A.
Al-Qur’an
1.
Pengertian Al Quran Al Quran merupakan sumber utama dalam pembinaan
hukum Islam. Al Quran yang berasal dari kata qara’a yang dapat diartikan dengan
membaca, namun yang dimaksud dengan Al Qur’an dalam uraian ini
ialah,”kalamullah yang diturunkan berperantakan ruhul amin kepada Nabi Muhammad
saw dalam bahasa arab, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah utusan
Allah dan agar menjadi pelajaran bagi orang yang mengikuti petunjuknya. Menjadi
ibadah bagi siapa yang membacanya, ia ditulis di atas lembaran mushaf, dimulai
dengan surah Al Fatihah dan diakhiri dengan surah An Naas. Yang disampaikan
kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian”.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun
tidak ada keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al Quran itu, dengan kata
lain Al Quran itu benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum
yang terkandung di dalam Al Quran merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti
oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al Quran
itu benar-benar datang dari Allah.
Dalam surah An Nisa ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya
telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al Quran dengan membawa
kebenaran”. Surah An Nahl ayat 89, “Dan telah kami turunkan kepada
engkau (Muhammad) kitab Al Quran untuk menjelaskan segala sesuatu dan ia
merupakan petunjuk, rahmat serta pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat Quran yang menerangkan
bahwa Al Quran itu benar-benar datang dari Allah.
Ditinjau dari sudut tempatnya, Al Quran turun
di dua tempat yaitu:
a.
Di
Mekkah atau yang disebut ayat makkiyah. Pada umumnya berisikan soal-soal
kepercayaan atau ketuhanan, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
ayat-ayatnya pendek dan ditujukan kepada seluruh ummat. Banyaknya sekitar 2/3
seluruh ayat-ayat Al Quran.
b.
Di
Madinah atau yang disebut ayat madaniyah. Ayat-ayatnya panjang, berisikan
peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia mengenai larangan, suruhan,
anjuran, hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlaq, hal-hal mengenai keluarga,
masyarakat, pemerintahan, perdagangan, hubungan manusia dengan hewan,
tumbuh-tumbuhan, udara, air dan sebagainya.
2.
Mu’jizat Al Quran Al Quran memiliki mu’jizat-mu’jizat yang
membuktikan bahwa ia benar-benar datang dari Allah SWT. Menurut Mana’ Qattan di
dalam buku Mabahits Fi Ulumil Quran menyebutkan bahwa Al Quran memilki mujizat
pada 4 bidang yaitu:
a.
Pada
lafadz dan susunan kata. Pada zaman Rasulullah Syair sangat trend pada saat itu
maka Al Quran turun dengan kata-kata dan susunan kalimat yang maha puitis,
sehingga Al Quran memastikan bahwa tak ada seorangpun yang dapat membuat satu
surah sekalipun semisal Al Quran. Seperti yang termaktub dalam surah Al Isra
ayat 88, Hud ayat 13-14, Yunus ayat 38 dan Al Baqarah ayat 23.
b.
Pada
keterangannya, selain pada kata-katanya Al Quran juga memiliki mu’jizat pada
artinya yang membuka segala hijab tentang hakikat manusiawi.
c.
Pada
ilmu pengetahuan. Di dalam terdapat sangat banyak pengetahuan baik hal yang
zahir maupun yang gaib, baik masa sekarang maupun yang akan datang.
d.
Pada
penetapan hukum. Peraturan yang ada di dalam Al Quran bebas dari kesalahan
karena ia berasal dari Tuhan Yang Maha Tahu atas segala ciptaanNya.
3.
Fungsi Al Quran Al Quran pertama kali turun di Gua Hira surah
Al Alaq ayat 1-5 dan terakhir kali turun surah al Maidah ayat 3. Al Quran
terdiri dari 30 juz, 144 surah, 6.326 ayat, 324.345 huruf . al-Quran berfungsi
sebagai:
a.
Sumber
pokok dan utama dari segala sumber-sumber hukum yang ada. Hal ini dilandasi
oleh ayat Al Quran di dalam surah An Nisa ayat 5.
b.
Penuntun
manusia dalam merumuskan semua hukum, agar tercipta kemaslahatan dan
keselamatan harus berpedoman dan berwawasan Al Quran.
c.
Petunjuk
yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia dengan penuh rahmat kepada
kebahagiaan umat manusia baik didunia maupun diakhirat dan sebagai ilmu
pengetahuan.
Secara garis
besar hukum dalam Al Quran ada 3 macam, yaitu aqidah, akhlaq dan syari’ah. Pada
umumnya isi Al Quran dibagi 2 macam, ibadat dan muamalat. Dan isi pokok Al
Quran ad 3 macam :
a.
Rukun
Iman, yaitu percaya kepada Allah, rasul-rasul, malaikat, Kitab Allah, hari
kiamat dan kepada qadha dan qadar.
b.
Rukun
Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.
c.
Munakahat
(perkawinan), muamalat ( okum pergaulan dalam masyarakat atau okum private),
jinayat ( okum pidana), ‘aqdiyah ( okum mengenai mendirikan pengadilan),
khalifah ( okum pemerintahan), ath’imah (makanan dan minuman) dan jihad ( okum
peperangan).
4.
Kehujjahan Al-Quran Al-Quran dari segi penjelasannya ada 2 macam,
yang pertama muhkam yaitu ayat-ayat yang teran artinya, jelas maksudnya dan
tidak mengandung keraguan atau pemahaman lain selain pemahaman yang terdapat
pada lafaznya. Yang kedua mutasyabih yaitu ayat yang tidak jelas artinya
sehingga terbuka kemungkinan adanya berbagai penafsiran dan pemahaman yang
disebabkan oleh adanya kata yang memiliki dua arti/maksud, atau karena
penggunaan nama-nama dan kiasan-kiasan.
Ibarat Al-Quran dalam menetapkan dan
menjelaskan hukum yang berupa perintah dan larangan ada beberapa model.
a.
Suruhan,
yang berarti keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Keharusan seperti
perintah shalat, Allah berfirman yang artinya,”Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat”. Larangan contohnya firman Allah dalam surah Al An’am ayat
151 yang artinya,”Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
membunuhnya kecuali dengan hak”.
b.
Janji
baik dan buruk, pahala dan dosa serta pujian dan celaan.
c.
Ibarat,
contohnya seperti istri yang ditalak harus menjalankan masa iddah. “Wanita-wanita
yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga
kali quru”. (QS. Al-Baqarah : 228) Sebagai contoh:
i.
Bila
kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan
dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan
mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
ii.
Bila
kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal
tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak
contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
B.
As-Sunnah
Sunnah adalah semua sabda Nabi, perkataan, dan
taqrirnya. Sunnah dibagi menjadi tiga:
- Sunnah qouliyah. Misalnya hadis yang berbunyi: “barang siapa tertidur atau lupa shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ia teringat shalat lagi”.
- Sunnah fi’liyah. Misalnya praktek shalat dan praktek haji
- Sunnah taqririyah. Ialah ucapan atau perbuatan oleh para sahabat yang diketahui nabi, dan nabi membiarkan atau tidak mencela. Misal, nabi membiarkan para wanita datang ke lapangan untuk melaksanakan shalat Id.
Hub.As Sunnah dan Al-Quran
- Bayan tafsir yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum. Misal hadits “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat” adalah merupakan tafsiran dari ayat Qur’an yang umum yaitu “kerjakan shalat”
- Bayan taqrir yaitu as-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Quran. Misal Hadits “Berpuasalah ketika melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya” adl memperkokoh QS 2 : 185
- Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan ayat Al-Quran, seperti pernyataan Nabi “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yg sudah dizakati” adalah penjelasan terhadap ayat Al-Quran “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah, maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”
Contoh
perkataan/sabda Nabi: “Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan
membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari). Contoh perbuatan: Apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, dan Tirmidzi bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa
yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau
membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk
menunaikannya.” Dan “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.” (Bukhari). Contoh persetujuan: Apa yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat
setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua
rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat
dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam
terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat
Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah
adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari
suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib
mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar
bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih. As
Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan
umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as
Sunnah. Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak
dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain
sutra bagi laki-laki.
C.
Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua
arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya. Sebagaimana
firman Allah Swt: “Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu. (Qs.10:71) Pengertian kedua, berarti kesepakatan.
Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku
untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang. Ijma’ dalam istilah ahli
ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu
masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas
adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas
hukum syara’. Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
- Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaannya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
- Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid Haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
- Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
- Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Syarat Mujtahid Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki
tiga syarat:
1.
Syarat
pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
a.
Pertama.
Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
b.
Kedua,
Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
c.
Ketiga,
Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
2.
Syarat
kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
3.
Syarat
ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Selain itu,
al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki
pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu
seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi,
seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal:
pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia
harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan
pemahamannya atas maqasid al-Syariah.
Kehujjahan
Ijma’ Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas
telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian
Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri,
jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap
mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan
maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu. Selanjutnya mereka
mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi
aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih
lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah
disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’
dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh). Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan
bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan
sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan
demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal
tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib
bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4.
Qiyas
1.
Pengertian Qiyas Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan
sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara
membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka
juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat
hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu
yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama
pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya
telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah
Swt: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (Qs.5:90) Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya
adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama
dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram. Berhubung
qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan
ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1.
Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma
ulama.
2.
Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab
Zhahiri tidak mengakui adaanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran
dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu
kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum
hanya dari teks nash semata.
3.
Kelompok
yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
2.
Kehujjahan Qiyas Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas
merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber
hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan
nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi
dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi
hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil
dasar hukum qiyas adalah firman Allah: “Dia-lah yang mengeluarkan
orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari
(siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang
tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah SWT
memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini
berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian
pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka
menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan.
Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan
melampaui.
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59) Ayat di atas menjadi
dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’
(dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki
tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan
qiyas. Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits
Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya
oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas,
karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga
mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali
mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang
mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa
qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali
ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian)
‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah,
jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak
memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena
arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak
memiliki bapak dan anak.
Dalil
yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan
hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan
yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun
hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang
tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.
4. Rukun Qiyas Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat
hal:
a.
Asal
(pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis
alaihi.
b.
Fara’
(cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula
al-maqîs.
c.
Hukm
al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.
Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d.
Illat,
adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun
atasnya.
Contoh: Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al
Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan
menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan
nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai
hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu
“memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram
sebagaimana pula khamer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar