Analisa laporan keuangan merupakan proses yang penuh pertimbangan
dalam rangka membantu mengevalusi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan
pada masa sekarang dan masa lalu, dengan tujuan untuk menentukan estimasi dan
prediksi yang paling mungkin mengenai kondisi dan kinerja perusahaan pada masa
mendatang. Analisa rasio mencakup mencakup perbandingan rasio antara suatu
perusahaan dengan perusahaan lain dalam industri yang sama, perbandingan rasio
suatu perusahaan antar waktu atau dengan periode fiskal yang lain, dan
perbandingan rasio terhadap beberapa acuan yang baku. Analisis ini memberikan
masukan terhadap derajat perbandingan dan relatif pentingnya pos-pos laporan
keuangan dan dapat membantu dalam mengevaluasi efektifitas kebijakan operasi,
investasi, pendanaan dan retensi laba yang diambil manajemen.
Variabel pembanding rasio mealiputi:
1.
Rasio rata-rata industri sejenis
2. Rasio
berdasarkan standar yang telah ditentukan sebelumnya
3. Rasio
historis
4.
Rasio berdasarkan perusahaan market
leader atau kompetitor tertentu.
Kelompok analisis dalam rasio keuangan perusahaan
1.
Financial Ratio yang berdasarkan
pada laporan neraca (Balance Sheet) seperti Rasio Likuiditas dan Rasio
Leverage/ Solvabilitas
2.
Financial Operation Ratio yang
berdasarkan rasio berdasarkan pada laporan R/L (income statement) seperti :
Rasio Aktivitas (activity ratio), Rasio Profitabilitas (profitability ratio) atau rasio rentabilitas dan Rasio Pasar
(market ratio).
Menurut Harahap (2009:195), kegunaan analisis laporan keuangan ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1.
Dapat
memberikan informasi yang lebih luas, lebih dalam daripada yang terdapat dari
laporan keuangan biasa.
2. Dapat menggali informasi yang tidak tampak secara
kasat mata (explicit) dari suatu laporan keuangan atau yang berada di
balik laporan keuangan (implicit).
3. Dapat mengetahui kesalahan yang terkandung dalam laporan keuangan.
4. Dapat membongkar hal-hal yang bersifat tidak konsisten dalam hubungannya
dengan suatu laporan keuangan baik dikaitkan dengan komponen intern maupun
kaitannya dengan informasi yang diperoleh dari luar perusahaan.
5. Mengetahui sifat-sifat hubungan yang akhirnya dapat melahirkan model-model
dan teori-teori yang terdapat di lapangan seperti untuk prediksi, peningkatan.
6.
Dapat memberikan informasi
yang diinginkan oleh para pengambil keputusan. Dengan perkataan lain yang
dimaksudkan dari suatu laporan keuangan merupakan tujuan analisis laporan
keuangan juga antara lain: Dapat menilai prestasi perusahaan; Dapat memproyeksi laporan perusahaan ; Dapat menilai
kondisi keuangan masa lalu dan masa sekarang dari aspek waktu tertentu;
Dapat menilai perkembangan dari waktu ke waktu dan Dapat menentukan peringkat (rating)
perusahaan menurut kriteria tertentu yang sudah dikenal dalam dunia bisnis.
Rasio kurang
berguna bila tidak bisa dibandingkan Membandingkan rasio dari waktu ke waktu ,
disebut sebagai analisa kecenderungan waktu (Time-trend analysis). Rasio ini
digunakan untuk melihat bagaimana kinerja perusahaan berubah dari waktu ke
waktu. Analisa ini bisa digunakan untuk keperluan internal maupun eksternal.
Sedangkan bila rasio perusahaan dibandingkan dengan perusahaan sejenis atau
satu industry, disebut analisa industry (Peer Group Analysis). Contoh : rasio
keuangan PT Hyundai Indonesia dibandingkan dengan rasio industry otomotif.
Adapun yang dimaksud dengan rasio industry adalah rata-rata rasio dari seluruh
perusahaan yang berada dalam industry yang sama (misal : otomotif). Masalah potensial yang
umunya dihadapi dalam melakukan analisa rasio laporan keuangan yakni;
1.
Tidak
ada teori yang mendasari untuk mengetahui rasio mana yang paling relevan.
2. Tolok ukur menemui kesulitan saat menghadapi
perusahaan-perusahaan yang berbeda.
3. Globalisai dan persaingan internasional membuat
perbandingan rasio lebih sulit karena adanya perbedaan peraturan akuntansi.
4. Terdapat kebijakan akuntansi seperti untuk
persediaan : FIFO, average dll.
5. Adanya perbedaan tahun fiskal.
6.
Adanya
pos-pos (kejadian) istimewa (seperti : bencana alam dll)
Berikut Ini merupakan Rasio-rasio Keuangan yang sering digunakan
oleh perusahaan-perusahaan dalam menganalisis laporan keuangan
1.
Profitabilitas
Adalah rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
keuntungan (profitabilitas) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham
tertentu.
a.
Gross Profit Margin
Rumus:
Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang
akan menutupi biaya-biaya tetap atau biaya operasi lainnya. Dengan pengetahuan
atas rasio ini dapat mengontrol pengeluaran untuk biaya tetap atau biaya
operasi sehingga perusahaan dapat menikmati laba. Semakin besar rasionya
semakin baik
b.
Net Profit Marjin
Yaitu besarnya keuntungan operasi yang dinyatakan dalam prosentase dan
jumlah penjualan bersih. Profit Margin ini mengukur tingkat keuntungan yang
dapat dicapai oleh perusahaan dihubungkan dengan penjualannya. Net PM 0,049
atau 4,9% artinya dari setiap Rp 1 penjualan perusahaan mampu menghasilkan laba
Rp 0,049, Atau laba perusahaan adalah 4,9% dari penjualan.
c.
Return On Asset
Return on Aset
(ROA) adalah rasio utk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih
berdasarkan tingkat aset tertentu. ROA juga sering disebut dengan ROI (return
on investment). Rumus:
ROA 6,3%
artinya dari setiap Rp 1 aset perusahaan mampu menghasilkan laba Rp 0,063. ROA
yang tinggi menunjukkan efisiensi manajemen asset dan Laba bersih yang
menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dinyatakan dalam rumus
laba bersih + biaya bunga (1-tarif pajak).
d.
Return On Equity
Return on
Equity (ROE) adalah rasio utk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba
bersih berdasarkan modal saham tertentu. Rumus:
2.
Likuiditas
Untuk mengetahui kemampuan
perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendek (kurang dari 1 tahun)
a. Acid
test (Quick) ratio
Rasio ini merupakan perbandingan antara aset
lancar dikurangi persediaan dengan kewajiban lancar. Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Rasio ini
merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya
dengan tidak memperhitungkan persediaan, karena persediaan memerlukan waktu
yang retaif lama untuk direalisir menjadi uang kas, walaupun kenyataannya mungkin
persediaannya lebih likuid dari pada piutang. Menurut Fahmi (2011:62), apabila
menggunakan rasio ini maka dapat dikatakan bahwa jika suatu perusahaan
mempunyai nilai quick ratio sebesar kurang dari 100% atau 1:1, hal ini
dianggap kurang baik tingkat likuiditasnya.
b.
Capital working turn over
c.
Current Ratio
Perbandingan
antara current assets (aktiva lancar) dengan current liabilities (hutang
lancar).
Rumus :
Rasio ini menunjukkan tingkat keamanan bagi kreditur. Nilai CR yang
baik > 1. Kondisi perusahaan yang memiliki current ratio yang baik
adalah dianggap sebagai perusahaan yang baik dan bagus, namun jika current
ratio terlalu tinggi juga dianggap tidak baik karena dapat mengindikasikan adanya
masalah seperti jumlah persediaan yang relatif tinggi dibandingkan taksiran
tingkat penjualan sehingga tingkat perputaran persediaan rendah dan menunjukkan
adanya over investment dalam persediaan tersebut atau adanya saldo
piutang yang besar yang tak tertagih. Mis, Setiap
hutang Lancar Rp 1,00 dijamin oleh oleh aktiva lancar Rp 2,50
3.
Laverage/ Solvabilitas
Adalah rasio
untuk mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban-kewajiban jangka
panjangnya. Suatu perusahaan yang
solvable berarti bahwa perusahaan tersebut mempunyai aktiva atau kekayaan yang
cukup untuk membayar semua hutanghutang nya begitu pula sebaliknya perusahaan
yang tidak mempunyai kekayaan yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya
disebut perusahaan yang insolvable. Macam-macam rasio solvabilitas adalah:
a.
Times interest Earned
Rasio Times Interest Earned digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan membayar beban tetap bunga dengan laba sebelum pajak. Rasio yang
tinggi menunjukkan situasi yang aman. Rasio yang rendah memerlukan perhatian
manajemen
Satuan TIE adalah kali (times). TIE 2 kali dianggap sangat rendah,
TIE 3 kali dianggap rendah. Rasio ini menurut Wild dkk bukan rasio yang efektif
melihat hubunga laba dengan beban tetap.
b.
DER (Debt To Equity Ratio) atau
Rasio hutang terhadap modal
Debt-to-Equity Ratio adalah Jumlah rupiah yang dipinjam untuk
investasi ekuitas. Rasio ini sering disebut dengan rasio leverage. Rumusnya:
DER
dianggap tinggi jika diatas 100%. DER yang tinggi menunjukkan risiko perusahaan yang tinggi
karena dominannya sumber dana dari unsur utang. Debt to Equity Ratio
(DER) dengan angka dibawah 1.00, mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki
hutang yang lebih kecil dari modal (ekuitas) yang dimilikinya. Tetapi sebagai
investor kita juga harus jeli dalam menganalisis DER ini, sebab jika total
hutangnya lebih besar dari pada ekuitas, maka kita harus melihat lebih lanjut
apakah hutang lancar atau hutang jangka panjang yang lebih besar :
1.
Jika
jumlah hutang lancar lebih besar dari pada hutang jangka panjang, hal ini masih
bisa diterima, karena besarnya hutang lancar sering disebabkan oleh hutang
operasi yang bersifat jangka pendek.
2.
Jika
hutang jangka panjang yang lebih besar, maka dikuatirkan perusahaan akan
mengalami gangguan likuiditas dimasa yang akan datang. Selain itu laba
perusahaan juga semakin tertekan akibat harus membiayai bunga pinjaman
tersebut.
3.
Beberapa
perusahaan yang memiliki DER di atas 1.00, menggnggu pertumbuhan kinerja
perusahaanya juga menganggu pertumbuhan harga sahamnya. Karena
itu sebagian besar para investor menghindari perusahaan yang memiliki
angka DER lebih dari 2.
Hal yang
perlu diperhatikan juga adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan
seperti Bank, Asuransi, Perusahaan investasi cenderung memiliki DER yang
tinggi. Karena sebagian besar dana yang dikelolanya adalah dana pihak ketiga.
Dalam hal ini dana pihak ketiga secara akutansi dianggap sebagai liabilities
(hutang). Sebagaimana yang kita ketahui untuk jenis perusahaan seperti ini,
semakin besar modal pihak ketiga yang mereka kelola, maka kemungkinan untuk
mendapat laba usaha juga semakin tinggi. Tidak mengherankan jika
perusahaan Bank dan Asurannsi memiliki DER yang lebih dari 5. Maka dari
itu rasio DER kurang cocok digunakan pada perusaahan seperti ini. Debt to
Equity Ratio (DER) dapat menunjukkan atau menggambarkan pengaruh terhadap
banyak kondisi. Kaitannya dengan pihak investor, DER berpengaruh pada Dividen.
Semakin tinggi tingkat Debt to Equity Ratio (DER), berarti komposisi
hutang juga semakin tinggi, sehingga akan berakibat pada semakin rendahnya
kemampuan perusahaan untuk membayarkan Dividend Payout Ratio (DPR)
kepada pemegang saham, sehingga rasio pembayaran deviden semakin rendah. DER
memiliki pengaruh negatif terhadap DPR. DER yang tinggi menandakan bahwa
kebutuhan ekuitas sebagian besar dipenuhi dari hutang. Suatu perusahaan
memutuskan melunasi hutang yang jatuh tempo dengan mengganti surat berharga
lain atau membayar dengan menggunakan laba ditahan, maka perusahaan
mendahulukan membayar hutang tersebut.
Dari
penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Debt to Equity Ratio sebagai
salah satu rasio keuangan dapat menjadi tolak ukur kinerja keuangan diantaranya
mengukur tingkat penggunaan utang terhadap total shareholder̢۪s equity
yang dimiliki perusahaan, Debt to Equity Ratio berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan laba, serta DER berpengaruh pada Dividen. DER memiliki
pengaruh negatif terhadap Dividend Payout Ratio (DPR). DER yang tinggi
menandakan bahwa kebutuhan ekuitas sebagian besar dipenuhi dari hutang. Namun
perlu diperhatikan bahwa rasio DER kurang cocok digunakan pada perusaahan
asuransi dan bank.
c.
Rasio Total Hutang Terhadap Total
Aset
Rasio
total hutang terhadap total aset (RHTA), RUmusnya:
Digunakan untuk menghitung seberapa besar porsi dana disediakan
oleh kreditur untuk investasi asset. Jika
RHTA adalah 0.66 artinya setiap Rp 0,66 hutang dijamin oleh Rp 1 aset
4.
Efficiency
a.
Cost To Income Ratio (CIR)
CIR berasal dari beban operasional dibagi pendapatan bunga bersih
(net interest income/ NII) plus fee-based income. Kedua rasio itu amat mirip,
tetapi tidak persis sama.
5.
Market Ratio
Rasio ini merupakan indikator
untuk mengukur mahal murahnya suatu saham, ukuran prestasi perusahaan yang
dipaling lengkap bagi para pemegang saham, serta dapat membantu investor dalam
mencari saham yang memiliki potensi keuntungan dividen yang bessar sebelum
melakukan penaman modal berupa saham. Namun rasio pasar tidak mempunyai ukuran
yang menunjukan tingkat efesiensi rasio serta tidak dapat mencerminkan kinerja
keuangan perusahaan secara keseluruhan jika dilihat berdasarkan harga saham
maupun jika dipergunakan oleh pihak manajemen perusahaan.
Rasio pasar merupakan sekumpulan rasio yang menghubungkan
harga saham dengan laba dan nilai buku per saham. Rasio ini memberikan petunjuk
mengenai apa yang dipikirkan invenstor atas kinerja perusahaan di masa lalu
serta prospek di masa mendatang (Moeljadi, 2006:75). Rasio ini memberikan informasi seberapa besar
masyarakat (investor) atau para pemegang saham menghargai perusahaan, sehingga
mereka mau membeli saham perusahaan dengan harga yang lebih tinggi disbanding
dengan nilai buku saham (Sutrisno, 2003:256). Menurut
Hanafi (2004:43). Rasio pasar mengukur harga pasar saham perusahaan, relative
terhadap nilai bukunya. Sudut pandang rasio ini lebih banyak berdasar pada
sudut pandang investor ataupun calon investor, meskipun pihak manajemen, juga
berkepentingan rasio ini. Rasio modal saham atau rasio pasar terdiri dari:
a.
Price Earning Rasio (PER) atau Rasio
harga Laba
Price Earning
Rasio adalah rasio untuk melihat harga saham relatif terhadap earningnya.
Rumus:
PER 10,5 kali
berarti harga pasar perlembar saham mencapai 10,5x dari EPS. PER yg tinggi
menunjukkan prospek tumbuh perusahaan yg tinggi (kalau terlalu tinggi tdk baik
karena mungkin harga saham tdk akan naik lagi dan kemungkinan memperoleh
capital gain akan lebih kecil), sebaliknya PER yang rendah menunjukkan prospek
tumbuh yang rendah. Earning per share adalah rasio yang menunjukkan berapa besar
kemampuan perlembar saham dalam menghasilkan laba (Syafri, 2008:306). Earning per share merupakan rasio yang menggambarkan jumlah rupiah
yang diperoleh untuk setiap lembar saham biasa (Syamsuddin, 2009:66). Oleh
karena itu pada umumnya manajemen perusahaan, pemegang saham biasa dan calon
pemegang saham sangat tertarik akan earning per share. Earning
per share adalah suatu indikator keberhasilan perusahaan. Menurut Moeljadi (2006:75), Price Earning Ratio
(PER) menunjukan berapa banyak investor bersedia membayar untuk tiap rupiah
dari laba yang dilaporkan. Oleh para investor rasio ini digunakan untuk
memprediksi kemampuan perusahaan dalam menghasilakan laba di masa yang akan
datang. Kesedian para investor untuk menerima kenaikan PER sangat bergantung
pada prospek perusahaan.
b.
Dividend yield
Dividend Yield
adalah rasio untuk melihat bagian dari harga pasar saham yang akan diperoleh
investor
Dividen yield 0.0034% berarti sebanyak 0,0034% dari harga pasar
saham akan menjadi bagian investor. Perusahaan dengan prospek tumbuh yang
tinggi cenderung punya DY rendah & PER tinggi Dividen yield merupakan sebagian dari total return yang
akan diperoleh investor. Biasanya perusahaan yang mempunyai prospek pertumbuhan
yang tinggi akan mempunyai dividend yield yang rendah, karena dividen
sebagian besar akan diinvestasikan kembali. Kemudian karena perusahaan Pengertian rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) menurut Agus
Sartono (2001:491) menyatakan bahwa : “ Rasio pembayaran dividen adalah
persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio antara laba
yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba yang tersedia bagi
pemegang saham”. dengan prospek yang
tinggi akan mempunyai harga pasar saham yang tinggi, yang berarti pembaginya
tinggi, maka dividend yield untuk perusahaan macam ini akan cenderung
lebih rendah (Hanafi, 2004:43)
c.
Dividen pay out (DPR)
Rasio
pembayaran Dividend (Dividend pay out ratio) adalah rasio untuk melihat bagian
EPS yang dibayarkan sebagai dividen kepada investor.
DPR 35,3% berarti sebanyak 35,3% dari EPS akan menjadi bagian
investor. Perusahaan dgn prospek tumbuh yang tinggi cenderung punya pembayaran
dividen rendah. Kebijakan
dividen merupakan bagian yang menyatu dengan keputusan pendanaan perusahaan.
Rasio pembayaran dividen (dividend payout
ratio) menentukan jumlah laba yang dapat ditahan sebagai sumber pendanaan.
Semakin besar laba ditahan semakin sedikit jumlah laba yang dialokasikan untuk
pembayaran dividen.
d.
Price to book value (PBV) atau Rasio
Pasar Per Buku
Rasio
ini menunjukan berapa besar nilai perusahaan dari apa yang telah atau sedang
ditanamkan oleh pemilik perusahaan, semakin tinggi rasio ini, semakin besar
tambahan wealth (kekayaan) yang dinikmati oleh pemilik perusahaan (Husnan,
2006:76). Menurut prastowo (2005:99),jika harga pasar berada
di bawah nilai bukunya, investor memandang bahwa perusahaan tidak cukup
potensial. Bila seorang investor pesimistik atau prospek suatu saham, banyak
saham dijual pada harga di bawah nilai bukunya. Sebaliknya jika investor
optimistic maka saham dijual dengan harga di atas nilai bukunya. Rumusnya:
PBV atau Price
to Book Value adalah salah satu cara mengukur nilai suatu saham,
apakah murah atau mahal. Menghitung PBV sangat gampang. Caranya, bagi saja
harga saham saat ini (current price) dengan harga saham
sebenarnya (nominal price). Current
price bisa dilihat di banyak situs saham, semisal IDX,
Yahoo!finance, running text di televisi, atau di
layar mesin trading anda (kalau anda sudah ikut terdaftar di pialang saham).
Sedangkan nominal
price diperoleh dengan cara membagi nilai ekuitas dengan jumlah
saham yang beredar. Nilai ekuitas dan jumlah saham beredar bisa diketahui dari
laporan keuangan yang dikeluarkan perusahaan. Tapi bagi saya, PBV adalah
pertimbangan pertama sebelum yang lain. PBV memberikan kepada kita margin
keamanan. Jika PBV di bawah 1, berarti ada margin keamanan. Jika misalnya
perusahaan bangkrut, maka kita masih bisa memperoleh sebanyak nilai sebenarnya
dari perusahaan tersebut. Namun tidak mudah menemukan saham yang PBV-nya rendah
sekaligus punya prospek bagus. Kebanyakan perusahaan berprospek bagus dan
mapan, seperti saham-saham berkategori bluechips, PBV-nya sudah tinggi sekali
(di atas 3 kali). Sedangkan kebanyakan saham dengan PBV rendah, pergerakan
sahamnya tidak terlalu bagus.
Tidak semua
saham yang memiliki PBV yang dibawah 1,0 adalah saham yang undervalue. Bisa
saja saham tersebut memang memiliki PBV yang rendah karena perusahaan itu
merugi sehingga pada tahun-tahun kemudian nilai book valuenya akan menurun.
Bila terdapat kejadian yang seperti ini maka wajar jika perusahaan tersebut
memiliki PBV yang rendah dan tidak mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut
undervalue. Sebaliknya
saham yang memiliki PBV yang tinggi juga bisa tidak mengindikasikan bahwa
sahamnya overvalue karena bisa saja perusahaan tersebut memiliki prospek dan
kinerja yang bagus serta brand yang terkenal. Sehingga dari itu semua membuat
harga sahamnya memiliki valuasi yang premium dibandingkan dengan saham yang
memiliki PBV yang lebih rendah namun dengan prospek yang lebih rendah juga.
e.
Dividend Per Share (DPS)
Formula DPR = Total Dividends : Net Income, di
mana: total dividends) = number of shares x dividend per share
Cara lain, DPR dapat dihitung dengan rumus:
1. DPR = Dividend per Share : Earning per Share,
DPS = dividends : number of shares dan EPS = net income : weighted average
outstanding shares
2. DPR = 1 – Retention Ratio, retention ratio
disebut juga plowback ratio, di mana retention ratio = earning retained : total
earning.
Pengertian dividen per lembar saham (DPS)
menurut Susan Irawati (2006:64) menyatakan bahwa : "Dividen per lembar saham (DPS) adalah
besarnya pembagian dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham setelah
dibandingkan dengan rata-rata tertimbang saham biasa yang beredar”. Dividend Per Share (DPS) adalah bagian
keuntungan yang diberikan kepada para pemegang saham yang jumlahnya sebanding
dengan jumlah saham yang dimiliki. Besarnya dividen per lembar saham dapat
dicari dengan rumus :
f.
Earning
Per Share (EPS) atau Laba Perlembar Saham
Pengertian laba per lembar saham menurut Zaki
Baridwan (2004:443) menyatakan bahwa : “Yang dimaksud dengan laba per lembar
saham adalah jumlah pendapatan yang diperoleh dalam suatu periode tertentu
untuk setiap jumlah saham yang beredar”.
Informasi mengenai laba per lembar saham dapat
digunakan oleh pimpinan perusahaan untuk menentukan dividen yang akan
dibagikan. Informasi ini juga berguna bagi investor untuk mengetahui
perkembangan perusahaan selain itu juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat
keuntungan suatu perusahaan. Laba per lembar saham (EPS ) dapat dicari dengan
rumus sebagai berikut
Perhitungan laba per lembar saham diatur dalam
SAK No.56 yang menyatakan dua macam laba per lembar saham :
1.
Laba
Per lembar saham dasar, adalah jumlah laba pada suatu periode yang tersedia
untuk setiap saham biasa yang beredar dalam periode pelaporan.
2.
Laba
per lembar saham dilusian, adalah jumlah laba pada suatu periode yang tersedia
untuk setiap saham biasa yang beredar selama periode pelaporan dan efek lain
yang asumsinya diterbitkan bagi semua efek berpotensi saham biasa yang sifatnya
dilutif yang beredar sepanjang periode pelaporan.
Kesimpulannya Earning Per Share (EPS) menunjukkan
seberapa besar laba yang diterima oleh pemegang saham dari saham yang ia
ditanamkan.
7.
Rasio Aktivitas
Rasio ini
melihat pada beberapa asset kemudian menentukan berapa tingkat aktivitas
aktiva-aktiva tersebut pada tingkat kegiatan tertentu. Aktivitas yang rendah
pada tingkat penjualan tertentu akan mengakibatkan semakin besarnya dana
kelebihan yang tertanam padaaktiva-aktiva tersebut. Dana kelebihan tersebut
akan lebih baik bila ditanamkan pada aktiva lain yang lebih produktif. Beberapa
rasio aktivitas yang digunakan adalah:
a.
Perputaran
Piutang
Rasio ini
mengukur berapa kali, secara rata-rata piutang yang dikumpulkan dalam satu
tahun. Rasio ini mengukur kualitas piutang dan efisiensi perusahaan dalam
pengumpulan piutang dan kebijakan kreditnya. Rasio ini biasanya digunakan dalam
hubungan dengan analisis terhadap modal kerja, karena memberi ukuran seberapa
cepat piutang perusahaan berputar menjadi kas. Angka jumlah hari piutang, menggambarkan
lamanya suat u piutang bisa ditagih (jangka waktu pelunasan). Semakin lama
jangka waktu pelunasannya,semakin besar pula resiko kemungkinan tidak
tertagihnya piutang (Prastowo dan Juliaty, 2003:82). Rasio ini dapat dihitung
dengan rumus:
Rasio ini
mengukur efektivitas peng elolaan piutang. Semakin tinggi tingkat perputarannya
semakin efektif pengelolaan piutangnya (Sutrisno, 2001:252).
b. Perputaran Persediaan
Seperti halnya perputaran piutang, rasio ini
juga menggambarkan likuiditas perusahaan, yaitu dengan cara mengukurefisiensi
perusahaan dalam mengelola dan menjual persediaan yang dimiliki oleh
perusahaan. Perputaran persediaan yang tinggi menandakan semakin tingginya
persediaan berputar dalam satu tahun. Hal ini menandakan efektivitas manajemen
persediaaan. Sebaliknya, jika perputaran persediaan rendah menunjukkan
pengendalian atas persediaan kurang efektif (Hanafi dan Halim, 2000:80). Rumus
perhitungannya adalah:
Rasio ini
mengukur efektivitas pengelolaan persediaan. Semakin tinggi tingkat
perputarannya semakin efektif pengelolaan persediaanya (Sutrisno, 2001:251).
c.
Perputaran
Aktiva Tetap
Rasio ini
mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan penjualan berdasarkan
aktiva tetap yang dimiliki perusahaan. Rasio ini memperlihatkan sejauh mana
efektivitas perusahaan menggunakan aktiva tetapnya. Semakin tinggi rasio ini
berarti semakin efektif proporsi aktiva tetap tersebut. Pada beberapa industri
seperti industri yang mempunyai proporsi aktiva tetap yang tinggi, rasio ini
cukup penting diperhatikan. Sedangkan pada beberapa industri yang lain seperti
industri jasa yang mempunyai proporsi aktiva tetap yang kecil, rasio ini
barangkali tidak begitu penting untuk diperhatikan (Hanafi dan Halim, 2000:81).
Perputaran aktiva tetap dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Rasio ini
mengukur efektivitas penggunaan aktiva tetap dalam mendapatkan penghasilan.
Semakin tinggi tingkat perputarannya semakin efektif penggunaan aktiva tetapnya
(Sutrisno, 2001:253).
d.
Perputaran
Total Aktiva
Rasio yang
terakhir untuk komponen rasio aktivitas adalah rasio perputaran total aktiva.
Sama seperti halnya rasio perputaran aktiva tetap, rasio ini menghitung
efektivitas penggunaan total aktiva. Rasio yang tinggi biasanya menunjukkan
manajemen yang baik, sebaliknya rasio yang rendah harus membuat manajemen
mengevaluasi strategi, pemasarannya, dan pengeluaran investasi atau modalnya
(Hanafi dan Halim, 2000:81). Rasio perputaran total aktiva menggunakan rumus:
Rasio ini
merupakan ukuran efektivitas pemanfaatan aktiva dalam menghasilkan penjualan.
Semakin tinggi tingkat perputarannya semakin efektif perusahaan memanfaatkan aktivanya
(Sutrisno, 2001:253)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar