Minggu, 12 Februari 2017

Kodifikasi Al-Qur’an



A.                 Kodifikasi Al-Qur’an pada Masa Rasulullah SAW
Al-Qur’an dikumpulkan pada dua masa,yaitu masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyidin. Masing-masing tahap Kodifikasi ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Kata “Kodifikasi”, kadang diartikan menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat. Kadang pula diartikan penulisan atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun. Dan keduanya ini berlaku pada tahap Kodifikasi di zaman nabi sekaligus,yaitu :
1.      Kodifikasi dalam dada, dengan cara menghafal dan mengekspresikannya.
2.      Kodifikasi dalam tulisan, dengan cara menulis dan mengukirnya.
Kedua sistem Kodifikasi tersebut sangat sempurna penjagaan dan perhatian terhadap al-Qur’an al-Karim, baik penulisan dan pembukuan sebagai kitab Allah yang suci dan mukjizat Nabi Muhammad Saw yang abadi, yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lainnya. Berikut ini akan dijelaskan tahap Kodifikasi Al-Qur’an diatas.
1.      Kodifikasi Al-Qur’an dalam dada Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang ummi. Otomatis, maka himmah Nabi hanya tercurahkan untuk menghafal dan melahirkannya, agar ia dapat dihafal sebagaimana diturunkan kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada manusia agar mereka dapat hafal dan membacakannya. Telah maklum bahwa beliau adalah Nabi yang buta huruf yang diutus oleh Allah kepada bangsa Arab yang juga buta huruf. Allah berfirman dalam surat Al-Jumu’ah:2
Artinya : ”Dia yang mengutus kepada umat yang ummi (Arab) seorang rasul diantara mereka,yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari kekafiran dan kelakuan yang tidak baik) dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka.” (QS.Al-Jumu’ah:2). (Ash-Shaabuuniy :94) Sudah barang tentu, biasanya seorang yang buta huruf berpegang kepada orang yang hafal dan mengingatnya. Karena dia tidak bisa membaca atau menulis, maka bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an bangga dengan sifat kekhususannya, yaitu memiliki daya ingat yang kuat serta cepat menghafal,bahkan hatinya begitu terbuka.
Rasulullah ingin sekali hendak mengumpulkan wahyu itu. Turunnya ayat itu oleh nabi ditunggu dengan kerinduan dan setelah turun oleh Nabi dipahami dan dihafalnya. Benarlah janji Allah yang berbunyi “Sesungguhnya atas tanggung jawab kamilah megnumpulkannya (dalam dadamu) membuat kamu pandai membaca.(QS.75:17). Kemudian datang Al-Qur’an yang ternyata dengan kuatnya penjelasan kehebatan hokum-hukum serta kehebatan kerajaannya dapat mengalahkan syair-syair arab.Bahkan mampu mengalahkan akal dan pikiran,sehingga orang arab mengalihkan perhatiannya kepada kitab mulia itu.Dengan sepenuh hati mereka curahkan untuk menghafal dan membaca ayat-ayat serta surat-suratnya. Mereka meninggalkan syair-syairnya.Karena mereka telah menemukan cahaya kehidupan dalam Al-Qur’an.
Usaha keras Nabi Saw untuk menghafal Al-Qur’an terbukti setiap malam beliau membaca Al-Qur’an dalam shalat sebagai ibadah membaca dan merenungkan maknanya, sehingga telapak beliau yang mulia itu pecah-pecah lantaran banyak berdiri menjalankan perintah Allah. Maka tidak heran jika Rasulullah Saw menjadi sayyid para huffazh.Hatinya yang mulia itu penuh dengan Al-Qur’an.Beliau menjadi tempat bertanya bagi setiap kaum muslimin yang kesulitan tentang Al-Qur’an.Demikian pula para sahabat.Mereka selalu berlomba-lomba membaca dan mempelajari Al-Qur’an.Mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membaca dan menghafalnya.Mereka mengajarkan kepada para istri dan anak-anak dirumah mereka.Di setiap rumah yang dilewati dalam kegelapan malam,disana terdengar gemuruh suara Al-Qur’an. Bahkan Rasulullah Saw pernah pada suatu ketika lewat dirumah seorang anshar,beliau berhenti untuk mendengarkan Al-Qur’an dalam kegelapan malam.Imam Bukhari mengeluarkan hadist dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa Rasulullah Saw, berkata kepadanya: “Andaikata tadi malam kau memberitahukan kepadaku dan aku mendengar bacaanmu itu,tentu akan ku beri “mizmar” (suling) keluarga dawud.”
Didalam hadist Bukhari dikatakan bahwa ada tujuh orang sahabatyang hafal Al-Qur’an.Mereka itu ialah Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim bin Mu’aqil maula Abu Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun dan Abu Dardak. Hadist dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash mengatakan :Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :Ambillah Al-Qur’an itu dari empat orang yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’az dan Ubay bin Ka’ab. Dari yang empat ini dua orang diantaranya dari golongan muhajirin yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Salim,dan dua orang lagi dari golongn anshar yaitu Mu’az dan Ubaiya.
Hadist dari Qatadah RA,berkata:Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik RA,siapa orang yang mengumpulkan Al-Qur’an di masa Rasulullah? Beliau menjawab :empat orang keseluruhannya itu orang anshar yaitu Ubay bin Ka’ab,Mu’az bin Jabal,Zaid bin Tsabit,dan Abu Zaid.Siapa Abu Zaid itu ? Katanya,salah seorang dari orang kebanyakan. Dari tujuh orang itulah yang disebutkan oleh Bukhari,mereka itulah yang memikul tanggung jawab mengumpulkan Al-Qur’an menurut apa yang mereka hafal itu.Dan yang dihafalnya itu dikembalikan kepada Nabi melalui sanad-sanad mereka inilah Al-Qur’an itu sampai kepada kita sekarang ini.Adapun orang-orang selain dari mereka ini masih banyak lagi yang hafal Al-Qur’an.Tidak kita kenal semua mereka itu apalagi pada masa itu tempat kediaman para sahabat-sahabat Nabi ini letaknya berjauh-jauhan dan terpencar-pencar di daerah-daerah yang berjauhan dalam kerajaan.Dari sini jelas bahwa para huffazh pada zaman Rasulullah Saw tidak terhitung lagi jumlahnya.Kita tahu jumlah mereka yang mati syahid pada perang Yamamah lebih dari 70 huffazh,dan sejumlah itu pula huffzh yang mati syahid pada zaman Rasulullah Saw di Bi’ri Ma’unah.Sehingga jumlah mereka yang mati syahid pada dua peristiwa itu mencapai 140 huffazh.Sungguh merupakan suatu keistimewaan yang luar biasa bagi umat Muhammad Saw dimana kitab suci ini dapat dihafal dalam dada mereka.Sehingga dalam menuqilnya,mereka berpegang pada hafalan hati,bukan pada tulisan dalam shahifah-shahifah dan buku saja.
Lain halnya dengan para ahli kitab Taurat atau Injil,dimana dalam menjaga keduanya mereka hanya berpegang pada tulisan yang telah dibukukan saja.Mereka selalu membacanya dengan mata kepala,tidak hafal diluar kepala.Oleh sebab itu pada keduanya bias terjadi perubahan dan pergantian.Adapun Al-Qur’an,Allah telah menjaganya dengan pertolongan-Nya.Dia memudahkannya untuk dihafal.Dia menjaganya dari kemungkinan perubahan dan pergantian dengan cara menjaganya dalam dada.Hal ini sesuai dengan firman Allah: Artinya :”Sesungguhnya telah kami turunkan peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya kami memeliharanya”.(QS.Al-Hijr:22) Jelas tidak diragukan lagi,bahwa itu semua merupakan pertolongan Allah khusus untuk kitab suci ini yang sekaligus merupakan tanda kemuliaan bagi umat Muhammad Saw dimana dia telah menjadikan pelita pada dada-dada mereka,serta memberi mereka kitab yang tidak luntur dibasuh oleh air.
2.      Kodifikasi Al-Qur’an pada tulisan Keistimewaan kedua untuk Al-Qur’an ini adalah Kodifikasi dan penulisannya pada lembaran-lembaran. Rasulullah Saw mempunyai beberapa penulis wahyu. Manakala turun ayat, segera beliau perintahkan mereka untuk menulisnya, untuk lebih berhati-hati dalam pembukuan pengukuhan serta pemeliharaan terhadap kitab Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa penulisan itu cocok dengan apa yang telah ditanamkan Allah ke dada mereka. Para penulis adalah orang-orang pilihan diantara sahabat. Rasulullah memilih mereka yang telah terbukti ketaqwaanya demi usaha yang demikian penting dan agung. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Khulafaur Rasyidin, dan yang lain dari golongan sahabat. Setelah wahyu turun lantas Nabi menyuruh mereka menuliskannya. Nabi sendiri yang menunjukkannya kepada mereka untuk menempatkan surat-surat itu ditempatnya. Tulisan itu jelas dalam bentuk huruf dan dikumpulkan berdasarkan hafalan. Sebagaimana diketahui, mula-mula ada diantara sahabat itu menuliskan Al-Qur’an hanya untuk dirinya sendiri. Nabi menyuruh supaya ditulis dengan rapi dan dikumpulkan sehingga merupakan sebuah kitab. Mereka itu menulisannya ada yang diatas pelepah kurma, diatas batu, pelepah tamar, papan, potongan-potongan kulit, diatas kayu yang diletakkan diatas punggung keledai dan diatas tulang-tulang. Kata Zaid bin Tsabit, kami dimasa Rasulullah menuliskan Al-Qur’an itu diatas kulit atau diatas daun. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya tugas yang dipikul oleh sahabat Nabi dalam menuliskan Al-Qur’anulkarim. Karena pada waktu itu orang tidak mudah mendapatkan alat-alat tulis menulis, kecuali dengan cara beginilah tulisan itu melimpah pada hafalan.
Dimasa Nabi masih hidup, maka tulisan Al-Qur’an itu belum ada yang dikumpulkan pada mushaf. Tulisan yang kita kenal pada masa sekarang ini belum ada pada masa itu. Menurut catatan orang pandai, ada beberapa orang diantara mereka itu yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud. Rasulullah menerima dan menghafal Al-Qur’an itu, ditulis pada mushaf. Ketika itu ayat dan surat-surat masih bercerai berai atau yang tersusun hanya baru ayat saja. Tiap-tiap surat pada shahifah itu dibatasi dengan huruf yang tujuh yang ketika itu sudah diperdapat. Pada umumnya belum dikumpulkan pada satu mushaf. Wahyu itu turun berturut-turut, lalu dihafal oleh ahli qiro’at dan ditulis. Ketika itu belum ada keinginan orang untuk membukukan Al-Qur’an ini pada satu mushaf. Karena ketika itu Nabi masih menunggu wahyu itu dari masa yang terakhir. Kadang-kadang orang menasikhkan wahyu yang turun sebelumnya. Tulisan Al-Qur’an itu belum disusun menurut susunan turunnya wahyu, tapi baru ditulis sesudah ayat itu turun. Agar supaya Nabi-lah yang menunjukkan untuk meletakkan tulisannya itu diantara ayat ini dan ayat ini pada surat ini. Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya,sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw dan perintah (wahyu) dari Allah SWT.Oleh sebab itu,para ulama bersepakat bahwa Kodifikasi Al-Qur’an adalah bersifat ‘taufiqi’.yaitu bahwa urutannya sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini,adalah berdasarkan perintah dari wahyu Allah SWT.
Pada masa Nabi masih hidup, tulisan Al-Qur’an itu belum ada yang di kumpulkan orang pada mushaf.Tulisan yang kita kenal pada masa sekarang ini belum ada pada masa itu.Menurut catatan orang pandai,ada beberapa orang diantara mereka itu yaitu Ali bin Abi Thalib,Mu’az bin Jabal,Ubaiya bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud.Semua ayat-ayat Al-Qur’an pada waktu itu hanya baru dikumpulkan.Tulisan Al-Qur’an itu belum disusun menurut susunan turunnya wahyu,tapi baru ditulis sesudah ayat itu turun.Agar supaya Nabilah yang menunjukkan untuk meletakkan tulisannya itu diantara ayat ini dan ayat ini pada surat ini.
B.                 Kodifikasi Al_Quran Di Masa Sahabat Rosulullah
1.      Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Sidiq Setelah Abu Bakar menduduki kursi khalifah, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka Abu Bakar menghadapkan perhatiannya pada peristiwa-peristiwa besar pada masa itu yaitu murtadnya sebagian orang Arab. Maka dia menyediakan pasukan-pasukan untuk menghadapi orang-orang murtad ini. Peperangan yang dilakukan terhadap penduduk Yaman terjadi pada tahun ke 12 hijriah. Disini berkumpul sejumlah besar sahabat yang qari’ Al-Qur’an. Dalam peperangan ini syahid 70 orang sahabat yang qari’ Al-Qur’an. Melihat hal yang demikian ini maka Umar bin Khattab merasa khawatir. Dia datang kepada Abu Bakar membicarakan agar supaya Al-Qur’an ini dikumpulkan dan ditulis, dikhawatirkan akan sia-sia. Karena banyaknya ahli qira’at yang terbunuh dalam pertempuran di Yamamah tersebut, maka hal ini dikhawatirkan. Setelah itu Abu Bakar mengutus Zaid bin Tsabit dalam masalah qira’at, menuliskannya, memahami, dan memikirkannya. Al-Qur’an yang ditulis pada pelepah-pelepah tamar, pada batu-batu dan tulang-tulang itu disalinnya kembali. Dan mushafnya diserahkan kepada Abu Bakar. Oleh Abu Bakar mushaf ini disimpannya, dan setelah dia meninggal, maka mushaf ini dipindahkan kepada khalifah Umar. Disinilah disimpan mushaf itu sampai Umar meninggal.(Quthan:143) Terdapat pula mushaf-mushaf pribadi dikalangan beberapa orang sahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubaiya, mushaf Ibnu Mas’ud. Mushaf ke empat orang ini tidak seperti mushaf yang dikemukakan ini. Tidak dapat menyamainya, baik dari segi susunan, maupun dari segi lainnya. Disinilah letak keistimewaan mushaf Abu Bakar. Menurut pendapat sebagian ulama, Al-Qur’an itu juga dinamakan mushaf. Timbulnya yaitu sejak Abu Bakar mengumpulkan mushaf itu. Kata Ali, orang yang paling besar jasanya dalam mengumpulkan mushaf ialah Abu Bakar RA. Allah telah memberi rahmat kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama kali mengumpulkan mushaf. Kumpulannya ini dinamakan kumpulan kedua.(Quthan:145).
            Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rosulullah. Ia dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab.karena itu Ia menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi padatahun ke-12 H. melibatkan sejumlah sahabat yang hafal Al-Quar’an. Dalam peperangan ini 70 Qori’ dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat kawatirmelihat kenyataan ini, lalu Ia menghadap Abu Bakar an engajukan usulan kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karna dikawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak menggugurkan para Qori’. Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al Quran yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: "Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al Quran, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al Quran di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al Quran, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al Quran, lalu aku berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan". Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Quran. Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Quran) untuk Rasulullah SAW, maka sekarang periksa dan telitilah Al Quran lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf". Zaid berkata : "Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al Qur’an. Abu Bakar berkata: “Demi Allah ini baik”. Kemudian Abu Bakar terus mendesakku,hingga Allah melapangkan hatiku sebagaimana melapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Kemudian aku teliti Al Quran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain. Aku mendapatkan akhir surat At-Taubah pada Abu Khuzaimah Al-Anshori yang tidak aku dapatkan pada yang lainnya, mak jadilah mushaf itu berada di tanan Abu Bakar hingga wafat., kemudian berpindah kepada Umar, ketika masih hidup, kemidian (setelah wafat Umar) berpindah ke tangan Hafshah binti Umar
            Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah SAW. yang bernama Hafsah binti Umar ra.Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al Quran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al Quran dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : "Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al Quran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Quran sebagai Mushaf).
            Perintah kodifikasi Al-Qur’an oleh Abu Bakar kepada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar dan para tokoh lainnya. Adapun Umar bin Khattab sebagai pemilik gagasan kodifikasi Al-Qur’an, sedangkan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana teknis. Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al Quran sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang dikumpulkan dan di bundel sebagai Mushaf" dari perkataan salim inilah Abu Bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al Quran yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al Quran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al Quran)"
Keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Shiddiq:
a.      Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
b.      Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada naskah bacaannya.
c.       Ijma’ umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat al-qur’an.
d.      Mushaf mencakup qira’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
            Keistimewaan-keistimewaan tersebut menimbulkan kekaguman dihati para sahabat terhadap usaha Abu Bakar dalam memelihara Al-Qur’an dari bahaya kemusnahan. Dan hal tersebut berkat taufiq serta hidayah dari Allah SWT.(Ash-Shabuuniy:105)
2.      Kodifikasi Al-Qur’an di masa Utsman bin Affan Semakin meluasnya penaklukan-penaklukan islam. Ahli-ahli qira’at terpencar-pencar di daerah-daerah kerajaan islam. Ahli-ahli ilmu pengetahuan tiap-tiap daerah kerajaan mengambil qira’at ini dari utusan-utusan yang dikirim ke daerah-daerah mereka. Mereka hidup menurut kelompok atau daerah tempat tinggal mereka. Sebagian dari bentuk perbedaan ini menakjubkan. Semua kelompok ini bersandarkan kepada Rasulullah. Namun hal ini tidak akan merubah penulisan kitab yang menimbulkan keragu-raguan yang belum terpikir oleh Rasulullah SAW. Berbicara tentang perbedaan itu berjalan terus sampai kepada yang lebih bagus. Kebagusan ini selalu ditingkatkan, malah sudah sampai melampaui batas dan perbuatan dosa.(Quthan:146)
            Di waktu terjadi pertempuran sengit di Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak. Dalam kedua pertempuran ini Huzaifah bin Al-Yamani memperhatikan banyak terdapat banyak perbedaan pendapat dalam masalah qira’at. Sebagian orang ada yang salah bacaannya. Di samping itu tiap-tiap orang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki bacaan dan wakaf-wakafnya. Karena adanya perbedaan itu, maka timbul kekhawatiran dikalangan para sahabat. Hal ini dengan secara berangsur-angsur akan terjadi perubahan dan pertukaran letak. Karena itu khalifah mengumpulkan orang dan memerintahkan kepada mereka untuk menyalin mushaf pertama yang berada pada Abu Bakar kemudian mushaf itu diserahkan kepada Utsman. Kemudian Utsman mengutus Zaid bin Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Sa’id ibnu Ash dan Abdurrahman bin Al-Harist untuk menyalin mushaf-mushaf. Dan salinan itu oleh Utsman dikirim keseluruh penjuru kerajaan islam pada waktu itu. Disini Utsman memerintahkan tiap-tiap mushaf yang berbeda dari Al-Qur’an supaya dibakar.(Quthan:146)
            Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja. Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah kepada perselisihan. Ia berkata : "Wahai utsman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ". Kemudian Utsman mengutus seseorang untuk menemui Hafshah, agar Hafshah berkenan mengirimkan mushaf yang ada padanya untuk kemudian ditulis (disalin) kembali. Setelah naskah itu selesai maka naskah aslinya akan dikembalikan kepada Hafshah. Maka Hafshah mengirimkan naskah aslinya kepada Utsman, kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris, lalu mereka menulis Mushaf yang aslia ini dalam bentuk beberapa mushaf.
            Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.[1][17] Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu hurf (dialeg) dari tujuh hufr Al-Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qira’at. Lalu Ia kirimkan pula ke setap wilayah masing-masing satu mushaf., dan ditahannya satu mushaf di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal denga nama “Mushaf Imam”. Penamaan Mushaf Imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu diman Ia mengatakan “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu Imam”. Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu Bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al Quran selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf. Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
            Telah diperselisihkan (oleh para ulama’) tentang jumlah Mushaf yang dikirimkan oleh Utsman ke berbagai wilayah dan negari Islam. Tetapi berdasarkan pendapat yang masyhur, ada lima mushaf. Ibnu Abi Daud mengeluarkan riwayat dari jalan periwayatan Hamzah Az-Zayyat, ia berkata: “Utsman telah mengirimkan empat Mushaf”. Ibnu ABi Daud juga berkata: “Aku pernah mendengar Abu Hatim As-Sajastani berkata bahwa Utsman menulis tujuh mushaf, kemudian mengirimkan (mushaf-mushaf) itu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan menahan satu mushaf di Madinah”  
            Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manuai pujian dari umat Islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al Quran. Adapun Tulisan yang dipakati oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm al-Anbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
            Secara Umum, Perbedaan antara mushaf Abu Bakar dan mushaf Utsman
Perbedaan antara Kodifikasi (mushaf) Abu Bakar dan Usman adalah sebagai berikut. Kodifikasi mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf dan ayat-ayatnya sudah tersusun,berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang.Adapun latar belakangnya karena banyaknya huffaz yang gugur.Sedangkan Kodifikasi musahf pada masa Utsman adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh Negara Islam.
C.                 Terminologi Rasm al-Mushhaf
            Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis. Dalam ilmu al-Qur’an, yang dimaksud dengan rasm al-Qur’an/al-Mushhaf tatacara penulisan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Rasm al-Mushhaf dilakukan oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdrrahman bin Harits. Panitia empat yang dibebani tugas penulisan beberapa naskah al-Qur’an tersebut, menempuh cara khusus yang direstui oleh khalifah, baik dalam hal penulisan lafadz-lafadznya maupun bentuk huruf yang digunakannya. Banyak ulama yang mengaitkan tulisan tersebut dengan khalifah yang memberi tugas sehingga menyebutnya sebagai Rasm Utsmani (Shalih, 361). Pola penulisan rasm utsmani memiliki perbadaan dengan kaidah atau standar penulisan bahasa Arab baku yang berkembang di dalam masyarakat modern. Rasm Utsmani juga berbeda dengan cara penulisan aruzh (ilmu untuk menimbang syair). Pola rasm utsmani inilah yang kemudian dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushhaf al-Qur’an.
            Para Penulis Ayat al-Qur’an Oleh karena Nabi Muhammad saw itu seorang “ummi”, tidak bisa pandai membaca dan menulis, maka sewaktu-waktu beliau pandai membaca tulisan dan menulis, maka sewaktu-waktu beliau menerima wahyu al-Qur’an da telah dibacakan oleh malaikat Jibril, lalu beliau menghafalkannya demgam sempurna. Kemudian beliau menyuruh para sahabat yang telah ditetapkan atau diangkat menjadi penulis beliau untuk menulis wahyu-wahyu itu. Menurut riwayat, paa penulis beliau waktu itu ada 26 orang, bahkan ada pula yang meriwayatkan 42 orang. Adapun nama-nama mereka yang 26 adalah: 1. Abu Bakar as-Shiddiq, 2. Umar bin al Khattab, 3. Utsman bin Affan, 4. Ali bin Abi Thalib, 5. Zubair bin Awwam, 6. Amir bin Fuhairah, 7. Abdullah bin Arqam, 8. Amr bin ‘Ash, 9. Ubayya bin Ka’ab, 10. Mughirah bin Syu’bah, 11. Handlalah bin ar Rabi’, 12. Abdullah bin Ruwahah, 13. Khalid bin Walid, 14. Khalid bin Sa’id, 15. Al ‘Alla bin Hadhrami, 16. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, 17. Yazid bin Abi Sufyan, 18. Muhannad bin Maslamah, 19. Abdullah bin Abdullah bin Ubayya, 20. Mu’aiqib bin Abi Fthimah, 21. Hudzaifah bin Yaman, 22. Abdullah bin Abi Sarah, 23. Huwaithib bin Abdul ‘Uzza, 24. Hashien bin Namier, 25. Tsabit bin Qais, dan 26. Zaid bin Tsabit.
            Para penulis al-Qur’an yang telah ditetapkan oleh Nabi saw itu, mereka menulisi ayat-ayat al-Qur’an tidaklah dijadikan satu, tidak disatu tempat. Sebagian menulisnya di pelapah-pelapah korma, sebagian di atas batu-batu putih yang tipis, sebagian disobekan-sobekan kain dan lain sebagainya. Oleh masing-masing penulis al-Qur’an, ditulisnya ayat-ayat itu dua buah, yang satu disampaikan kepada Nabi dan yang satu disimpan untuk dirinya sendiri. Dan sebagian banysk dari mereka itu setelah menulisnya lalu menghafalkannya sampai lancar di luar kepala.
Kepada para penulis al-Qur’an, ditunjukkan pula oleh Nabi saw letak dan tempatnya, yakni dimana ayat satu dengan ayat lainnya itu diletakkan dan di surat apa diletakkan. Semuanya itu diatur olh Nabi saw dengan pimpinan Allah melalui perantaraan malaikat Jibril. Kata Utsman r.a : “Rasulullah saw apabila turun surat kepada yang mengandung beberapa ayat, lalu apabila turun lagi suatu ayat kepadanya, dia segera memanggil orang yang menulis (penulis), lalu bersebda : “Letakkanlah ayat-ayat ini di dalam surat yang disebut di dalamnya ini……... dan ini… (Riwayat Imam Imam Ahmad, Turmudzi, Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Hibban). Jadi, tertib dan susunan ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini, adalah memang telah diatur oleh Nabi saw sendiri, dan belau mendapat pimpinan resmi dari Allah swt.
Al-Qur’an di zaman Nabi saw belumlah dijadikan sebuah buku. Sebabnya Nabi belum memerintahkan supaya dihimpun menjadi satu, karena beliau masih-masih menanti-nanti adanya wahyu lagi. Yakni kalau masih ada wahyu lagi yang akan diterimanyasebagai tambahan atau perubahan. Tetapi setelah ternyata tidak ada lagi wahyu yang datang, maka Nabi saw memerintahkan kepada penulisnya, supaya menghimpun ayat-ayat dan surat-surat yang telah ditulis oleh mereka masing-masing. Sebelum para penulis wahyu selesai mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang berserak-serak itu, tiba-tiba Nabi saw terburu wafat. Jadi dikala itu al-Qur’an belum dihimpun menjadi sebuah buku.
D.                 Permulaan Al-Qur’an Dihimpun dan Dibukukan
            Diriwayatkan bahwa dikala Abu Bakar as-Shiddiq menjabat khalifah, dengan sekonyong-konyong ada suatu peristiwa yang seakan-akan mendorong kepada beliau, agar ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an yang masih berserak-serak itu dihimpun dan dikumpulkan menjadi sebuah buku. Peristiwa itu ialah terjadinyua peperangan di Yamamah, peperangan antara kaum Muslimin yang tulen dan yang palsu (murtad). Dalam peperangan ini banyak dari para sahaba yang meninggal dunia. Diriwayatkan ada 70 orang yang wafat.
Sehubungan dengan ini, Umar bin Khattab berfikir dan berpendapat bahwa : jika hal demikian terjadi terus menerus, para sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang tewas (syahid), mungkin nantinya menyebabkan fitnah yang besar bagi kaum Muslimin. Maka seketika itu datanglah beliau kepada khalifah Abu Bakar as-Shiddiq dengan mengemukakan usul bahwa hendaknya ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an segera dihimpun, dikumpulkan menjadi satu. Usul sebaik itu disetujui oleh khalifah Abu Bakar dan para sahabat besar yang lain pada waktu itu.
Persetujuan bulat dari mereka itu ditambah pula dengan pembicaraan siapa-siapa yang akan diserahi tugas yang maha berat ini. Akhirnya mereka serentak memutuskan Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis al-Qur’an yang kenamaan. Kemudian dipanggillah Zaid bin Tsabit dan Khalifah berkata kepadanya : “Hai Zaid, engkau seorang pemuda yang berakal serta cerdas. Kami tidak akan menaruh dugaan yang baik kepadamu. Dari dahulu engkaulah seorang penulis wahyu yang senantiasa menuliskan wahyu untuk Rasulullah saw. Oleh karena itu kini hendaklah tulisan-tulisan itu engkau kutip semuanya dan himpunlah menjadi satu !”. Kata Zaid bin Tsabit : “ Sesungguhnya demi Allah, jika sekiranya mereka menyuruhku supaya aku memindahkan satu gunung itu lebih ringan bagiku daripada menghimpunkan al-Qur’an yang disuruhkan mereka itu atas diriku”. Selanjutnya ia berkata : “Bagaimana aku diperintah mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw?”. Kata Abu Bakar:“ Demi Allah itu pekerjaan yang baik dan utama”. Demikianlah selanjutnya hingga Abu  Bakar berulang kali memerintahkan Zaid supaya mengerjakan pekerjaan yang baik dan utama itu, sehingga terbukalah hati Zaid untuk mengerjakan perintah menghimpun dan mengumpulkan al-Qur’an dari catatan-catatan yang ada di pelapah-pelapah korma, dari batu-batu dan dari dada-dada pada orang yang yang hafal al-Qur’an. Kemudian setelah selesai al-Qur’an dihimpun menjadi satu naskah, lalu diserahkan kepada Abu Bakar, dan oleh beliau lalu disimpan baik-baik sampai datang hari wafatnya.  Kemudian sepeninggal Abu Bakar, naskah al-Qur’an itu berpindah ke tangan Umar bin Khattab selaku khalifah ke II, dan sepeninggal beliau ini, lalu disimpan oleh salah seorang putrinya, ialah Siti Hafshah bekas istri Nabi saw.
Demikianlah singkatnya riwayat al-Qur’an ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah, dan itulah permulaan al-Qur’an dihimpun menjadi sebuah buku. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke XI dari hijriah.
E.                 Dihimpunnya al-Qur’an yang Kedua Kali dan Mulai Disiarkannya Umat Islam
            Kemudian setelah jabatan khalifah berpindah kepada Utsman bin Affan r.a dan Islam dikala itu telah tersyiar ke negara Syam, Iraq dan lain-lainnya, maka ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak diharapkan, yang riwayatnya dengan singkat sebagai berikut :
Ketika Utsman r.a mengerahkan balatentara Islam ke Negara Syamdan Iraq untuk memerangi penduduk Armenia dan Adzribijan, sekonyong-konyong datanglah sahabat Hudzaifah bin Yaman ke hadapan serta memberitahukan, bahwa dalam lingkungan kaum Muslimin di Negara-negara Islam banyak kejaian perselisihan tentang bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu ia mengusulkan kepada khalifah Utsman, hendaknya perselisihan itu segera dipadamkan, dengan jalan bahwa al-Qur’an yang telah dihimpun menjadi sebuah naskah di zaman Abu Bakar r.a itu dikirimkan kesana, yang sedemikian itu agar kaum Muslimin tidak berselisih dalam urusan bacaan al-Qur’an, sebagaimana terjadi yang pernah terjadi dalam lingkungan para ahli kitab (kaum Yahudi-Nasrani) dalam urusan kitab mereka.
            Di samping itu, di Madinah ada kanak-kanak kaum Muslimin yang bercekcok, lantaran berselisih dalam urusan bacaan al-Qur’an, yang akhirnya perselisihan menimbulkan pertengkaran mulut, kemudian menjadi pertengkaran ramai antara para guru al-Qur’an yang biasa mengajar kanak-kanak, sehingga timbul bunuh membunuh diantara mereka.
Khalifah Utsman setelah menerima berita yang menyedihkan itu, dengan segera mengutus orang mengambil naskah al-Qur’an peninggalan Abu Bakar yang disimpan oleh Siti Hafshah, dengan maksud naskah itu akan diturun, dan turunnya akan dikirimkan ke pusat-pusat Negara-negara Islam dikala itu. Dalam pada itu, beliau memanggil pula para bekas penulis wahyu dan para sahabat Nabi yang hafal al-Qur’an, yang masih hidup dikala itu, untuk diajak bermusyawarah tentang bacaan al-Qur’an. Demikianlah, maka oleh Siti Hafshah naskah al-Qur’an yang ada di tangannya lalu segera dikirimkan kepada khalifah Utsman. Kemudian setelah naskah itu sampai di tangan beliau, lalu beliau memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘ash dan Abdurrahman bin Harits, supaya mereka itu menyalin isi naskah dari Siti Hafshah tadi. Perintah itu diterima baik oleh mereka masing-masing, dan beliau lalu berkata kepada mereka : “Apabila kamu bertiga berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari al-Qur’an, hendaklah kamu tulis al-Qur’an itu dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Quraisy. Utsman berkata demikian itu, lantaran Zaid bin Tsabit itu bukan dari bangsa Quraisy, sedang tiga orang lainnya itu dari bangsa Quraisy. Kemudian setelah mereka menyalin, naskah Siti Hafshah tadi dikembalikan, dan salinan itu dijadikan lima buah naskah. Ini menurut riwayat yang masyhur. Lima buah naskah mashhaf al-Qur’an itu oleh Utsman lalu dikirimkan : sebuah ke Mekkah, sebuah ke Syam, sebuah ke Kufah, sebuah ke Bashrah dan sebuah disimpan oleh beliau. Dalam riwayat lain tujuh buah, yakni dengan tambahan sebuah ke Yaman dan sebuah ke Bahrain. Dalam pada itu beliau memerintahkan pula ke seluruh pusat Negara Islam dikala itu, bahwa naskah al-Qur’an yang ada sebelumnya, supaya dibakar atau disesuaikan dengan salah satu salinannaskah al-Qur’an yang lima buah itu. Menurut keterangan y.m. Imam Ibnu Hajar al ‘Ashqallani : kejadian tersebut itu pada tahun ke XXV dari hijriah.  
F.                  Perkembangan Penulisan al-Qur’an
            Penyempurnaan penulisan al-Qur’an terus berlangsung setelah penulisan pada masa khalifah Utsman. Mushhaf Utsmani tidak dilengkapi dengan tanda-tanda baca seperti mushhaf yang dikenal sekarang ini. Belum ada tanda berupa titik untuk membedakan antara huruf yang mirip. Sebab, para sahabat yang juga mengandalkan hafalan tidak menemui kesulitan dalam membaca mushhaf pada masa itu. Kesulitan baru dialami setelah dunia Islam meluas dan banyak orang non Arab masuk Islam.  Ketika Ziyad bin Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mu’awiyyah bin Sufyan (661-680 M) –riwayat lain menyebutkan pada masa Ali bin Abi Thalib –ia memerintahkan kepada Abu al-Aswad al- Duwaliuntuk membuat tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an. Pada awalnya ia menolak, namun setelah ia mendengar sendiri kesalahan bacaan yang fatal, ia bersedia dan bahkan menawarkan sendiri untuk meletakkan tanda-tanda bacaan tersebut. Al-Duwali memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf , tanda baris bawah (kasrah) berupa sebuah titik di bawah baris, tanda dhammah berupa waw kecil diantara dua huruf, dan konsonan mati tanpa menggunakan tanda apa-apa.
Pada perkembangan selanjutnya, khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) memerintahkan Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an. Ia mendelegasikan tugas itu kepada Yahya bin Ma’mur dan Nashr bin ‘Ashim, keduanya murid al-Duwali. Kedua oaring inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang memiliki kemiripan, misalnya penambahan titik diatas huruf dal sehingga menjadi huruf dzal. Penambahan titik yang bervariasi pada huruf dasar (ب) sehingga menjadi ba’, ta’, dan tsa’, huruf dasar (ح) menjadi jim, ha’, kha’. Ra’ dibedakan dengan zay, sin dibedakan dengan syin, shad dibedakan dengan zhat, tha’ dibedakan dengan dla’, ‘ain dibedakan dengan ghain, dan fa’ dibedakan dengan qaf.
            Dalam perkembangan berikutnya, pemberian tanda nomor ayat, kode sepuluh ayat, tanda awal surat, keterangan Makkiyah dan Madaniyah, serta pengelompokan menjadi 30 juz, dilakukan sebagai jawaban terhadap kebutuhan Umat Islam. Sekalipun pada awalnya dianggap sebagai bid’ah dhalalah terutama bagi yang berpendapat bahwa penulisan al-Qur’an bersifat tawqifi, penambahan ini akhirnya diterima sebagai sesuatu yang mubah.

Kepustakaan
Anwar, Rosihon. 2004. Samudera al-Qur’an. Pustaka Setia. Bandung.
Ash-Shaabuuniy, 1998, Studi Ilmu Al-Qur’an, Cv. Pustaka Setia Bandung.
Dkk, Saifullah. 2004. “Ulumul Qur’an”. Prodial Pratama Sejati (PPS) Press Jalan. Ponorogo.
Dr. Fathi Muhammad ghorib. Huquuqu Mahfudzoh li Al-Mualif. Cetakan I
HR. Al-Bukhori Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an. Cetakan I
Moenawar Kholil, K.H. 1994. “al-Qur’an Dari Masa ke Masa”. Ramadlani. Solo.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 
Quthan Mana’ul, 1996, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an. PT. Rineka Citra. Bandung.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...