A.
Definisi Dalil
Ilmu Ushul
Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu hukum
berdasarkan dalil dan menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu
Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum.
Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni:
penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi.
Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material
(hissi) maupun yang non material (ma’nawi). Sedangkan secara istilah, para
ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu : sesuatu yang
dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan
dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar
mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat). Selain itu beberapa
definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di antaranya
adalah sebagai berikut.
1.
Menurut
Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan
(orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif
yang diinginkannya.
- Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”.
- Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.
Dalam hal ini,
para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai dalil dan berbeda
pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan
ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang
selebihnya. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa dalil adalah merupakan
sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan
manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan
jalanzhanni mengenai pandangan kebenaran.
B.
Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan
penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat
sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang
disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber
yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap
musykil terjadinya Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad
Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya
adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan
Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati. Untuk lebih
jelasnya berikut disajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas.
1.
Al-Qur’an
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar
(infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz
ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu
dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara
istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang
mutawatir, tanpa ada keraguan. Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai
bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an
ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril,
disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh
siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan
jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu
ibadah.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit
yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya
ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada
al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi
tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang
telah dikoreksi oleh Allah. Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem
kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial,
ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan
oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan
sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan
landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman.
Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan
tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang
dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem
yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan
tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat
dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi
dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau
tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
Hukum-hukum dalam Al-Qur’an Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an
itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah. Yakni,
hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada
Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari
pembalasan. Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan
dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan
dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela. Ketiga, hukum-hukum
amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan,
perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang
ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh
Ilmu Ushul Fiqih.
Adapun, Hukum-hukum amaliah di dalam
Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
a.
Hukum
ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
b.
Hukum-hukum
mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan
sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perseorangan maupun
sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’ disebut
dengan hukum mu’amalat.
Hasil
penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan
ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari
hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan
kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen,
tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan lingkungan. Adapun
selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum
perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah),
internasional (dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa
al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan yang
umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah
terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini
Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi
saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan
perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang
dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
(dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
2.
As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam
tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada
Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
a.
Sunnah
qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian.
Misalnya sabda beliau sebagai berikut. Tidak ada kemudharatan dan tidak pula
memudharatkan. (HR. Malik). Hadis tersebut termasuk sunnah qauliyyah yang
bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan
kepada dirinya sendiri dan orang lain.
b.
Sunnah
fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau
melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan
rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
c.
Sunnah
taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau
bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap
perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai
perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
Kehujjahan
As-Sunnah Kedudukan
As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para
sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah
Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah
(alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti)
yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah)
misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair
mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya)
dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode
pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah
adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2
rakaat ba’da Ashar. Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati
sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana
diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
Fungsi
As-Sunnah terhadap Al-Qur’an Fungsi
As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi
sebagai berikut.
1.
As-Sunnah
berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum
dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2.
As-Sunnah
sebagai bayan (penjelas)
3.
Takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat)
terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum)
atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang
belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan
dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal
dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti
kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hubungan
As-Sunnah dengan Al-Qur’an As-Sunnah,
dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek
hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah
Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain,
As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di
antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl:
44, dan an- Nahl: 64.
3.
Ijma’ Menurut ulama
Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam
pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang
suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada
seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian
bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka
itulah yang disebut ijma.
Kehujjahan Ijma’ Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1.
Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya peristiwa, 2. Adanya kesepakatan
mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar belakang, 3. Adanya
pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan mujtahid)
dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-masa
sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut
perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian
mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk
diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat
, baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat
atas suatu hukum mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini
adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak
boleh ditentang. Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa
ayat 59, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati
Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil
Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum
hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
Macam-Macam Ijma’ Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma
itu ada dua bagian yaitu :
a.
Ijma
Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu
waktu terhadap suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara
jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
b.
Ijma
Syukuty yaitu sebagian
mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu
kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak
menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat
dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua
bagian juga yaitu sebagai berikut.
a.
Ijma Qoth’i. adalah
hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk
mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum
syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
b.
Ijma Zhanni. adalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga
berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih
memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat
seluruh mujtahid.
4.
Qiyas Al-Qiyas
menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut
ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran
adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya,
masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan
dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat
memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan
hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.
Rukun-Rukun Al-Qiyas Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai
berikut
a.
Al-Ashl
ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut
Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
b.
Al-Far’u
ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan
kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)
c.
Hukmul
Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai
sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
d.
Al-Illat
ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u
itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.
C.
Dalil Hukum yang Tidak Disepakati
Selain
dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan
tetapi ada juga dalil hukum yangmana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas
penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan
dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati dan dalil yang tidak
disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam: Al-Istihsan,
Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan Syaru
Man Qablana.
1.
Isthisan Menurut
bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang
baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar dalil syara”.
Khilaf
Tentang Dasar Hukum Istihsan Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar
hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan
hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang
berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara”
berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara”
hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan
beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti
orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat
syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.” Namun kalau diteliti lebih dalam,
ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari
istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu
semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang
enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Maka seandainya istihsan itu
diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati,
tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam
kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan
tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah
SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
Kehujjahan
Isthisan Menurut Abdul
Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya
Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari
kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang
menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang
kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga
yang disebut dengan segi Isthisan”.
2.
Isthisab Secara
terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan
dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama
Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan
bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu
perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku
sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya
perubahan (hukum tersebut)”.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara
hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang
terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an,
al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang
ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam
berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus
mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian
qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh)
menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa
sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu,
maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
Jenis-jenis Istishhab Para ulama menyebutkan banyak sekali
jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan
yang terpenting diantaranya, yaitu:
a.
Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan
dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika
ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para
ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan
dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil
lainnya seperti ijma’ dan qiyas
b.
Istishhab
al-Bara’ah al-Ashliyah, atau
bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan
apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan
atau mempertanggungjawabkan sesuatu
c.
Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat
berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
Kehujjahan
Isthisab Isthisab
merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka
para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan
akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap
sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil
yang merubahnya”.
3.
Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum) Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat
yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan
sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat.
Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya
manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari
aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan
mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat
didahulukan dalam menegakan maslahat”. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada
manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang
mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh
nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut,
maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam
Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.
1.
Rasional.
Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk
kepada mashlahat mursalah.
2.
Sinergi
dengan maqhasid syari’ah
3.
Menjaga
prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul
haraj).
Kehujjahan Maslahah Mursalah Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan
bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah
adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan
bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas,
ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak
boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’.
Akan
tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah
mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti
syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun
pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.Yang
jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat
dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan
hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta
lingkungan.
Adapun
terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun
dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama
Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits
atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi
suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah
sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya.
4.
‘Urf Urf menurut
bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang
diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Pembagian urf
a.
Ditinjau
dari bentuknya ada dua macam
1.
Al
Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm (
daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
2.
Al
Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual
beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
b.
Ditinjau
dari segi nilainya, ada dua macam :
1.
Al
Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak
bertentangan dengan nash hukum syara’
2.
Al
Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan
hukum syara
c.
Ditinjau
dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
1.
Al
Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga
sekarang
2.
Al
urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja,
urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
Syarat-syarat
urf dapat diterima oleh hukum islam Syarat diterimanya Urf oleh hukum islam, yakni:
a.
Tidak
ada dalil yang khusus untuk suatu masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b.
Pemakian
tidak mengakibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c.
Telah
berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
Kehujjahan ’urf Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih
saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk
menetapkan hukum atau keputusan Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum
berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang
terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan syara’. Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul
jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir
yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas
karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas
Kepustakaan
Nasrun Rusli,
Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
Nasrun Rusli,
Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999),
Abdul Wahab
Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
Departemen
Agama RI. 1971. Al-Qur’an dan terjemahnya: Jakarta
Abdullah,
sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
Bakry Nazar.
2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar