Minggu, 12 Februari 2017

Syarat-syarat Menjadi Seorang Mufassir Beserta Etikanya



A.                 Makna Syarat-syarat Mufassir
Tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab yang diturunkan Allah kapada nabi Muhammad SAW yang tercinta. Sangat mustahil seseorang akan paham Alqur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang tafsir. Sebelum melangkah lebih dalam tentang tafsir Alqur’an, ada beberapa hal yang harus di pahami terlebih dahulu, diantaranya harus paham dulu apa itu tafsir, Al-qur’an dll. Al-qur’an. Kajian ilmiah yang objektif adalah merupakan dasar ilmu pengetahuan yang benar yang dapat dipertanggung jawabkan dan melalui itu pulalah ia dapat bermanfaat. Maka dari pada itu seorang mufassir tidak jauh dengan hal tersebut bahkan lebih disebabkan ia adalah tuntunan syariat serta pedoman agama. (Manna’ Al Qaththan, Pustaka Al Kauts:414). Pengertian syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seorang menafsirkan Al-Qur’an, syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apata lagi menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan sebuah syarat sebagai penunjang utama dalam langkah menuju objektif. Tafsir tidak hanya satu jalur setelah sekian panjang perjalanan ummat ini maka sampailah kita pada masa yang amat jauh dengan qurun Rasulullah dan para sahabatnya, demikian dapat dikategorikan pengambilan tafsir dengan beberapa hal;
1.      Sabda, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah Saw, terhadap soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila kurang atau tidak dapat memahami maksud suatu ayat Al Qur'an. Tafsiran yang berasal dari Rasulullah ini di sebut Tafsir manquul. Seperti diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Ashshalaatul wusthaa dalam surat (2) Al Baqarah ayat 238 maksudnya ialah : sembahyang ashar. Contoh lain ialah: Ali bin Abi Thalib berkata: Aku menayakan kepada Rasullah Saw tentang Yaumul Hajjil Akbar dalam surat (9) At Taubah ayat 3, Rasulullah menjawab: Yaumun nahr. Tafsir yang berbeda dari sabda, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah terhadap soal-soal yang diajukan ini, didapati dalam bentuk hadits, yang mempunyai sanad-sanad tertentu. Sebagaimana halnya dengan hadits, maka sanad ini ada yang shaheh, yang hasan, yang dhaif, yang maudhu' dan sebagainya. Begitu pula sering didapat maknanya bertentangan dengan kabar yang mutawir, bahkan bertentangan dengan akal pikiran. Oleh sebab itu apabila hadits tafsir ini akan digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an, perlu ditiadakan penelitian lebih dahulu, apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
2.      Ijtihad. Diantara para sahabat dan tabi'ien dalam menafsirkan Al Quraan, disamping menggunakan hadits-hadits Nabi, juga menggunakan hasil pikiran mereka masing-masing; mereka berijtihad dalam menetapkan maksud suatu ayat. Hal ini mereka lakukan karena mereka mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab, tahu tentang sebab-sebab suatu ayat diturunkan, tahu adat istiadat. Arab Jahiliyah dan tentang cerita-cerita Israiliyat dan sebagainya. Contohnya ialah: kata Aththuur dalam ayat 63 ayat 2 Al Baqarah di tafsirkan dengan tafsiran yang berbeda. Mujahid menafsirkannya dengan gunung sedang Ibnu Abbas menafsirkannya dengan gunung Thuur dan sebagainya. Di samping itu ada pula diantara sahabat dan tabi'ien yang tidak mau menafsirkan Al Qur'an menurut ijtihad mereka, beliau menjawab: Saya tidak akan mengatakan sesuatu tentang Al Qur'an.
3.      Cerita-cerita Israiliyaat: ialah perkhabaran yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslimin banyak mengambil cerita dari Israiliyaat ini, sebab Nabi Muhammad Saw sendiri pernah berkata: Bila dikisahkan kepadamu tentang ahli Kitab, janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta. Maksudnya ialah supaya kaum Muslimin menyelidiki lebih dahulu tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli Kitab. Setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.
B.                 Syarat-syarat Kufassir
Untuk menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1.      Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an serta memiliki pengaruh besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya kepada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan golongan dan jalan petunjuk.
2.      Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3.      Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.      Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa semua ketetapan hukum Rasulullah berasal dari Allah,
” Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.(An-Nisaa:105) Demikian pula ditegaskan dalam Surah An Nahl : 44. “ Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Al-Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya,” yakni Sunnah.
Berkenaan dengan ini Imam Asy-syafi’ie berkata, “Segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an.
5.      Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
6.      Memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
7.      Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan. Lebih daripada itu seorang mufassir lebih jeli dan teliti utamanya spesial dalam bahasa. Bahasa Arab kerana dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosa kata suatu lafaz dan maksudnya sesuai dengan objek. Oleh kerana demikian pentingnya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran,
8.      Mempunyai pengetahuan pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an
a.       Ilmu Qiraat kerana dengannya seseorang itu dapat mengetahui cara-cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an dan dapat pula memilih bacaan yang lebih kuat di antara berbagai ragam bacaan yang ada, malah qiraat juga dapat memastikan maksud yang sebenarnya apabila terjadi perselisihan.
b.      Mendalami ilmu Usuluddin dan ilmu tauhid karena dengannya seseorang
mufassir diharapkan dapat mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ketuhanan dan hak-hak Allah dengan betul serta tidak mentakwilkannya dengan sewenang-wenangnya atau melampaui batasan.
c.       Berpengetahuan dalam Usul Fiqh karena ia dapat membantu mufassir bagaimana hendak membuat kesimpualan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan berdalil dengannya. Begitu juga mengenai ayat-ayat mujmal dan mubayyan, umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, amar dan nahy dan perkara-perkara yang berkaitan.
d.      Berpengetahuan yang luas dalam bidang pokok-pokok ilmu tafsir dapat membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan betul dan mendalam. Contohnya Asbab al-Nuzul akan menolong mufassir dalam memahami maksud ayat berdasarkan latar belakang penurunan ayat. Begitu pula dengan An-Nasikh dan Al-Mansukh serta ilmu-ilmu yang lainnya.
9.      Memiliki ketelitian dan kecermatan dalam pemahaman, sehingga dengannya mufassir boleh membezakan antara pendapat-pendapat yang saling berdekatan, kerananya mufassir tersebut dapat mengambil kesimpulan hukum yang sesuai dengan nas-nas syariat. Mentafsirkan Al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874])
Orang yang memenuhi syarat-syarat mufassir dibolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaedah dan peraturan yang ditetepkan. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang kompeten dalam bidang ini.
C.                 Defenisi Etika Mufassir
Berbagai definisi yang berbeda dikemukakan oleh para ahli tentang tafsir. Perbedaan tersebut pada dasarnya timbul akibat perbedaan mereka tentang ada tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan dalam memahami firman-firman Allah dalam Al-Quran. Satu pihak beranggapan bahwa kemampuan menjelaskan atau memahami firman-firman Allah itu bukanlah berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang bersumber dari ilmu-ilmu bantu, tetapi harus digali langsung dari Al-Quran berdasarkan petunjuk-petunjuk Nabi saw., dan sahabat-sahabat beliau. Pihak ini mendefinisikan tafsir sebagai "penjelasan tentang firman-firman Allah; atau apa yang menjelaskan arti dan maksud lafal-lafal Al-Quran". Bagi mereka, tafsir bukan suatu cabang ilmu.
Pihak lainnya yang berpendapat bahwa terdapat kaidah-kaidah tafsir, mengemukakan definisi yang dapat disimpulkan dalam formulasi berikut bahwa tafsir adalah "suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman-firman Allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia".
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat tersebut. Namun, yang jelas, pendapat pihak pertama memperberat tugas-tugas mufasir dalam menjelaskan atau menemukan tuntunan-tuntunan Al-Quran yang bersifat dinamis, disamping mempersulit seseorang yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran dalam waktu yang relatif singkat. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa definisi kedua lebih populer dan luas diterima oleh para pakar Al-Quran daripada definisi pertama.
Diakui oleh semua pihak bahwa materi-materi Tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan. "Al-Shina'ah thawilah wa al-'umr, gashir, " demikian kata Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an.163 Di sisi lain, perkembangan ilmu ini dan keanekaragaman disiplinnya, menuntut para ahli agar bersikap sangat selektif dalam memilih matakuliah-matakuliah yang ditampung dalam satu kurikulum, suatu hal yang sering mengakibatkan pengasuh matakuliah tertentu merasa dirugikan atau disepelekan oleh penyusun kurikulum tersebut.
Kenyataan di atas mengantarkan kita untuk menekankan perlunya menetapkan terlebih dahulu tujuan pengajaran tafsir di IAIN. Tujuan yang dimaksud di atas bukannya tujuan akhir yang ideal dari suatu pendidikan yang kemudian diturunkan menjadi tujuan kurikuler sampai kepada tujuan instruksional, tetapi terbatas hanya pada bidang kognitif tanpa mempermasalahkan segi afektif dan psikomotorik kehidupan peserta didik. Hemat penulis, pengajaran tafsir di perguruan tinggi seyogianya tidak ditekankan pada pemahaman kandungan makna suatu ayat, atau pemberian ide tentang suatu masalah dalam bidang disiplin ilmu, tetapi melampaui hal tersebut, yaitu dengan memberi mereka kunci-kunci yang kelak dapat mengantarkannya untuk memahami Al-Quran serta kandungannya secara mandiri.
Jika itu yang menjadi tujuan pengajaran tafsir, maka materi ayat-ayat yang dipilih, atau masalah-masalah ilmu tafsir yang diajarkan, (mesti) tidak lagi menitikberatkan pada kandungan arti suatu ayat atau masalah tertentu, satu hal yang selama ini telah mengakibatkan tumpang-tindihnya permasalahan tersebut dengan disiplin ilmu lain yang juga memilih masalah yang sama. Pemilihan hendaknya lebih banyak didasarkan pada cakupan kunci-kunci pemahaman yang dapat mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang dimaksud.
Pokok Bahasan Tafsir
D.                  Macam-macam Etika Mufassir
Adapun adab atau etika yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut
1.      Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2.      Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3.      Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4.      Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
5.      Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6.      Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
E.                 Perlunya Etika Mufassir
Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada nabi muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَـبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهَدَى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S.An-Nahl89) Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :
وَلَقَدْ جِئْنَـهُمْ بِكِتَـبٍ فَصَّلْنَـهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546]; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52) Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir.
Mengkaji sebuah ayat dan firman Allah bukanlah bersumber akal belaka yang kemungkinan besar tidak sesuai dengan apa yang di maksudkan oleh ayat tersebut, sehingga demikian ia membutuhkan pembimbingn yang menunjuk pada jalan tersebut. Sebutlah Rasulullah ketika sahabat Abu Bakar datang dengan pertanyaan sinis, lantas siapakah yang selamat dari kezhaliman? Ketika turun ayat:”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-An’am: 82) .
Kemudian Rasulullah menerangkan makna Zhulmun yakni kesyirikan, hal sersebut sebagaimana tercantum dalam surat Luqman ayat 13. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...