A.
Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di
dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). ‘Ulum al-Hadits terdiri
atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa arab adalah
bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berati “ilmu-ilmu”; sedangkan al-Hadits di
kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW
dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian Ulumul Hadits
adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
Menurut Ulama Mutaqaddimin Ilmu Hadits adalah: Artinya:
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits
sampai kepada Rasul SAW dari segala hal ihwal para perawinya, kedhabitan,
keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya.”
Pembukaan hadits di sekitar abad ke dua
hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits dalam rangka menghimpun dan
membukukannya semata-mata di dorong oleh kemauan yang kuat agar hadits nabi itu
tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para penghafalnya. Mereka menghimpun
dan membukukan semua hadits yang mereka dapatkan beserta riwayat dan sanadnya
masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap pembawanya
(para rawi) begitu pula terhadap keadaan riwayat dan marwinya. Barulah di
sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin merintis ilmu ini
dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya.
Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim,
Imam At-Turmudzi dan lain-lain. Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini
secara fak(spealis) dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad
Ar-Ramahurmuzy(360 H) yang di beri nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari
Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H)
menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini
diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah
periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis Syaikhi
Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
B.
Sejarah Perhimpunan Ilmu Hadits
Pada mulanya, Ilmu Hadits memang merupakan
beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadits
Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal,
Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan Ilmu-Ilmu Hadits secara
parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibnu
Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230 H/844 M)
menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/875 M) menulis kitab al- Asma’ wa
al-Kuna, Kitab al- Thabaqat dan kitab al- ‘Ilal dan lain-lain.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat
parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing
membicarakan tentang hadits dan perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya,
ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta
selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan
menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadits,
sebagaimanahalnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jama’ Ulumul Hadits,
setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung makna mufrad atau tunggal,
yaitu Ulumul Hadits, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari
maknanya yang pertama –beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama dari suatu
disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah Hadits. Para
ulama yang menggunakan nama Ulum al-hadits, diataranya adalah Imam al-Hakim
al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibnu al-Shalah (643 H/1246 M), dan ulama
kontemporer seperti Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Thawani (1394 H/1974
M) dan Subhi al-Shalih. Sementara itu, beberapa ulama yang datang setelah Ibn
al-Shalah, seperti al-‘Iraqi (806 H/1403 M) dan al-Suyuthi (911 H/1505 M),
menggunakan lafaz mufrad, yaitu Ilmu al-Hadits, di dalam berbagai karya mereka.
C.
Macam-Macam Ilmu Hadits
Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan
hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua
macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat
(dirayah).
1. Ilmu Hadits
Riwayah Ilmu ialah Ilmu
yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan,
perbuatan, taqrir, ataupun sifat tubuh anggota ataupun sifat Perangai. Ibnu
Akfani berkata Ilmu hadits yang khusus dengan riwayat ialah: Ilmu yang
melengkapi penukilan perkataan-perkataan Nabi SAW perbuatan-perbuatannya,
periwayat-periwayat hadits, pengdlabitannnya dan penguraian
lafadz-lafadznya.” Kebanyakan ulama menta’rifatkan ilmu hadits riwayah
sebagaimana Artinya: “Ilmu hadits riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui
sabda-sabda nabi, taqrir-taqrir nabi dan sifat-sifat nabi.”
Maudhu’nya (obyeknya) adalah pribadi Nabi SAW
yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Beliau, karena hal-hal inilah yang
dibahas didalamnya. Adapun faedah mempelajari ilmu hadits riwayah adalah untuk
menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi
Muhammad SAW.
2. Ilmu Hadits
Dirayah Ilmu Hadits
Dirayah biasa juga disebut sebagai Ilmu Musthalah al-Hadits, Ilmu Ushul
al-Hadits, Ulum al-Hadits, dan Qawa’id al-Hadits at-Tirmidzi mendefinisikan
ilmu ini dengan Artinya: “Undang-undang
atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan
meriwayatkan sifat-sifat perawi dan lain-lain.” Ibnu al-Akfani
mendefinisikan ilmu ini sebagai berikut Artinya: “Ilmu pengetahuan
untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-ayarat, macam-macam dan
hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi baik
syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang
berkaitan dengannya.”
Kebanyakan ulama menta’rifkan Ilmu Hadits
Dirayah sebagai berikut: Artinya: “Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu untuk
mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang
bersangkutpaut dengan itu.” Maudhu’nya (objeknya) adalah mengetahui segala
yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh
kemenangan dunia akhirat. Dengan mempelajari Hadits Dirayah ini, banyak sekali
faedah yang diperoleh antara lain:
a.
Mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak
masa Rasul SAW sampai sekarang.
b.
Dapat
mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam
mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
c.
Mengetahui
kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits
lebih lanjut.
d.
Dapat
mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai
pedoman dalam beristimbat.
e.
Dari
beberapa faedah diatas apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari
Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia
maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun
matannya.
Dengan melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah dan
Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar adanya kaitan yang sangat erat antara
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadits
tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan baik dalam penerimaannya
maupun penyamapaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan Ilmu Hadits
Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaanya,
sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan Hadits
Riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu Hadits Riwayah berdiri tanpa Ilmu
Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.
D.
Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Pada perkembangan selanjutnya, para ulama
menyusun dan merumuskan cabang-cabang ilmu hadis. Karena hal ini dirasa perlu
untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat dikatakan maqbul (diterima) atau
mardud (ditolak). Sehingga muncullah berbagai macam cabang ilmu hadis. Sebelum
itu yang lebih dahulu muncul adalah ilmu Hadist riwayah dan ilmu hadist
dirayah, dan setelah itu barulah cabang cabang ilmu hadist seperti : Ilmu
Rijal Al-Hadist, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil, Ilmu Tarikh Al-Ruwah, Ilmu ‘Ilal
Al-Hadist, Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh, Ilmu Asbab Wurud , Gharib Al-Hadits,
Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif dan Ilmu Mukhtalif Al-Hadist. Secara singkat cabang
cabang ilmu hadist diatas akan diuraikan sebagai berikut :
1)
Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad
a.
Ilmu Rijal Al-Hadist Munzier suparta (2006:30) menyatakan Ilmu
Rijal Al-Hadist adalah ilmu untuk mengetahui para perawi haidst dalam kapasitasnya
sebagai perawi hadist. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:57) Ilmu
Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist, baik dari
sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya. Sedangkan muhadditsin,
sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari (1994:233) mentarifkan Ilmu Rijal
Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah
ilmu yang membahas tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat
pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas
tentang biografi para perawi hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah Konsep
tentang rawi dan thabaqah, Rincian thabaqah rawi dan Biografi yang telah
terbagi pada tiap thabaqah
Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya
Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dalam
memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menyebutkan
sumber-sumber pemberitaannya.
Kedudukan ilmu ini sangat penting dalam
lapangan ilmu hadist, karena, sebagaimana diketahui bahwa objek kajian hadist,
pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Munzier Suparta (2006:30)
menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist ini lahir bersama sama dengan periwayatan
hadist dalam islam dan mengambil posisi khusus untuk mempelajari
persolan-persoalan disekitar sanad. Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui
keadaan para perawi yang menerima hadist dari Rasullah SAW, dan keadaan para
perawi yang menerima hadist dari para sahabat dan seterusnya. Dan dengan ilmu
ini kita juga dapat mengetahui sejarah ringkas para perawi hadist, mazhab yang
dipegang oleh para perawi, dan keadaan para perawi dalam menerima hadist.
Kitab kitab yang disusun dalam ilmu ini beraneka
ragam. Seperti halnya dikutip dalam buku Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir
(1998:58) ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas para sahabat
saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi. Ada yang
menerangkan para perawi yang dipercaya saja. Ada yang menerangkan riwayat para
perawi yang lemah-lemah, atau para mudalis, atau para pemuat hadist maudu. Dan
ada yang menerangkan sebab sebab dianggap cacat dan sebab sebab dipandang adil
dengan menyebut kata kata yang dipahami untuk itu serta martabat perkataan.
Seperti pada abad ke tujuh hijrah Izzudin Ibnu Atsir (630 H) mengumpulkan
kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang
bernama Usdul Gabah. Pada abad kesembilan hijrah, Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani
menyusun kitabnya yang terkenal denagn nama Al Ishabah. Dalam kitab ini
dikumpulkan al istiah dengan usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak trdapat
dalam kitab kitab tersebut. Kemudian kitab ini diringkas oleh As Suyuti dalam
kitab Ainul Ishobah. Al bukhori dan Imam Muslim juga telah menulis kitab yang
menerangkan nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadist saja yang
bernama Wuzdan.
b.
Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada hakikatnya
merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadist, akan tetapi, karena bagian ini
dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri
sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah
sebagai berikut : Munzier Suparta (2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara
bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli
hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada para perawi hadist,
disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi.
Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah
berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan
ketetapan bahwa dia adil atau dhabit. Sementara ulama lain mendefinisikan
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang membahas tentang para
perawi dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat
mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lapadz-lapadz tertentu.
Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui
bahwa ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu
dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh
para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak, dan
sebaliknya apabila dipuji, maka hadistnya dapat diterima selama syarat-syarat
yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta (2006:32) menyatakan kecacatan
rawi itu bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya
dikatagorikan kedalam lingkup perbuatan : Bid’ah yakni melakukan perbuatan
tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan
periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan
kekeliruan dalam meriwayatkan hadist; Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui
identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga
penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung. Adapun orang-orang yang melakukan
Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berilmu pengetahuan,
Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang
lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini berbeda
beda, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup
beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa
jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu Rijalus Sanad.
Disamping itu sistematis pembahasannya juga berbeda beda. Ada sebagian
yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada juga yang mengumpulkan
keduanya. Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu, antara lain :
a.
Ma’rifatur-rijal,
karya Yahya Ibnu Ma’in.
b.
Ad-Dluafa,
karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 – 252 H)
c.
At-tsiqat,
karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
d.
Al-jarhu
wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 – 326 H)
e.
Mizanul
itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 – 748 H)
f.
Lisanul
mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 – 852 H)
c.
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah Ilmu Tarikh Ar-Ruwah merupakan masih bagian
dari Ilmu Rijal Al-hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam
pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Munzier
Suparta (2006:34) menyatakan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui
para perawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatn mereka terhadap
hadist. Mengenai hubungan antara ilmu ini dengan ilmu Thabaqah Ar-Ruwah,
sebagaimana dikutip masih dari buku yang sama, bahwa terdapat berbagai
perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ada ulama yang membedakan secara
khusus, tetapi ada juga yang mempersamakannya. Menurut As-Suyuti, antara Ilmu
Thabaqat Ar-ruwah dengan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah sama saja dengan antara
umum dan khusus, keduanya bersatu dalam pengertian yang berkaitan dengan para
perawi, tetapi Ilmu Tarikh Ar-Ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan
kejadian-kejadian yang baru. Menurut Al-Shakawi, bahwa ulama mutakhirin
membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa Ilmu
Tarikh Ar-Ruwah, melalui eksistensinya memperhatikan hal ihwal perawi, dan
melalui sifatnya memperhatikan kelahiran dan wafatnya mereka.
Jadi
dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti
kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadist dari
gurunya, siapa yang meriwayatkan hadist darinya, tempat tinggal mereka, tempat
mereka mengadakan lawatan, dan lain sebagainya. Dan ilmu ini juga merupakan
senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama
untuk membongkar kebohongan para
perawi.
2)
Ilmu Kaidah Tentang Matan
a.
Gharib Al-Hadits Menurut Endang Soetari (2005:210), Ilmu Gharib
al-Hadist adalah: “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam
matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang terpakai oleh umum’. Yang
dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar
dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa
tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami
oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan
kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang
terpakai dalam pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa
upaya para ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara
lain:
1.
Mencari
dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2.
Memperhatikan
penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau shahabat lain yang tidak
meriwayatkan,
3.
Memperhatikan
penjelasan dari rawi selain shahabat.
Di sisi lain,
dalam buku Ilmu Hadis karya Mudasir (2005:57), menurut Ibnu Shalah, yang
dimaksud dengan Gharib al-hadis ialah: “Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan
makna yang terdapat pada lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena
(lafal-lafal tersebu) jarang digunakan.” Mudasir menyatakan bahwa bahwa ilmu
ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasulullah SAW. Wafat ketika banyaknya
bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyaknya orang yang kurang
memahami istilah atau lafal-lafal tertentu yang gharib atau sukar dipahami.
Imam Al-Nawawi
menyebutkan dalam bukunya (2001:116) bahwa Hadis gharib adalah Hadis yang
diriwayatkan dari al-Zuhri atau rawi yang selevel dengan al-Zuhri dimana
Hadis-hadisnya itu dikumpulkan oleh seorang rawi. Hadis gharib terbagi ke dalam
dua begian, shahih dan tidak shahih. Dalam kategori tidak shahih, hadis gharib
bisa berupa Hadis hasan juga bisa dla’if. Namun umumnya Hadis gharib tidak
shahih. Hdis ini juga terbagi ke dalam dua klasifikasi berdasarkan pada pada
kualitas sanad dn matan Hadis tersebut. Pertama , Hadis gharib baik dari segi
matannya maupun sanadnya. Ini seperti pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh
seorang rawi. Kedua, Hadis yang kegharibannya terdapat pada sanadnya saja,
seperti pada Hadis yang matannya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, di mana
salah seorang di antara mereka meriwayatkannya secara tunggal Hadis itu. Dalam
kaitan ini, Ai-Titmidzi biasanya menggunakan teknis gharibun min badza al-wajh
(gharib berdasar tinjauan ini. Namun sampai ssat ini tidak ditemukan Hadis
gharib dalam segi matannya saja, tapi sanadnya tidak gharib. Kecuali jika ada
Hadis tunggal yang populer di mana Hadist itu diriwayatkan oleh banyak rawi,
maka hadis itu disebut Hadis gharib yang masyhur dan juga gharib secara
matannya saja tidak beserta sanadnya, jika dilihat dari salah satu dari dua
jalurnya, seperti Hadis Innama al-a’malu bi al-niyyat.
Definisi lain
diungkapkan oleh Wahyudin Darmalaksana (2004:39), bahwa Hadits Gharib yaitu
hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya di mana saja penyendirian
dalam sanad itu terjadi, daik karena penyendirian sifat atau keadaan yang
berbeda dengan sifat dan keadaan rawi lainnya, ataupun juga karena penyendirian
personalia itu sendiri. Berdasarkan pada bentuk penyendirian tersebut, kemudian
hadits gharib terbagi pada dua macam: pertama, Hadits Gharib Mutlaq yakni
hadits yang didalamnya terdapat penyendirian sanad dalam jumlah personalianya.
Kedua, Hadis Gharib Nisbi yakni Hadis yang terdapat penyendirian dalam dalam
satu sifat atau keadaan tertentu.
b.
Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits Menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan
al-habl (tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah
segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya. Adapun
arti asbab menurut istilah adalah Segala sesuatu yang mengantar pada
tujuan.Kata wurud (sampai, muncul) berarti : “Air yang memancar atau yang
mengalir.” Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian
asbab wurud al-hadist, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu hadist, baik
berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad, dinasakhkan, dan
seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadist saat
kemunculannya.”
Dari
pengertian asbab wurud al-hadist seperti di atas, dapat dibawa pada pengertian
ilmu asbab wurud al-hadist, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi
Muhammad SAW. Menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda
RasulullahSAW tentang menyucikan air laut, yaitu, “ Laut itu suci airnya dan
halal bangkainya”. Hadist ini dituturkan oleh Rasulullah SAW ketika seorang
sahabat sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.
Menurut
As-Suyuti, urgensi asbab wurud terhadap hadist sebagai salah satu jalan untuk
memahami kandungan hadist, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Qur’an
terhadap Al-Qur’an. Ini terlihat dari beberapa faedahnya antara lain dapat
men-taksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak,menunjukkan perincian
terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu
hukum.Maka dengan memahami asbab wurud al-hadist ini, makna yang dimaksud atau
dikandung oleh suatu hadist dapat dipahami dengan mudah. Namun, tidak semua
hadist mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Qur’an
memiliki asbab an-nuzul-nya. Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:212),
Ta’rif ilmu Asbab Wurud al-Hadist “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi
SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan”. Ilmu ini titik
berat pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat
mengetahui asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu memahami dan
menafsirkan Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan
wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadist.
Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan
Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal
adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini
(1120 H).
c.
Ilmu An-Nasikh Wa Al-mansukh Menurut Drs. H. Mudasir dalam bukunya Ilmu
Hadist (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa almansukh disini
terbatas sekitar nasikh dan mansukh pada hadist. Beliau menyebutkan bahwa kata
An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izzlah (menghilangkan),
seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya
menyalin kitab) yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan
pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai
Dalam Al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 106:
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 106)
Adapun
An-Nasakh menurut Istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul adalah:“Syari’
mengangkat (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i
yang datang kemudian.” Sedangkan menurut Endang Soetari dalam bukunya Ilmu
Hadist (2005:213) menyebutkan bahwa Ta’rif ilmu Nasikh wa al-Mansukh:
adalah:“Ilmu yang menerangkan Hadist-hadiat yang sudah dimansukhkan dan yang
menasikhkannya.” Beliau menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan
Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan
atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif
al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’
(dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila
diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan dan yang diwurudkan
kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan
yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan
disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara
mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW sendiri, keterangan
sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
3) Ilmu Kaidah
Tentang Sanad dan Matan
a.
lmu ‘Ilal Al-Hadist Munzier Suparta (2006:35) menyatakan kata ‘Ilal
adalah bentuk jama dari kata Al-‘Illah, yang menurut bahasa berarti penyakit
atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah ‘Illah berarti sebab yang tersembunyi
atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadist. Adapun yang dimaksud dengan
Ilmu Ilal Al-Hadist menurut Muhadditsin adalah ilmu yang membahas sebab-sebab
yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan
muttashil terhadap hadist yang munqathi, menyebutkan marfu terhadap hadist yang
mauquf, memasukan hadist kedalam hadist lain, dan hal-hal yang seperti itu.
Beberapa
buku lainnya juga, seperti Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir (1998:61) dan Endang
Soetari menyatakan hal yang sama mengenai definisi Ilmu ‘Ilal Al-Hadist. Jadi
secara singkat, Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu
illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadist. Endang Soetari, menyatakan
illat yang terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yaitu :
1.
Lahir
sanad shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.
2.
Hadist
Mursal dimusnadkan lahirnya.
3.
Hadist
mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda
tempat tinggalnya.
4.
Hadist
Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi’in.
5.
Meriwayatkan
dengan an-‘anah suatu hadist yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa
orang.
6.
Berlainan
sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.
7.
Berlainan
nama gurunya yang memberikan hadist dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau
nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
8.
Meriwayatkan
hadist yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu
benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadist padanya.
9.
Meriwayatkan
hadist dengan sanad lain, secara waham terhadap hadist yang sebenarnya, hanya
mempunyai satu sanad.
10. Memauqufkan hadist yang maufu.
Adapun beberapa
ulama yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi
Hatim (327 H) yakni kitab Ilal Al-Hadist. Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni
(375 H), dan Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.
b.
Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu At-tashif wa
at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah
titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar
membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif.
Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi
satu ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin iilmu bernilai tinggi
yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffaz). Hal ini karena
hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengarannya yang
diterima dari orang lain. Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:216) Ilmu
Tashhif wa al-Tahrif adalah: “Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah
diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini
adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu
Ahmad al-Askari (283 H).
Menurut
Imam Al-Nawawi (2001:120), kesalahan tulis (tashhif) bisa saja terjadi pada
kata atau lafadh dalam sebuah Hadis atau penglihatan rawi, baik dalam segi
sanad maupun matannya. Diantara kesalahan tulis pada sanad adalah penulisan
al-Awwam bin Murajim (dengan ra’ dan jim pada kata Murajim) ditulis secara
salah oleh Ibn al-Ma’in dengan za’ dan ha’ (Muzahim). Dan diantara kesalahan
tulis pada matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: Anna Rasulallah
ihtajara fi al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan
masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk
shalat). Ibnu Lahi’ah menulis secara salah kata ihtajara dengan menggantikannya
menjadi ihtajama (berbekam). Menurutnya, kadang kesalahan tulis terjadi
karena salah dengar, seperti Hadis dari Ashim al-Ahwal. Kadang pula
kesalahan terjadi pada makna Hadis, seperti ungkapan Muhammad bin al-Mutsanna
berikut ini, Nahnu qaumun lana syarafun, nahnu min ‘anazah shalla ilaina
Rasulullah (Kami adalah sekelompok orang yang memiliki kehormatan. Kami lahir
dari kabilah Anazah di mana Rasulullah pernah shalat di kabilah kami). Kata
‘anazah di sini dipahami secara salah oleh Muhammad bin al-Mutsanna. Padahal
yang dimaksudkan dari Hadis bahwa Rasulullah shalat di depannya diberi tanda
dengan tongkat. Bahkan ada orabg arab pedesaan yang salah memahami ‘anazah. Ia
mengira bahwa kata itu adalah ‘anzah (dengan nun), yang berartri kambibg. Ia
pun akhirnya, karena salah memahami makna Hadis yang dimaksud, shalat dengan
disertai kambing kecil.
c.
Ilmu Mukhtalif Al-Hadis Mudasir (2005:58) mendefinisikan ilmu mukhtalif
al-hadis sebagai ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menurut lahirnya
saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut dapat
dihilangkan atau dikompromikan antara keduanyasebagaimanamembahas hadis-hadis
yang sulit dipahami isiatau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau
kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dari
pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadis,
maka hadis-hadis yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan
pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu
hadis dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut. Sebagian
ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-hadis,
ilmu takwil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan
tetapi, yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama.
Imam
Al-Nawawi (2001:121) menyebutkan bahwa maksud dari Mukhtalaf al-Hadis adalah
adanya dua Hadis yang bertentangan maknanya secara eksplisit. Tugas seorang
ahli Hadis dalam masalah ini adalah menggabungkan dua Hadis yang bertentangan
itu, atau mentarjih salah satunya. Hanya para imam yang mempunyai penguasaan
mendalam pada bidang Hadis dan fikih, di samping para ahli ushul fikih yang
memiliki kapasitas yang memadai dalam bidang semantik.
Hadis
mukhtalaf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, pertentangan yang memungkinkan
untuk menggabungkan maksud dari dua hadis itu. Setelah menjadi jelas, bagian
yang telah digabungkan itu wajib untuk diamalkan. Kedua, pertentangan yang
memungkinkan untuk digabungkan dengan satu alasan. Karenanya, jika kita
mengetahui salah satu dari kedua hadis itu menjadi penasikh, maka kita
dahulukan Hadis penasih itu. Jika tidak, kita mengamalkan Hadis yang
diunggulkan (rajih), seperti mentarjih karakteristik dan jumlah para rawi yang
mencapai sekitar lima puluh jalur.
Kepustakaan
Ahmad,
Muhammad, dan Mudzakir, Muhammad, Ulumul Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia,
2000
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010
Ash-Shiddieqy,
Muhammad Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Islam, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1987
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003
Yuslem, Nawir, Ulumul
Hadits, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 200
Mudasir. Ilmu
Hadis. Pustaka Setia. Bandung: 2005
Muhammad Ahmad
& M. Mudzakir. Ilmu Hadis. Pustaka Setia. Bandung: 2000.
Munzier
Suprapta. Ilmu Hadis. Grafindo Persada. Jakarta: 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar