. Turunnya ayat itu oleh nabi ditunggu dengan kerinduan dan setelah turun oleh Nabi dipahami dan dihafalnya. Benarlah janji Allah yang berbunyi “Sesungguhnya atas tanggung jawab kamilah megnumpulkannya (dalam dadamu) membuat kamu pandai membaca.(QS.75:17). Kemudian datang Al-Qur’an yang ternyata dengan kuatnya penjelasan kehebatan hokum-hukum serta kehebatan kerajaannya dapat mengalahkan syair-syair arab.Bahkan mampu mengalahkan akal dan pikiran,sehingga orang arab mengalihkan perhatiannya kepada kitab mulia itu.Dengan sepenuh hati mereka curahkan untuk menghafal dan membaca ayat-ayat serta surat-suratnya. Mereka meninggalkan syair-syairnya.Karena mereka telah menemukan cahaya kehidupan dalam Al-Qur’an.
Usaha
keras Nabi Saw untuk menghafal Al-Qur’an terbukti setiap malam beliau membaca
Al-Qur’an dalam shalat sebagai ibadah membaca dan merenungkan maknanya,
sehingga telapak beliau yang mulia itu pecah-pecah lantaran banyak berdiri
menjalankan perintah Allah. Maka tidak heran jika Rasulullah Saw menjadi sayyid
para huffazh.Hatinya yang mulia itu penuh dengan Al-Qur’an.Beliau menjadi
tempat bertanya bagi setiap kaum muslimin yang kesulitan tentang
Al-Qur’an.Demikian pula para sahabat.Mereka selalu berlomba-lomba membaca dan
mempelajari Al-Qur’an.Mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membaca dan
menghafalnya.Mereka mengajarkan kepada para istri dan anak-anak dirumah
mereka.Di setiap rumah yang dilewati dalam kegelapan malam,disana terdengar
gemuruh suara Al-Qur’an. Bahkan Rasulullah Saw pernah pada suatu ketika lewat
dirumah seorang anshar,beliau berhenti untuk mendengarkan Al-Qur’an dalam
kegelapan malam.Imam Bukhari mengeluarkan hadist dari Abu Musa Al-Asy’ari,
bahwa Rasulullah Saw, berkata kepadanya: “Andaikata tadi malam kau
memberitahukan kepadaku dan aku mendengar bacaanmu itu,tentu akan ku beri “mizmar”
(suling) keluarga dawud.”
Didalam hadist Bukhari dikatakan bahwa ada tujuh orang sahabatyang hafal Al-Qur’an.Mereka itu ialah Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim bin Mu’aqil maula Abu Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun dan Abu Dardak. Hadist dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash mengatakan :Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :Ambillah Al-Qur’an itu dari empat orang yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’az dan Ubay bin Ka’ab. Dari yang empat ini dua orang diantaranya dari golongan muhajirin yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Salim,dan dua orang lagi dari golongn anshar yaitu Mu’az dan Ubaiya.
Hadist dari Qatadah RA,berkata:Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik RA,siapa orang yang mengumpulkan Al-Qur’an di masa Rasulullah? Beliau menjawab :empat orang keseluruhannya itu orang anshar yaitu Ubay bin Ka’ab,Mu’az bin Jabal,Zaid bin Tsabit,dan Abu Zaid.Siapa Abu Zaid itu ? Katanya,salah seorang dari orang kebanyakan. Dari tujuh orang itulah yang disebutkan oleh Bukhari,mereka itulah yang memikul tanggung jawab mengumpulkan Al-Qur’an menurut apa yang mereka hafal itu.Dan yang dihafalnya itu dikembalikan kepada Nabi melalui sanad-sanad mereka inilah Al-Qur’an itu sampai kepada kita sekarang ini.Adapun orang-orang selain dari mereka ini masih banyak lagi yang hafal Al-Qur’an.Tidak kita kenal semua mereka itu apalagi pada masa itu tempat kediaman para sahabat-sahabat Nabi ini letaknya berjauh-jauhan dan terpencar-pencar di daerah-daerah yang berjauhan dalam kerajaan.Dari sini jelas bahwa para huffazh pada zaman Rasulullah Saw tidak terhitung lagi jumlahnya.Kita tahu jumlah mereka yang mati syahid pada perang Yamamah lebih dari 70 huffazh,dan sejumlah itu pula huffzh yang mati syahid pada zaman Rasulullah Saw di Bi’ri Ma’unah.Sehingga jumlah mereka yang mati syahid pada dua peristiwa itu mencapai 140 huffazh.Sungguh merupakan suatu keistimewaan yang luar biasa bagi umat Muhammad Saw dimana kitab suci ini dapat dihafal dalam dada mereka.Sehingga dalam menuqilnya,mereka berpegang pada hafalan hati,bukan pada tulisan dalam shahifah-shahifah dan buku saja.
Didalam hadist Bukhari dikatakan bahwa ada tujuh orang sahabatyang hafal Al-Qur’an.Mereka itu ialah Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim bin Mu’aqil maula Abu Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun dan Abu Dardak. Hadist dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash mengatakan :Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :Ambillah Al-Qur’an itu dari empat orang yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’az dan Ubay bin Ka’ab. Dari yang empat ini dua orang diantaranya dari golongan muhajirin yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Salim,dan dua orang lagi dari golongn anshar yaitu Mu’az dan Ubaiya.
Hadist dari Qatadah RA,berkata:Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik RA,siapa orang yang mengumpulkan Al-Qur’an di masa Rasulullah? Beliau menjawab :empat orang keseluruhannya itu orang anshar yaitu Ubay bin Ka’ab,Mu’az bin Jabal,Zaid bin Tsabit,dan Abu Zaid.Siapa Abu Zaid itu ? Katanya,salah seorang dari orang kebanyakan. Dari tujuh orang itulah yang disebutkan oleh Bukhari,mereka itulah yang memikul tanggung jawab mengumpulkan Al-Qur’an menurut apa yang mereka hafal itu.Dan yang dihafalnya itu dikembalikan kepada Nabi melalui sanad-sanad mereka inilah Al-Qur’an itu sampai kepada kita sekarang ini.Adapun orang-orang selain dari mereka ini masih banyak lagi yang hafal Al-Qur’an.Tidak kita kenal semua mereka itu apalagi pada masa itu tempat kediaman para sahabat-sahabat Nabi ini letaknya berjauh-jauhan dan terpencar-pencar di daerah-daerah yang berjauhan dalam kerajaan.Dari sini jelas bahwa para huffazh pada zaman Rasulullah Saw tidak terhitung lagi jumlahnya.Kita tahu jumlah mereka yang mati syahid pada perang Yamamah lebih dari 70 huffazh,dan sejumlah itu pula huffzh yang mati syahid pada zaman Rasulullah Saw di Bi’ri Ma’unah.Sehingga jumlah mereka yang mati syahid pada dua peristiwa itu mencapai 140 huffazh.Sungguh merupakan suatu keistimewaan yang luar biasa bagi umat Muhammad Saw dimana kitab suci ini dapat dihafal dalam dada mereka.Sehingga dalam menuqilnya,mereka berpegang pada hafalan hati,bukan pada tulisan dalam shahifah-shahifah dan buku saja.
Lain
halnya dengan para ahli kitab Taurat atau Injil,dimana dalam menjaga keduanya
mereka hanya berpegang pada tulisan yang telah dibukukan saja.Mereka selalu
membacanya dengan mata kepala,tidak hafal diluar kepala.Oleh sebab itu pada
keduanya bias terjadi perubahan dan pergantian.Adapun Al-Qur’an,Allah telah
menjaganya dengan pertolongan-Nya.Dia memudahkannya untuk dihafal.Dia
menjaganya dari kemungkinan perubahan dan pergantian dengan cara menjaganya
dalam dada.Hal ini sesuai dengan firman Allah: Artinya :”Sesungguhnya telah
kami turunkan peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya kami
memeliharanya”.(QS.Al-Hijr:22) Jelas tidak diragukan lagi,bahwa itu semua
merupakan pertolongan Allah khusus untuk kitab suci ini yang sekaligus
merupakan tanda kemuliaan bagi umat Muhammad Saw dimana dia telah menjadikan
pelita pada dada-dada mereka,serta memberi mereka kitab yang tidak luntur
dibasuh oleh air.
2. Kodifikasi Al-Qur’an pada tulisan Keistimewaan kedua untuk Al-Qur’an
ini adalah Kodifikasi dan penulisannya pada lembaran-lembaran. Rasulullah Saw
mempunyai beberapa penulis wahyu. Manakala turun ayat, segera beliau
perintahkan mereka untuk menulisnya, untuk lebih berhati-hati dalam pembukuan
pengukuhan serta pemeliharaan terhadap kitab Allah. Dengan demikian jelaslah
bahwa penulisan itu cocok dengan apa yang telah ditanamkan Allah ke dada
mereka. Para penulis adalah orang-orang pilihan diantara sahabat. Rasulullah
memilih mereka yang telah terbukti ketaqwaanya demi usaha yang demikian penting
dan agung. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin
Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Khulafaur Rasyidin, dan yang lain dari
golongan sahabat. Setelah wahyu turun lantas Nabi menyuruh mereka
menuliskannya. Nabi sendiri yang menunjukkannya kepada mereka untuk menempatkan
surat-surat itu ditempatnya. Tulisan itu jelas dalam bentuk huruf dan dikumpulkan
berdasarkan hafalan. Sebagaimana diketahui, mula-mula ada diantara sahabat itu menuliskan
Al-Qur’an hanya untuk dirinya sendiri. Nabi menyuruh supaya ditulis dengan rapi
dan dikumpulkan sehingga merupakan sebuah kitab. Mereka itu menulisannya ada
yang diatas pelepah kurma, diatas batu, pelepah tamar, papan, potongan-potongan
kulit, diatas kayu yang diletakkan diatas punggung keledai dan diatas
tulang-tulang. Kata Zaid bin Tsabit, kami dimasa Rasulullah menuliskan
Al-Qur’an itu diatas kulit atau diatas daun. Hal ini menunjukkan betapa
sulitnya tugas yang dipikul oleh sahabat Nabi dalam menuliskan
Al-Qur’anulkarim. Karena pada waktu itu orang tidak mudah mendapatkan alat-alat
tulis menulis, kecuali dengan cara beginilah tulisan itu melimpah pada hafalan.
Dimasa
Nabi masih hidup, maka tulisan Al-Qur’an itu belum ada yang dikumpulkan pada
mushaf. Tulisan yang kita kenal pada masa sekarang ini belum ada pada masa itu.
Menurut catatan orang pandai, ada beberapa orang diantara mereka itu yaitu Ali
bin Abi Thalib, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah
bin Mas’ud. Rasulullah menerima dan menghafal Al-Qur’an itu, ditulis pada
mushaf. Ketika itu ayat dan surat-surat masih bercerai berai atau yang tersusun
hanya baru ayat saja. Tiap-tiap surat pada shahifah itu dibatasi dengan huruf
yang tujuh yang ketika itu sudah diperdapat. Pada umumnya belum dikumpulkan
pada satu mushaf. Wahyu itu turun berturut-turut, lalu dihafal oleh ahli
qiro’at dan ditulis. Ketika itu belum ada keinginan orang untuk membukukan
Al-Qur’an ini pada satu mushaf. Karena ketika itu Nabi masih menunggu wahyu itu
dari masa yang terakhir. Kadang-kadang orang menasikhkan wahyu yang turun
sebelumnya. Tulisan Al-Qur’an itu belum disusun menurut susunan turunnya wahyu,
tapi baru ditulis sesudah ayat itu turun. Agar supaya Nabi-lah yang menunjukkan
untuk meletakkan tulisannya itu diantara ayat ini dan ayat ini pada surat ini.
Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya,sesuai dengan
petunjuk Rasulullah Saw dan perintah (wahyu) dari Allah SWT.Oleh sebab itu,para
ulama bersepakat bahwa Kodifikasi Al-Qur’an adalah bersifat ‘taufiqi’.yaitu
bahwa urutannya sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini,adalah
berdasarkan perintah dari wahyu Allah SWT.
Pada
masa Nabi masih hidup, tulisan Al-Qur’an itu belum ada yang di kumpulkan orang
pada mushaf.Tulisan yang kita kenal pada masa sekarang ini belum ada pada masa
itu.Menurut catatan orang pandai,ada beberapa orang diantara mereka itu yaitu
Ali bin Abi Thalib,Mu’az bin Jabal,Ubaiya bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Mas’ud.Semua ayat-ayat Al-Qur’an pada waktu itu hanya baru
dikumpulkan.Tulisan Al-Qur’an itu belum disusun menurut susunan turunnya
wahyu,tapi baru ditulis sesudah ayat itu turun.Agar supaya Nabilah yang
menunjukkan untuk meletakkan tulisannya itu diantara ayat ini dan ayat ini pada
surat ini.
B.
Kodifikasi
Al_Quran Di Masa Sahabat Rosulullah
1.
Kodifikasi
Al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Sidiq Setelah Abu Bakar menduduki kursi khalifah, yaitu setelah wafatnya
Rasulullah SAW, maka Abu Bakar menghadapkan perhatiannya pada peristiwa-peristiwa
besar pada masa itu yaitu murtadnya sebagian orang Arab. Maka dia menyediakan
pasukan-pasukan untuk menghadapi orang-orang murtad ini. Peperangan yang
dilakukan terhadap penduduk Yaman terjadi pada tahun ke 12 hijriah. Disini
berkumpul sejumlah besar sahabat yang qari’ Al-Qur’an. Dalam peperangan ini
syahid 70 orang sahabat yang qari’ Al-Qur’an. Melihat hal yang demikian ini
maka Umar bin Khattab merasa khawatir. Dia datang kepada Abu Bakar membicarakan
agar supaya Al-Qur’an ini dikumpulkan dan ditulis, dikhawatirkan akan sia-sia.
Karena banyaknya ahli qira’at yang terbunuh dalam pertempuran di Yamamah
tersebut, maka hal ini dikhawatirkan. Setelah itu Abu Bakar mengutus Zaid bin
Tsabit dalam masalah qira’at, menuliskannya, memahami, dan memikirkannya.
Al-Qur’an yang ditulis pada pelepah-pelepah tamar, pada batu-batu dan
tulang-tulang itu disalinnya kembali. Dan mushafnya diserahkan kepada Abu
Bakar. Oleh Abu Bakar mushaf ini disimpannya, dan setelah dia meninggal, maka
mushaf ini dipindahkan kepada khalifah Umar. Disinilah disimpan mushaf itu sampai
Umar meninggal.(Quthan:143) Terdapat pula mushaf-mushaf pribadi dikalangan
beberapa orang sahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubaiya, mushaf Ibnu Mas’ud.
Mushaf ke empat orang ini tidak seperti mushaf yang dikemukakan ini. Tidak
dapat menyamainya, baik dari segi susunan, maupun dari segi lainnya. Disinilah
letak keistimewaan mushaf Abu Bakar. Menurut pendapat sebagian ulama, Al-Qur’an
itu juga dinamakan mushaf. Timbulnya yaitu sejak Abu Bakar mengumpulkan mushaf
itu. Kata Ali, orang yang paling besar jasanya dalam mengumpulkan mushaf ialah
Abu Bakar RA. Allah telah memberi rahmat kepada Abu Bakar. Dialah orang yang
pertama kali mengumpulkan mushaf. Kumpulannya ini dinamakan kumpulan
kedua.(Quthan:145).
Abu
Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rosulullah. Ia dihadapkan dengan
peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang
Arab.karena itu Ia menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi
orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi padatahun ke-12 H.
melibatkan sejumlah sahabat yang hafal Al-Quar’an. Dalam peperangan ini 70
Qori’ dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat kawatirmelihat
kenyataan ini, lalu Ia menghadap Abu Bakar an engajukan usulan kepadanya agar
mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karna dikawatirkan akan musnah, sebab
peperangan Yamamah telah banyak menggugurkan para Qori’. Imam Bukhari
meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan
naskah-naskah Al Quran yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang
diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: "Suatu ketika Abu
bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah ,
ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap
kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat
banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al Quran, aku khawatir kejadian
serupa akan menimpa para penghafal Al Quran di beberapa tempat sehingga suatu
saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al Quran, menurutku sudah saatnya
engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al Quran, lalu aku
berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ?" Umar menjawab: "Demi
Allah, ini adalah sebuah kebaikan". Umar selalu saja mendesakku untuk
melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul
umar untuk mengumpulkan Al-Quran. Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku :
"Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan
hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Quran) untuk Rasulullah SAW, maka
sekarang periksa dan telitilah Al Quran lalu kumpulkanlah menjadi sebuah
mushaf". Zaid berkata : "Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan
aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada
memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al Qur’an. Abu Bakar berkata: “Demi Allah
ini baik”. Kemudian Abu Bakar terus mendesakku,hingga Allah melapangkan hatiku
sebagaimana melapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Kemudian aku teliti Al Quran
dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para
sahabat yang lain. Aku mendapatkan akhir surat At-Taubah pada Abu Khuzaimah
Al-Anshori yang tidak aku dapatkan pada yang lainnya, mak jadilah mushaf itu
berada di tanan Abu Bakar hingga wafat., kemudian berpindah kepada Umar, ketika
masih hidup, kemidian (setelah wafat Umar) berpindah ke tangan Hafshah binti
Umar
Kemudian
Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah
sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh
putrinya dan sekaligus istri Rasulullah SAW. yang bernama Hafsah binti Umar
ra.Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap
apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al Quran menjadi
sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al Quran
dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa
yang bersejarah ini dengan mengatakan : "Orang yang paling berjasa
terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah
yang pertama kali mengumpulkan Al Quran, selain itu juga Abu bakarlah yang
pertama kali menyebut Al-Quran sebagai Mushaf).
Perintah
kodifikasi Al-Qur’an oleh Abu Bakar kepada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu
kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. di bawah pengawasan Abu Bakar,
Umar dan para tokoh lainnya. Adapun Umar bin Khattab sebagai pemilik gagasan
kodifikasi Al-Qur’an, sedangkan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana
teknis. Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al Quran
sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat
perkataannya yaitu : "Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah
atau manuskrip Al Quran yang dikumpulkan dan di bundel sebagai Mushaf"
dari perkataan salim inilah Abu Bakar mendapat inspirasi untuk menamakan
naskah-naskah Al Quran yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan
naskah yang mulya). Dalam Al Quran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah
satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul utusan
Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al Quran)"
Keistimewaan
Mushaf Abu Bakar As-Shiddiq:
a.
Diperoleh dari hasil penelitian yang
sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
b.
Yang tercatat dalam mushaf hanyalah
bacaan yang pasti, tidak ada naskah bacaannya.
c.
Ijma’ umat terhadap mushaf tersebut
secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat al-qur’an.
d.
Mushaf mencakup qira’at sab’ah yang
dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut
menimbulkan kekaguman dihati para sahabat terhadap usaha Abu Bakar dalam
memelihara Al-Qur’an dari bahaya kemusnahan. Dan hal tersebut berkat taufiq
serta hidayah dari Allah SWT.(Ash-Shabuuniy:105)
2.
Kodifikasi Al-Qur’an
di masa Utsman bin Affan Semakin meluasnya penaklukan-penaklukan islam. Ahli-ahli
qira’at terpencar-pencar di daerah-daerah kerajaan islam. Ahli-ahli ilmu
pengetahuan tiap-tiap daerah kerajaan mengambil qira’at ini dari utusan-utusan
yang dikirim ke daerah-daerah mereka. Mereka hidup menurut kelompok atau daerah
tempat tinggal mereka. Sebagian dari bentuk perbedaan ini menakjubkan. Semua
kelompok ini bersandarkan kepada Rasulullah. Namun hal ini tidak akan merubah
penulisan kitab yang menimbulkan keragu-raguan yang belum terpikir oleh
Rasulullah SAW. Berbicara tentang perbedaan itu berjalan terus sampai kepada
yang lebih bagus. Kebagusan ini selalu ditingkatkan, malah sudah sampai
melampaui batas dan perbuatan dosa.(Quthan:146)
Di waktu terjadi pertempuran sengit
di Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak. Dalam kedua pertempuran ini
Huzaifah bin Al-Yamani memperhatikan banyak terdapat banyak perbedaan pendapat
dalam masalah qira’at. Sebagian orang ada yang salah bacaannya. Di samping itu
tiap-tiap orang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki bacaan dan
wakaf-wakafnya. Karena adanya perbedaan itu, maka timbul kekhawatiran
dikalangan para sahabat. Hal ini dengan secara berangsur-angsur akan terjadi
perubahan dan pertukaran letak. Karena itu khalifah mengumpulkan orang dan
memerintahkan kepada mereka untuk menyalin mushaf pertama yang berada pada Abu
Bakar kemudian mushaf itu diserahkan kepada Utsman. Kemudian Utsman mengutus
Zaid bin Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Sa’id ibnu Ash dan Abdurrahman bin
Al-Harist untuk menyalin mushaf-mushaf. Dan salinan itu oleh Utsman dikirim
keseluruh penjuru kerajaan islam pada waktu itu. Disini Utsman memerintahkan
tiap-tiap mushaf yang berbeda dari Al-Qur’an supaya dibakar.(Quthan:146)
Pada
masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar
Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa
arab saja. Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu
dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka
bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh
salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang
bernama Hudzaifah bin al-yaman. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a bahwa
suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah
Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan
(dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas
realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah
kepada perselisihan. Ia berkata : "Wahai
utsman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran,
jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi
dan nasrani ". Kemudian Utsman mengutus seseorang untuk menemui
Hafshah, agar Hafshah berkenan mengirimkan mushaf yang ada padanya untuk
kemudian ditulis (disalin) kembali. Setelah naskah itu selesai maka naskah
aslinya akan dikembalikan kepada Hafshah. Maka Hafshah mengirimkan naskah
aslinya kepada Utsman, kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris, lalu mereka menulis
Mushaf yang aslia ini dalam bentuk beberapa mushaf.
Kodifikasi
dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman
berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat
bahasa suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.[1][17]
Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu hurf (dialeg) dari tujuh hufr Al-Qur’an
seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qira’at. Lalu Ia kirimkan
pula ke setap wilayah masing-masing satu mushaf., dan ditahannya satu mushaf di
Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal denga nama “Mushaf Imam”. Penamaan Mushaf Imam itu
sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu diman Ia
mengatakan “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua
orang satu Imam”. Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu Bakar
dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar
setiap naskah-naskah dan manuskrip Al Quran selain Mushaf hasil salinannya yang
berjumlah 6 Mushaf. Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar
yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk
ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
Telah
diperselisihkan (oleh para ulama’) tentang jumlah Mushaf yang dikirimkan oleh
Utsman ke berbagai wilayah dan negari Islam. Tetapi berdasarkan pendapat yang
masyhur, ada lima mushaf. Ibnu Abi Daud mengeluarkan riwayat dari jalan
periwayatan Hamzah Az-Zayyat, ia berkata: “Utsman telah mengirimkan empat
Mushaf”. Ibnu ABi Daud juga berkata: “Aku pernah mendengar Abu Hatim As-Sajastani
berkata bahwa Utsman menulis tujuh mushaf, kemudian mengirimkan (mushaf-mushaf)
itu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan menahan satu mushaf di
Madinah”
Tindakan
Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan
dikalangan umat islam sehingga ia manuai pujian dari umat Islam baik dari dulu
sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa
mengumpulkan Al Quran. Adapun Tulisan yang dipakati oleh panitia yang dibentuk
Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm al-Anbath tanpa harakat
atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
Secara Umum, Perbedaan
antara mushaf Abu Bakar dan mushaf Utsman
Perbedaan antara Kodifikasi (mushaf) Abu Bakar dan Usman adalah sebagai berikut. Kodifikasi mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf dan ayat-ayatnya sudah tersusun,berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang.Adapun latar belakangnya karena banyaknya huffaz yang gugur.Sedangkan Kodifikasi musahf pada masa Utsman adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh Negara Islam.
Perbedaan antara Kodifikasi (mushaf) Abu Bakar dan Usman adalah sebagai berikut. Kodifikasi mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf dan ayat-ayatnya sudah tersusun,berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang.Adapun latar belakangnya karena banyaknya huffaz yang gugur.Sedangkan Kodifikasi musahf pada masa Utsman adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh Negara Islam.
C.
Terminologi
Rasm al-Mushhaf
Rasm berasal dari kata rasama,
yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis. Dalam ilmu al-Qur’an, yang
dimaksud dengan rasm al-Qur’an/al-Mushhaf tatacara penulisan al-Qur’an yang
ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Rasm al-Mushhaf dilakukan oleh
panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin
‘Ash, dan Abdrrahman bin Harits. Panitia empat yang dibebani tugas penulisan
beberapa naskah al-Qur’an tersebut, menempuh cara khusus yang direstui oleh
khalifah, baik dalam hal penulisan lafadz-lafadznya maupun bentuk huruf yang
digunakannya. Banyak ulama yang mengaitkan tulisan tersebut dengan khalifah
yang memberi tugas sehingga menyebutnya sebagai Rasm Utsmani (Shalih, 361). Pola
penulisan rasm utsmani memiliki perbadaan dengan kaidah atau standar penulisan
bahasa Arab baku yang berkembang di dalam masyarakat modern. Rasm Utsmani juga
berbeda dengan cara penulisan aruzh (ilmu untuk menimbang syair). Pola rasm
utsmani inilah yang kemudian dijadikan standar dalam penulisan kembali atau
penggandaan mushhaf al-Qur’an.
Para Penulis Ayat al-Qur’an Oleh karena
Nabi Muhammad saw itu seorang “ummi”, tidak bisa pandai membaca dan menulis,
maka sewaktu-waktu beliau pandai membaca tulisan dan menulis, maka sewaktu-waktu
beliau menerima wahyu al-Qur’an da telah dibacakan oleh malaikat Jibril, lalu
beliau menghafalkannya demgam sempurna. Kemudian beliau menyuruh para sahabat
yang telah ditetapkan atau diangkat menjadi penulis beliau untuk menulis
wahyu-wahyu itu. Menurut riwayat, paa penulis beliau waktu itu ada 26 orang,
bahkan ada pula yang meriwayatkan 42 orang. Adapun nama-nama mereka yang 26
adalah: 1. Abu Bakar as-Shiddiq, 2. Umar bin al Khattab, 3. Utsman bin Affan,
4. Ali bin Abi Thalib, 5. Zubair bin Awwam, 6. Amir bin Fuhairah, 7. Abdullah
bin Arqam, 8. Amr bin ‘Ash, 9. Ubayya bin Ka’ab, 10. Mughirah bin Syu’bah, 11.
Handlalah bin ar Rabi’, 12. Abdullah bin Ruwahah, 13. Khalid bin Walid, 14.
Khalid bin Sa’id, 15. Al ‘Alla bin Hadhrami, 16. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, 17.
Yazid bin Abi Sufyan, 18. Muhannad bin Maslamah, 19. Abdullah bin Abdullah bin
Ubayya, 20. Mu’aiqib bin Abi Fthimah, 21. Hudzaifah bin Yaman, 22. Abdullah bin
Abi Sarah, 23. Huwaithib bin Abdul ‘Uzza, 24. Hashien bin Namier, 25. Tsabit bin
Qais, dan 26. Zaid bin Tsabit.
Para penulis al-Qur’an yang telah
ditetapkan oleh Nabi saw itu, mereka menulisi ayat-ayat al-Qur’an tidaklah
dijadikan satu, tidak disatu tempat. Sebagian menulisnya di pelapah-pelapah
korma, sebagian di atas batu-batu putih yang tipis, sebagian disobekan-sobekan
kain dan lain sebagainya. Oleh masing-masing penulis al-Qur’an, ditulisnya
ayat-ayat itu dua buah, yang satu disampaikan kepada Nabi dan yang satu
disimpan untuk dirinya sendiri. Dan sebagian banysk dari mereka itu setelah
menulisnya lalu menghafalkannya sampai lancar di luar kepala.
Kepada para penulis al-Qur’an, ditunjukkan pula oleh Nabi saw letak dan tempatnya, yakni dimana ayat satu dengan ayat lainnya itu diletakkan dan di surat apa diletakkan. Semuanya itu diatur olh Nabi saw dengan pimpinan Allah melalui perantaraan malaikat Jibril. Kata Utsman r.a : “Rasulullah saw apabila turun surat kepada yang mengandung beberapa ayat, lalu apabila turun lagi suatu ayat kepadanya, dia segera memanggil orang yang menulis (penulis), lalu bersebda : “Letakkanlah ayat-ayat ini di dalam surat yang disebut di dalamnya ini……... dan ini… (Riwayat Imam Imam Ahmad, Turmudzi, Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Hibban). Jadi, tertib dan susunan ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini, adalah memang telah diatur oleh Nabi saw sendiri, dan belau mendapat pimpinan resmi dari Allah swt.
Al-Qur’an di zaman Nabi saw belumlah dijadikan sebuah buku. Sebabnya Nabi belum memerintahkan supaya dihimpun menjadi satu, karena beliau masih-masih menanti-nanti adanya wahyu lagi. Yakni kalau masih ada wahyu lagi yang akan diterimanyasebagai tambahan atau perubahan. Tetapi setelah ternyata tidak ada lagi wahyu yang datang, maka Nabi saw memerintahkan kepada penulisnya, supaya menghimpun ayat-ayat dan surat-surat yang telah ditulis oleh mereka masing-masing. Sebelum para penulis wahyu selesai mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang berserak-serak itu, tiba-tiba Nabi saw terburu wafat. Jadi dikala itu al-Qur’an belum dihimpun menjadi sebuah buku.
Kepada para penulis al-Qur’an, ditunjukkan pula oleh Nabi saw letak dan tempatnya, yakni dimana ayat satu dengan ayat lainnya itu diletakkan dan di surat apa diletakkan. Semuanya itu diatur olh Nabi saw dengan pimpinan Allah melalui perantaraan malaikat Jibril. Kata Utsman r.a : “Rasulullah saw apabila turun surat kepada yang mengandung beberapa ayat, lalu apabila turun lagi suatu ayat kepadanya, dia segera memanggil orang yang menulis (penulis), lalu bersebda : “Letakkanlah ayat-ayat ini di dalam surat yang disebut di dalamnya ini……... dan ini… (Riwayat Imam Imam Ahmad, Turmudzi, Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Hibban). Jadi, tertib dan susunan ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini, adalah memang telah diatur oleh Nabi saw sendiri, dan belau mendapat pimpinan resmi dari Allah swt.
Al-Qur’an di zaman Nabi saw belumlah dijadikan sebuah buku. Sebabnya Nabi belum memerintahkan supaya dihimpun menjadi satu, karena beliau masih-masih menanti-nanti adanya wahyu lagi. Yakni kalau masih ada wahyu lagi yang akan diterimanyasebagai tambahan atau perubahan. Tetapi setelah ternyata tidak ada lagi wahyu yang datang, maka Nabi saw memerintahkan kepada penulisnya, supaya menghimpun ayat-ayat dan surat-surat yang telah ditulis oleh mereka masing-masing. Sebelum para penulis wahyu selesai mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang berserak-serak itu, tiba-tiba Nabi saw terburu wafat. Jadi dikala itu al-Qur’an belum dihimpun menjadi sebuah buku.
D.
Permulaan
Al-Qur’an Dihimpun dan Dibukukan
Diriwayatkan bahwa dikala Abu Bakar
as-Shiddiq menjabat khalifah, dengan sekonyong-konyong ada suatu peristiwa yang
seakan-akan mendorong kepada beliau, agar ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an
yang masih berserak-serak itu dihimpun dan dikumpulkan menjadi sebuah buku.
Peristiwa itu ialah terjadinyua peperangan di Yamamah, peperangan antara kaum
Muslimin yang tulen dan yang palsu (murtad). Dalam peperangan ini banyak dari
para sahaba yang meninggal dunia. Diriwayatkan ada 70 orang yang wafat.
Sehubungan dengan ini, Umar bin Khattab berfikir dan berpendapat bahwa : jika hal demikian terjadi terus menerus, para sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang tewas (syahid), mungkin nantinya menyebabkan fitnah yang besar bagi kaum Muslimin. Maka seketika itu datanglah beliau kepada khalifah Abu Bakar as-Shiddiq dengan mengemukakan usul bahwa hendaknya ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an segera dihimpun, dikumpulkan menjadi satu. Usul sebaik itu disetujui oleh khalifah Abu Bakar dan para sahabat besar yang lain pada waktu itu.
Persetujuan bulat dari mereka itu ditambah pula dengan pembicaraan siapa-siapa yang akan diserahi tugas yang maha berat ini. Akhirnya mereka serentak memutuskan Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis al-Qur’an yang kenamaan. Kemudian dipanggillah Zaid bin Tsabit dan Khalifah berkata kepadanya : “Hai Zaid, engkau seorang pemuda yang berakal serta cerdas. Kami tidak akan menaruh dugaan yang baik kepadamu. Dari dahulu engkaulah seorang penulis wahyu yang senantiasa menuliskan wahyu untuk Rasulullah saw. Oleh karena itu kini hendaklah tulisan-tulisan itu engkau kutip semuanya dan himpunlah menjadi satu !”. Kata Zaid bin Tsabit : “ Sesungguhnya demi Allah, jika sekiranya mereka menyuruhku supaya aku memindahkan satu gunung itu lebih ringan bagiku daripada menghimpunkan al-Qur’an yang disuruhkan mereka itu atas diriku”. Selanjutnya ia berkata : “Bagaimana aku diperintah mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw?”. Kata Abu Bakar:“ Demi Allah itu pekerjaan yang baik dan utama”. Demikianlah selanjutnya hingga Abu Bakar berulang kali memerintahkan Zaid supaya mengerjakan pekerjaan yang baik dan utama itu, sehingga terbukalah hati Zaid untuk mengerjakan perintah menghimpun dan mengumpulkan al-Qur’an dari catatan-catatan yang ada di pelapah-pelapah korma, dari batu-batu dan dari dada-dada pada orang yang yang hafal al-Qur’an. Kemudian setelah selesai al-Qur’an dihimpun menjadi satu naskah, lalu diserahkan kepada Abu Bakar, dan oleh beliau lalu disimpan baik-baik sampai datang hari wafatnya. Kemudian sepeninggal Abu Bakar, naskah al-Qur’an itu berpindah ke tangan Umar bin Khattab selaku khalifah ke II, dan sepeninggal beliau ini, lalu disimpan oleh salah seorang putrinya, ialah Siti Hafshah bekas istri Nabi saw.
Demikianlah singkatnya riwayat al-Qur’an ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah, dan itulah permulaan al-Qur’an dihimpun menjadi sebuah buku. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke XI dari hijriah.
Sehubungan dengan ini, Umar bin Khattab berfikir dan berpendapat bahwa : jika hal demikian terjadi terus menerus, para sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang tewas (syahid), mungkin nantinya menyebabkan fitnah yang besar bagi kaum Muslimin. Maka seketika itu datanglah beliau kepada khalifah Abu Bakar as-Shiddiq dengan mengemukakan usul bahwa hendaknya ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an segera dihimpun, dikumpulkan menjadi satu. Usul sebaik itu disetujui oleh khalifah Abu Bakar dan para sahabat besar yang lain pada waktu itu.
Persetujuan bulat dari mereka itu ditambah pula dengan pembicaraan siapa-siapa yang akan diserahi tugas yang maha berat ini. Akhirnya mereka serentak memutuskan Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis al-Qur’an yang kenamaan. Kemudian dipanggillah Zaid bin Tsabit dan Khalifah berkata kepadanya : “Hai Zaid, engkau seorang pemuda yang berakal serta cerdas. Kami tidak akan menaruh dugaan yang baik kepadamu. Dari dahulu engkaulah seorang penulis wahyu yang senantiasa menuliskan wahyu untuk Rasulullah saw. Oleh karena itu kini hendaklah tulisan-tulisan itu engkau kutip semuanya dan himpunlah menjadi satu !”. Kata Zaid bin Tsabit : “ Sesungguhnya demi Allah, jika sekiranya mereka menyuruhku supaya aku memindahkan satu gunung itu lebih ringan bagiku daripada menghimpunkan al-Qur’an yang disuruhkan mereka itu atas diriku”. Selanjutnya ia berkata : “Bagaimana aku diperintah mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw?”. Kata Abu Bakar:“ Demi Allah itu pekerjaan yang baik dan utama”. Demikianlah selanjutnya hingga Abu Bakar berulang kali memerintahkan Zaid supaya mengerjakan pekerjaan yang baik dan utama itu, sehingga terbukalah hati Zaid untuk mengerjakan perintah menghimpun dan mengumpulkan al-Qur’an dari catatan-catatan yang ada di pelapah-pelapah korma, dari batu-batu dan dari dada-dada pada orang yang yang hafal al-Qur’an. Kemudian setelah selesai al-Qur’an dihimpun menjadi satu naskah, lalu diserahkan kepada Abu Bakar, dan oleh beliau lalu disimpan baik-baik sampai datang hari wafatnya. Kemudian sepeninggal Abu Bakar, naskah al-Qur’an itu berpindah ke tangan Umar bin Khattab selaku khalifah ke II, dan sepeninggal beliau ini, lalu disimpan oleh salah seorang putrinya, ialah Siti Hafshah bekas istri Nabi saw.
Demikianlah singkatnya riwayat al-Qur’an ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah, dan itulah permulaan al-Qur’an dihimpun menjadi sebuah buku. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke XI dari hijriah.
E.
Dihimpunnya
al-Qur’an yang Kedua Kali dan Mulai Disiarkannya Umat Islam
Kemudian setelah jabatan khalifah
berpindah kepada Utsman bin Affan r.a dan Islam dikala itu telah tersyiar ke
negara Syam, Iraq dan lain-lainnya, maka ketika itu timbul pula suatu peristiwa
yang tidak diharapkan, yang riwayatnya dengan singkat sebagai berikut :
Ketika Utsman r.a mengerahkan balatentara Islam ke Negara Syamdan Iraq untuk memerangi penduduk Armenia dan Adzribijan, sekonyong-konyong datanglah sahabat Hudzaifah bin Yaman ke hadapan serta memberitahukan, bahwa dalam lingkungan kaum Muslimin di Negara-negara Islam banyak kejaian perselisihan tentang bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu ia mengusulkan kepada khalifah Utsman, hendaknya perselisihan itu segera dipadamkan, dengan jalan bahwa al-Qur’an yang telah dihimpun menjadi sebuah naskah di zaman Abu Bakar r.a itu dikirimkan kesana, yang sedemikian itu agar kaum Muslimin tidak berselisih dalam urusan bacaan al-Qur’an, sebagaimana terjadi yang pernah terjadi dalam lingkungan para ahli kitab (kaum Yahudi-Nasrani) dalam urusan kitab mereka.
Ketika Utsman r.a mengerahkan balatentara Islam ke Negara Syamdan Iraq untuk memerangi penduduk Armenia dan Adzribijan, sekonyong-konyong datanglah sahabat Hudzaifah bin Yaman ke hadapan serta memberitahukan, bahwa dalam lingkungan kaum Muslimin di Negara-negara Islam banyak kejaian perselisihan tentang bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu ia mengusulkan kepada khalifah Utsman, hendaknya perselisihan itu segera dipadamkan, dengan jalan bahwa al-Qur’an yang telah dihimpun menjadi sebuah naskah di zaman Abu Bakar r.a itu dikirimkan kesana, yang sedemikian itu agar kaum Muslimin tidak berselisih dalam urusan bacaan al-Qur’an, sebagaimana terjadi yang pernah terjadi dalam lingkungan para ahli kitab (kaum Yahudi-Nasrani) dalam urusan kitab mereka.
Di samping itu, di Madinah ada
kanak-kanak kaum Muslimin yang bercekcok, lantaran berselisih dalam urusan
bacaan al-Qur’an, yang akhirnya perselisihan menimbulkan pertengkaran mulut,
kemudian menjadi pertengkaran ramai antara para guru al-Qur’an yang biasa
mengajar kanak-kanak, sehingga timbul bunuh membunuh diantara mereka.
Khalifah Utsman setelah menerima berita yang menyedihkan itu, dengan segera mengutus orang mengambil naskah al-Qur’an peninggalan Abu Bakar yang disimpan oleh Siti Hafshah, dengan maksud naskah itu akan diturun, dan turunnya akan dikirimkan ke pusat-pusat Negara-negara Islam dikala itu. Dalam pada itu, beliau memanggil pula para bekas penulis wahyu dan para sahabat Nabi yang hafal al-Qur’an, yang masih hidup dikala itu, untuk diajak bermusyawarah tentang bacaan al-Qur’an. Demikianlah, maka oleh Siti Hafshah naskah al-Qur’an yang ada di tangannya lalu segera dikirimkan kepada khalifah Utsman. Kemudian setelah naskah itu sampai di tangan beliau, lalu beliau memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘ash dan Abdurrahman bin Harits, supaya mereka itu menyalin isi naskah dari Siti Hafshah tadi. Perintah itu diterima baik oleh mereka masing-masing, dan beliau lalu berkata kepada mereka : “Apabila kamu bertiga berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari al-Qur’an, hendaklah kamu tulis al-Qur’an itu dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Quraisy. Utsman berkata demikian itu, lantaran Zaid bin Tsabit itu bukan dari bangsa Quraisy, sedang tiga orang lainnya itu dari bangsa Quraisy. Kemudian setelah mereka menyalin, naskah Siti Hafshah tadi dikembalikan, dan salinan itu dijadikan lima buah naskah. Ini menurut riwayat yang masyhur. Lima buah naskah mashhaf al-Qur’an itu oleh Utsman lalu dikirimkan : sebuah ke Mekkah, sebuah ke Syam, sebuah ke Kufah, sebuah ke Bashrah dan sebuah disimpan oleh beliau. Dalam riwayat lain tujuh buah, yakni dengan tambahan sebuah ke Yaman dan sebuah ke Bahrain. Dalam pada itu beliau memerintahkan pula ke seluruh pusat Negara Islam dikala itu, bahwa naskah al-Qur’an yang ada sebelumnya, supaya dibakar atau disesuaikan dengan salah satu salinannaskah al-Qur’an yang lima buah itu. Menurut keterangan y.m. Imam Ibnu Hajar al ‘Ashqallani : kejadian tersebut itu pada tahun ke XXV dari hijriah.
Khalifah Utsman setelah menerima berita yang menyedihkan itu, dengan segera mengutus orang mengambil naskah al-Qur’an peninggalan Abu Bakar yang disimpan oleh Siti Hafshah, dengan maksud naskah itu akan diturun, dan turunnya akan dikirimkan ke pusat-pusat Negara-negara Islam dikala itu. Dalam pada itu, beliau memanggil pula para bekas penulis wahyu dan para sahabat Nabi yang hafal al-Qur’an, yang masih hidup dikala itu, untuk diajak bermusyawarah tentang bacaan al-Qur’an. Demikianlah, maka oleh Siti Hafshah naskah al-Qur’an yang ada di tangannya lalu segera dikirimkan kepada khalifah Utsman. Kemudian setelah naskah itu sampai di tangan beliau, lalu beliau memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘ash dan Abdurrahman bin Harits, supaya mereka itu menyalin isi naskah dari Siti Hafshah tadi. Perintah itu diterima baik oleh mereka masing-masing, dan beliau lalu berkata kepada mereka : “Apabila kamu bertiga berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari al-Qur’an, hendaklah kamu tulis al-Qur’an itu dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Quraisy. Utsman berkata demikian itu, lantaran Zaid bin Tsabit itu bukan dari bangsa Quraisy, sedang tiga orang lainnya itu dari bangsa Quraisy. Kemudian setelah mereka menyalin, naskah Siti Hafshah tadi dikembalikan, dan salinan itu dijadikan lima buah naskah. Ini menurut riwayat yang masyhur. Lima buah naskah mashhaf al-Qur’an itu oleh Utsman lalu dikirimkan : sebuah ke Mekkah, sebuah ke Syam, sebuah ke Kufah, sebuah ke Bashrah dan sebuah disimpan oleh beliau. Dalam riwayat lain tujuh buah, yakni dengan tambahan sebuah ke Yaman dan sebuah ke Bahrain. Dalam pada itu beliau memerintahkan pula ke seluruh pusat Negara Islam dikala itu, bahwa naskah al-Qur’an yang ada sebelumnya, supaya dibakar atau disesuaikan dengan salah satu salinannaskah al-Qur’an yang lima buah itu. Menurut keterangan y.m. Imam Ibnu Hajar al ‘Ashqallani : kejadian tersebut itu pada tahun ke XXV dari hijriah.
F.
Perkembangan
Penulisan al-Qur’an
Penyempurnaan penulisan al-Qur’an
terus berlangsung setelah penulisan pada masa khalifah Utsman. Mushhaf Utsmani
tidak dilengkapi dengan tanda-tanda baca seperti mushhaf yang dikenal sekarang
ini. Belum ada tanda berupa titik untuk membedakan antara huruf yang mirip.
Sebab, para sahabat yang juga mengandalkan hafalan tidak menemui kesulitan
dalam membaca mushhaf pada masa itu. Kesulitan baru dialami setelah dunia Islam
meluas dan banyak orang non Arab masuk Islam.
Ketika Ziyad bin Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mu’awiyyah
bin Sufyan (661-680 M) –riwayat lain menyebutkan pada masa Ali bin Abi Thalib
–ia memerintahkan kepada Abu al-Aswad al- Duwaliuntuk membuat tanda-tanda baca,
terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang
tidak hafal al-Qur’an. Pada awalnya ia menolak, namun setelah ia mendengar
sendiri kesalahan bacaan yang fatal, ia bersedia dan bahkan menawarkan sendiri
untuk meletakkan tanda-tanda bacaan tersebut. Al-Duwali memberikan tanda baca
baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf , tanda baris bawah
(kasrah) berupa sebuah titik di bawah baris, tanda dhammah berupa waw kecil
diantara dua huruf, dan konsonan mati tanpa menggunakan tanda apa-apa.
Pada perkembangan selanjutnya, khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) memerintahkan Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an. Ia mendelegasikan tugas itu kepada Yahya bin Ma’mur dan Nashr bin ‘Ashim, keduanya murid al-Duwali. Kedua oaring inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang memiliki kemiripan, misalnya penambahan titik diatas huruf dal sehingga menjadi huruf dzal. Penambahan titik yang bervariasi pada huruf dasar (ب) sehingga menjadi ba’, ta’, dan tsa’, huruf dasar (ح) menjadi jim, ha’, kha’. Ra’ dibedakan dengan zay, sin dibedakan dengan syin, shad dibedakan dengan zhat, tha’ dibedakan dengan dla’, ‘ain dibedakan dengan ghain, dan fa’ dibedakan dengan qaf.
Pada perkembangan selanjutnya, khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) memerintahkan Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an. Ia mendelegasikan tugas itu kepada Yahya bin Ma’mur dan Nashr bin ‘Ashim, keduanya murid al-Duwali. Kedua oaring inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang memiliki kemiripan, misalnya penambahan titik diatas huruf dal sehingga menjadi huruf dzal. Penambahan titik yang bervariasi pada huruf dasar (ب) sehingga menjadi ba’, ta’, dan tsa’, huruf dasar (ح) menjadi jim, ha’, kha’. Ra’ dibedakan dengan zay, sin dibedakan dengan syin, shad dibedakan dengan zhat, tha’ dibedakan dengan dla’, ‘ain dibedakan dengan ghain, dan fa’ dibedakan dengan qaf.
Dalam perkembangan berikutnya,
pemberian tanda nomor ayat, kode sepuluh ayat, tanda awal surat, keterangan
Makkiyah dan Madaniyah, serta pengelompokan menjadi 30 juz, dilakukan sebagai
jawaban terhadap kebutuhan Umat Islam. Sekalipun pada awalnya dianggap sebagai
bid’ah dhalalah terutama bagi yang berpendapat bahwa penulisan al-Qur’an bersifat
tawqifi, penambahan ini akhirnya diterima sebagai sesuatu yang mubah.
Kepustakaan
Anwar, Rosihon.
2004. Samudera al-Qur’an. Pustaka Setia. Bandung.
Ash-Shaabuuniy, 1998, Studi Ilmu Al-Qur’an, Cv. Pustaka Setia
Bandung.
Dkk, Saifullah. 2004. “Ulumul Qur’an”. Prodial Pratama Sejati
(PPS) Press Jalan. Ponorogo.
Dr. Fathi
Muhammad ghorib. Huquuqu Mahfudzoh li Al-Mualif. Cetakan I
HR. Al-Bukhori Imam
Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an. Cetakan I
Moenawar Kholil, K.H. 1994. “al-Qur’an Dari Masa ke Masa”. Ramadlani.
Solo.
Syaikh Manna’
Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.
Quthan Mana’ul, 1996, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an. PT. Rineka
Citra. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar