Minggu, 12 Februari 2017

Sejarah Dan Jenis-jenis Ulumul Hadis



A.                 Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). ‘Ulum al-Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berati “ilmu-ilmu”; sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
Menurut Ulama Mutaqaddimin Ilmu Hadits adalah: Artinya: “Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW dari segala hal ihwal para perawinya, kedhabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya.”
Pembukaan hadits di sekitar abad ke dua hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits dalam rangka menghimpun dan membukukannya semata-mata di dorong oleh kemauan yang kuat agar hadits nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para penghafalnya. Mereka menghimpun dan membukukan semua hadits yang mereka dapatkan beserta riwayat dan sanadnya masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap pembawanya (para rawi) begitu pula terhadap keadaan riwayat dan marwinya. Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain. Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak(spealis) dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy(360 H) yang di beri nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
B.                 Sejarah Perhimpunan Ilmu Hadits
Pada mulanya, Ilmu Hadits memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadits Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan Ilmu-Ilmu Hadits secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibnu Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/875 M) menulis kitab al- Asma’ wa al-Kuna, Kitab al- Thabaqat dan kitab al- ‘Ilal dan lain-lain.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan  bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits dan perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadits, sebagaimanahalnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jama’ Ulumul Hadits, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ulumul Hadits, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama –beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah Hadits. Para ulama yang menggunakan nama Ulum al-hadits, diataranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibnu al-Shalah (643 H/1246 M), dan ulama kontemporer seperti Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Thawani (1394 H/1974 M) dan Subhi al-Shalih. Sementara itu, beberapa ulama yang datang setelah Ibn al-Shalah, seperti al-‘Iraqi (806 H/1403 M) dan al-Suyuthi (911 H/1505 M), menggunakan lafaz mufrad, yaitu Ilmu al-Hadits, di dalam berbagai karya mereka.
C.                 Macam-Macam Ilmu Hadits
Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
1.      Ilmu Hadits Riwayah Ilmu ialah Ilmu yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik  perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat tubuh anggota ataupun sifat Perangai. Ibnu Akfani berkata Ilmu hadits yang khusus dengan riwayat ialah: Ilmu yang melengkapi penukilan perkataan-perkataan Nabi SAW perbuatan-perbuatannya, periwayat-periwayat hadits, pengdlabitannnya  dan penguraian lafadz-lafadznya.” Kebanyakan ulama menta’rifatkan ilmu hadits riwayah sebagaimana Artinya: “Ilmu hadits riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui sabda-sabda nabi, taqrir-taqrir nabi dan sifat-sifat nabi.”
Maudhu’nya (obyeknya) adalah pribadi Nabi SAW yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas didalamnya. Adapun faedah mempelajari ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi Muhammad SAW.
2.      Ilmu Hadits Dirayah Ilmu Hadits Dirayah biasa juga disebut sebagai Ilmu Musthalah al-Hadits, Ilmu Ushul al-Hadits, Ulum al-Hadits, dan Qawa’id al-Hadits at-Tirmidzi mendefinisikan ilmu ini dengan  Artinya: “Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan sifat-sifat perawi dan lain-lain.” Ibnu al-Akfani mendefinisikan ilmu ini  sebagai berikut Artinya: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-ayarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya.”
Kebanyakan ulama menta’rifkan Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut: Artinya: “Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkutpaut dengan itu.” Maudhu’nya (objeknya) adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Dengan mempelajari Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh antara lain:
a.      Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW sampai sekarang.
b.      Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam  mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
c.       Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
d.      Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristimbat.
e.       Dari beberapa faedah diatas apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
Dengan melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan baik dalam penerimaannya maupun penyamapaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaanya, sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan Hadits Riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu Hadits Riwayah berdiri tanpa Ilmu Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.
D.                 Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Pada perkembangan selanjutnya, para ulama menyusun dan merumuskan cabang-cabang ilmu hadis. Karena hal ini dirasa perlu untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat dikatakan maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Sehingga muncullah berbagai macam cabang ilmu hadis. Sebelum itu yang lebih dahulu muncul adalah ilmu Hadist riwayah dan ilmu hadist dirayah, dan setelah itu barulah cabang cabang ilmu hadist  seperti : Ilmu Rijal Al-Hadist, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil, Ilmu Tarikh Al-Ruwah, Ilmu ‘Ilal Al-Hadist, Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh, Ilmu Asbab Wurud , Gharib Al-Hadits, Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif dan Ilmu Mukhtalif Al-Hadist. Secara singkat cabang cabang ilmu hadist diatas akan diuraikan sebagai berikut :
1)      Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad
a.      Ilmu Rijal Al-Hadist Munzier suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu untuk mengetahui para perawi haidst dalam kapasitasnya sebagai  perawi hadist. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:57) Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya. Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari (1994:233) mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah Konsep tentang rawi dan thabaqah, Rincian thabaqah rawi dan Biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah
Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dalam memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menyebutkan sumber-sumber pemberitaannya.
Kedudukan ilmu ini sangat penting dalam lapangan ilmu hadist, karena, sebagaimana diketahui bahwa objek kajian hadist, pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Munzier Suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist ini lahir bersama sama dengan periwayatan hadist dalam islam dan mengambil posisi khusus untuk mempelajari persolan-persoalan disekitar sanad. Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadist dari Rasullah SAW, dan keadaan para perawi yang menerima hadist dari para sahabat dan seterusnya. Dan dengan ilmu ini kita juga dapat mengetahui sejarah ringkas para perawi hadist, mazhab yang dipegang oleh para perawi, dan keadaan para perawi dalam menerima hadist.
Kitab kitab yang disusun dalam ilmu ini beraneka ragam. Seperti halnya dikutip dalam buku Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:58) ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat  ringkas para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan para perawi yang dipercaya saja. Ada yang menerangkan riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudalis, atau para pemuat hadist maudu. Dan ada yang menerangkan sebab sebab dianggap cacat dan sebab sebab dipandang adil dengan menyebut kata kata yang dipahami untuk itu serta martabat perkataan. Seperti pada abad ke tujuh hijrah Izzudin Ibnu Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah. Pada abad kesembilan hijrah, Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani menyusun kitabnya yang terkenal denagn nama Al Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan al istiah dengan usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak trdapat dalam kitab kitab tersebut. Kemudian kitab ini diringkas oleh As Suyuti dalam kitab Ainul Ishobah. Al bukhori dan Imam Muslim juga telah menulis kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadist saja yang bernama Wuzdan.     
b.      Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadist, akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebagai berikut : Munzier Suparta (2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada para perawi hadist, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit. Sementara ulama lain mendefinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lapadz-lapadz tertentu.
Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui bahwa ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadistnya dapat diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta (2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup perbuatan : Bid’ah yakni melakukan perbuatan tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist; Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung. Adapun orang-orang yang melakukan Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berilmu pengetahuan, Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini berbeda beda, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu Rijalus Sanad. Disamping itu sistematis  pembahasannya juga berbeda beda. Ada sebagian yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada juga yang mengumpulkan keduanya. Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu, antara lain :
a.       Ma’rifatur-rijal, karya Yahya Ibnu Ma’in.
b.      Ad-Dluafa, karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 – 252 H)
c.       At-tsiqat, karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
d.      Al-jarhu wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 – 326 H)
e.       Mizanul itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 – 748 H)
f.       Lisanul mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 – 852 H)
c.       Ilmu Tarikh Ar-Ruwah Ilmu Tarikh Ar-Ruwah merupakan masih bagian dari Ilmu Rijal Al-hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Munzier Suparta (2006:34) menyatakan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatn mereka terhadap hadist. Mengenai hubungan antara ilmu ini dengan ilmu Thabaqah Ar-Ruwah, sebagaimana dikutip masih  dari buku yang sama, bahwa terdapat berbagai perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ada ulama yang membedakan secara khusus, tetapi ada juga yang mempersamakannya. Menurut As-Suyuti, antara Ilmu Thabaqat Ar-ruwah dengan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah sama saja dengan antara umum dan khusus, keduanya bersatu dalam pengertian yang berkaitan dengan para perawi, tetapi Ilmu Tarikh Ar-Ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan kejadian-kejadian yang baru. Menurut Al-Shakawi, bahwa ulama mutakhirin membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa Ilmu Tarikh Ar-Ruwah, melalui eksistensinya memperhatikan hal ihwal perawi, dan melalui sifatnya memperhatikan kelahiran dan wafatnya mereka.
Jadi dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadist dari gurunya, siapa yang meriwayatkan hadist darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain sebagainya. Dan ilmu ini juga merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi.        
2)      Ilmu Kaidah Tentang Matan
a.      Gharib Al-Hadits Menurut Endang Soetari (2005:210), Ilmu Gharib al-Hadist adalah: “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang terpakai oleh umum’. Yang dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1.      Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2.      Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau shahabat lain yang tidak meriwayatkan,
3.      Memperhatikan penjelasan dari rawi selain shahabat.
Di sisi lain, dalam buku Ilmu Hadis karya Mudasir (2005:57), menurut Ibnu Shalah, yang dimaksud dengan Gharib al-hadis ialah: “Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena (lafal-lafal tersebu) jarang digunakan.” Mudasir menyatakan bahwa bahwa ilmu ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasulullah SAW. Wafat ketika banyaknya bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyaknya orang yang kurang memahami istilah atau lafal-lafal tertentu yang gharib atau sukar dipahami.
Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam bukunya (2001:116) bahwa Hadis gharib adalah Hadis yang diriwayatkan dari al-Zuhri atau rawi yang selevel dengan al-Zuhri dimana Hadis-hadisnya itu dikumpulkan oleh seorang rawi. Hadis gharib terbagi ke dalam dua begian, shahih dan tidak shahih. Dalam kategori tidak shahih, hadis gharib bisa berupa Hadis hasan juga bisa dla’if. Namun umumnya Hadis gharib tidak shahih. Hdis ini juga terbagi ke dalam dua klasifikasi berdasarkan pada pada kualitas sanad dn matan Hadis tersebut. Pertama , Hadis gharib baik dari segi matannya maupun sanadnya. Ini seperti pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi. Kedua, Hadis yang kegharibannya terdapat pada sanadnya saja, seperti pada Hadis yang matannya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, di mana salah seorang di antara mereka meriwayatkannya secara tunggal Hadis itu. Dalam kaitan ini, Ai-Titmidzi biasanya menggunakan teknis gharibun min badza al-wajh (gharib berdasar tinjauan ini. Namun sampai ssat ini tidak ditemukan Hadis gharib dalam segi matannya saja, tapi sanadnya tidak gharib. Kecuali jika ada Hadis tunggal yang populer di mana Hadist itu diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu disebut Hadis gharib yang masyhur dan juga gharib secara matannya saja tidak beserta sanadnya, jika dilihat dari salah satu dari dua jalurnya, seperti Hadis Innama al-a’malu bi al-niyyat.
Definisi lain diungkapkan oleh Wahyudin Darmalaksana (2004:39), bahwa Hadits Gharib yaitu hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi, daik karena penyendirian sifat atau keadaan yang berbeda dengan sifat dan keadaan rawi lainnya, ataupun juga karena penyendirian personalia itu sendiri. Berdasarkan pada bentuk penyendirian tersebut, kemudian hadits gharib terbagi pada dua macam: pertama, Hadits Gharib Mutlaq yakni hadits yang didalamnya  terdapat penyendirian sanad dalam jumlah personalianya. Kedua, Hadis Gharib Nisbi yakni Hadis yang terdapat penyendirian dalam dalam satu sifat atau keadaan tertentu.
b.      Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits Menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan al-habl (tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya. Adapun arti asbab menurut istilah adalah Segala sesuatu yang mengantar pada tujuan.Kata wurud (sampai, muncul) berarti : “Air yang memancar atau yang mengalir.” Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian asbab wurud al-hadist, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu hadist, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad, dinasakhkan, dan seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadist saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud al-hadist seperti di atas, dapat dibawa pada pengertian ilmu asbab wurud al-hadist, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. Menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda RasulullahSAW tentang menyucikan air laut, yaitu, “ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadist ini dituturkan oleh Rasulullah SAW ketika seorang sahabat sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.
Menurut As-Suyuti, urgensi asbab wurud terhadap hadist sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadist, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an. Ini terlihat dari beberapa faedahnya antara lain dapat men-taksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak,menunjukkan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.Maka dengan memahami asbab wurud al-hadist ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadist dapat dipahami dengan mudah. Namun, tidak semua hadist mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab an-nuzul-nya. Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:212), Ta’rif  ilmu Asbab Wurud al-Hadist “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan”.  Ilmu ini titik berat pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat mengetahui asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c.       Ilmu An-Nasikh Wa Al-mansukh Menurut Drs. H. Mudasir dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa almansukh disini terbatas sekitar nasikh dan mansukh pada hadist. Beliau menyebutkan bahwa kata An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izzlah (menghilangkan), seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya menyalin kitab) yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai  Dalam Al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 106: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 106)
Adapun An-Nasakh menurut Istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul adalah:“Syari’ mengangkat (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian.” Sedangkan menurut Endang Soetari dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:213) menyebutkan bahwa Ta’rif ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah:“Ilmu yang menerangkan Hadist-hadiat yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya.” Beliau menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
3)      Ilmu Kaidah Tentang Sanad dan Matan
a.      lmu ‘Ilal Al-Hadist Munzier Suparta (2006:35) menyatakan kata ‘Ilal adalah bentuk jama dari kata Al-‘Illah, yang menurut bahasa berarti penyakit atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah ‘Illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadist. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Ilal Al-Hadist menurut Muhadditsin adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan muttashil terhadap hadist yang munqathi, menyebutkan marfu terhadap hadist yang mauquf, memasukan hadist kedalam hadist lain, dan hal-hal yang seperti itu.
Beberapa buku lainnya juga, seperti Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir (1998:61) dan Endang Soetari menyatakan hal yang sama mengenai definisi Ilmu ‘Ilal Al-Hadist. Jadi secara singkat, Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadist. Endang Soetari,  menyatakan illat yang terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yaitu :
1.      Lahir sanad shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.
2.      Hadist Mursal dimusnadkan lahirnya.
3.      Hadist mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda tempat tinggalnya.
4.      Hadist Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi’in.
5.      Meriwayatkan dengan an-‘anah suatu hadist yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa orang.
6.      Berlainan sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.
7.      Berlainan nama gurunya yang memberikan hadist dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
8.      Meriwayatkan hadist yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadist padanya.
9.      Meriwayatkan hadist dengan sanad lain, secara waham terhadap hadist yang sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.
10.  Memauqufkan hadist yang maufu.
Adapun beberapa ulama yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H) yakni kitab Ilal Al-Hadist. Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.  
b.      Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin iilmu bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffaz). Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengarannya yang diterima dari orang lain. Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:216) Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah: “Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).
Menurut Imam Al-Nawawi (2001:120), kesalahan tulis (tashhif) bisa saja terjadi pada kata atau lafadh dalam sebuah Hadis atau penglihatan rawi, baik dalam segi sanad maupun matannya. Diantara kesalahan tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam bin Murajim (dengan ra’ dan jim pada kata Murajim) ditulis secara salah oleh Ibn al-Ma’in dengan za’ dan ha’ (Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat). Ibnu Lahi’ah menulis secara salah kata ihtajara dengan menggantikannya menjadi ihtajama (berbekam).  Menurutnya, kadang kesalahan tulis terjadi karena salah dengar,  seperti Hadis dari Ashim al-Ahwal. Kadang pula kesalahan terjadi pada makna Hadis, seperti ungkapan Muhammad bin al-Mutsanna berikut ini, Nahnu qaumun lana syarafun, nahnu min ‘anazah shalla ilaina Rasulullah (Kami adalah sekelompok orang yang memiliki kehormatan. Kami lahir dari kabilah Anazah di mana Rasulullah pernah shalat di kabilah kami). Kata ‘anazah di sini dipahami secara salah oleh Muhammad bin al-Mutsanna. Padahal yang dimaksudkan dari Hadis bahwa Rasulullah shalat di depannya diberi tanda dengan tongkat. Bahkan ada orabg arab pedesaan yang salah memahami ‘anazah. Ia mengira bahwa kata itu adalah ‘anzah (dengan nun), yang berartri kambibg. Ia pun akhirnya, karena salah memahami makna Hadis yang dimaksud, shalat dengan disertai kambing kecil.
c.       Ilmu Mukhtalif Al-Hadis Mudasir (2005:58) mendefinisikan ilmu mukhtalif al-hadis sebagai ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanyasebagaimanamembahas hadis-hadis yang sulit dipahami isiatau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadis, maka hadis-hadis yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadis dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut. Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu takwil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan tetapi, yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama.
Imam Al-Nawawi (2001:121) menyebutkan bahwa maksud dari Mukhtalaf al-Hadis adalah adanya dua Hadis yang bertentangan maknanya secara eksplisit. Tugas seorang ahli Hadis dalam masalah ini adalah menggabungkan dua Hadis yang bertentangan itu, atau mentarjih salah satunya. Hanya para imam yang mempunyai penguasaan mendalam pada bidang Hadis dan fikih, di samping para ahli ushul fikih yang memiliki kapasitas yang memadai dalam bidang semantik.
Hadis mukhtalaf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, pertentangan yang memungkinkan untuk menggabungkan maksud dari dua hadis itu. Setelah menjadi jelas, bagian yang telah digabungkan itu wajib untuk diamalkan. Kedua, pertentangan yang memungkinkan untuk digabungkan dengan satu alasan. Karenanya, jika kita mengetahui salah satu dari kedua hadis itu menjadi penasikh, maka kita dahulukan Hadis penasih itu. Jika tidak, kita mengamalkan Hadis yang diunggulkan (rajih), seperti mentarjih karakteristik dan jumlah para rawi yang mencapai sekitar lima puluh jalur.

Kepustakaan
Ahmad, Muhammad, dan Mudzakir, Muhammad, Ulumul Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang:  PT Pustaka Rizki Putra, 2010
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 200
Mudasir. Ilmu Hadis. Pustaka Setia. Bandung: 2005
Muhammad Ahmad & M. Mudzakir. Ilmu Hadis. Pustaka Setia. Bandung: 2000.
Munzier Suprapta. Ilmu Hadis. Grafindo Persada. Jakarta: 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...