Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
Berikut adalah
penjelasan secara singkat beberapa kerajaan-kerajaan Islam terkenal yang
berdiri di wilayah Nusantara dan cukup memberi pengaruh dalam sejarah
perkembangan Nusantara hingga datangnya para penjajah dari negara-negara Eropa.
Kerajaan-kerajaan Islam ini menyebar di berbagai pulau yang ada di wilayah
Nusantara.
1.
Kerajaan
Samudra Pasai
Kerajaan
Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Sumatera dan juga pertama
di Nusantara. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Keberadaannya
sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M
sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.
2.
Kerajaan
Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam memulai
pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang dalam masa
keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami
kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat
kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh
Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya,
seperti Kerajaan Indra Purba dan Kerajaan Indra Purwa.[1]
Sultan Ali Mughayat mendirikan Kesultanan Aceh
pada tahun 1496 yang pada mulanya kerajaan ini berdiri atas wilayah kerajaan
lamuri. Pemerintahaan kesultanan Aceh kemudian menundukan dan menyatukan beberapa
wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya
pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh diikuti dengan Aru.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan
pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau
Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang
merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan
penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500
buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas
dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini
gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa
penduduknya ke Aceh.
3.
Kerajaan Demak
Kerajaan Islam Demak merupakan lanjutan
kerajaan Majapahit. Sebelum raja Demak merasa sebagai raja Islam merdeka dan
memberontak pada kekafiran (Majapahit). Tidak diragukan lagi bahwa sudah sejak
abad XIV orang Islam tidak asing lagi di kota kerajaan Majapahit dan di bandar
bubat.[2]
Cerita-cerita jawa yang memberitakan adanya “kunjungan menghadap raja” ke
Keraton Majapahit sebagai kewajiban tiap tahun, juga bagi para vasal yang
beragama Islam, mengandung kebenaran juga. Dengan melakukan “kunjungan
menghadap raja” secara teratur itulah vasal menyatakan kesetiaannya sekaligus
dengan jalan demikian ia tetap menjalin hubungan dengan para pejabat keraton
Majapahit, terutama dengan patih. Waktu raja Demak menjadi raja Islam merdeka
dan menjadi sultan, tidak ada jalan lain baginya.[3]
Bertambahnya bangunan militer di Demak dan
Ibukota lainnya di Jawa pada abad XVI, selain karena keperluan yang sangat
mendesak, disebabkan juga oleh pengaruh tradisi kepahlawanan Islam dan contoh
ynag dilihat di kota-kota Islam di luar negeri.
Peranan penting masjid Demak sebagai pusat
peribadatan kerajaan Islam pertama di Jawa dan kedudukannya di hati orang
beriman pada abad XVI dan sesudahnya. Terdapatnya jemaah yang sangat
berpengaruh dan dapat berhubungan dengan pusat Islam Internasional di luar
negeri.
Bagian-bagian penting peradaban jawa Islam yang
sekarang, seperti wayang orang, wayang topeng, gamelan, tembang macapat dan
pembuatan keris, kelihatannya sejak abad XVII oleh hikayat Jawa dipandang
sebagai hasil penemuan para wali yang hidup sezaman dengan kesultanan Demak.
Kesenian tersebut telah mendapat kedudukan
penting dalam peradaban Jawa sebelum Islam, kemungkinan berhubungan dengan
ibadat. Pada waktu abad XV dan XVI di kebanyakan daerah jawa tata cara kafir
harus diganti dengan upacara keagamaan Islam, seni seperti wayang dan gamelan
itu telah kehilangan sifat sakralnya. Sifatnya lalu menjadi “sekuler”.
Perekembangan sastra Jawa yang pada waktu itu
dikatakan “modern” juga mendapat pengaruh dari proses sekularisasi karya-karya
sastra yang dahulu keramat dan sejarah suci dari zaman kuno. Peradaban
“pesisir” yang berpusat di bandar-bandar pantai utara dan pantai timur Jawa,
mungkin pada mulanya pada abad XV tidak semata-mata bersifat Islam. Tetapi
kejayaannya pada abad XVI dan XVII dengan jelas menunjukkan hubungan dengan
meluasnya agama Islam.[4]
4.
Kerajaan Cirebon
Di
Jawa Barat terdapat perguruan Islam, tepatnya di Krawang dan Gunung Jati
Cirebon. Perguruan Islam di Krawang tersebut dibangun Syek Samsudin/Syekh Kuro
tahun 1418 M. Perguruan Islam dan Gunung Jati Cirebon. Kerajaan ini menjadi
kerajaan Islam pada tahun 1479. Kerajaan ini selanjutnya diserahkan kepada
keponakan Syarif Hidayatullah dengan nama Maulana Mahmud Syarif Abdillah Sultan
Mesir[5].
Kekuasaan sultan Mesir ini mencapai wilayah kerajaan pajajaran, kerajaan Galuh
di Ciamis jawa Barat. Tahun 1568 ia meninggal dan dikuburkan di sebelah barat
Gunung Jati sehingga terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.[6]
5.
Kerajaan Banten
Kerajaan Banten didirikan oleh Fatahillah
(1527). Semula, Banten merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran.
Kemudian, Banten direbut dan diperintah oleh Fatahillah dari Demak. Pada tahun
1552, Fatahillah menyerahkan Banten kepada putranya, Hasanuddin. Fatahillah
sendiri pergi ke Cirebon dan berdakwah di sana sampai wafat (1570). Ia
dimakamkan di desa Gunung Jati. Oleh karena itu, ia disebut Sunan Gunung Jati.
Di bawah pemerintahan Hasanuddin (1552 – 1570), Banten mengalami kemajuan di
bidang perdagangan dan wilayah kekuasaannya meluas sampai ke Lampung dan
Sumatra Selatan. Setelah wafat, Hasanuddin digantikan oleh putranya, Panembahan
Yusuf (1570 –1580). Pada masa pemerintahannya, Pajajaran berhasil ditaklukkan
(1579).
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap oleh
VOC sedangkan Pangeran Purbaya dapat meloloskan diri. Setelah menjadi tawanan
Belanda selama delapan tahun, Sultan Ageng wafat (1692). Adapun Pangeran
Purbaya tertangkap oleh Untung Suropati, utusan Belanda, dan wafat pada tahun
1689.
6.
Kerajaan Mataram
Sebagai
kerajaan Islam, hasil budaya masyarakat Kerajaan Mataram diwarnai oleh agama
Islam. Salah satu hasil budaya Kerajaan Mataram adalah penanggalan (almanak)
Jawa. Almanak Jawa ini merupakan hasil karya dari Sultan Agung. Almanak ini
diberlakukan pada tahun 1633 M, dengan menetapkan bahwa pada tanggal 1 Muharam
1043 H sama dengan tanggal 1 Muharam 1555 tahun Jawa. [7]Jadi
jika disesuaikan dengan penanggalan Masehi, maka tanggal di atas sama dengan
tanggal 8 Juli 1633. Dengan demikian, almanak Jawa adalah perpaduan dari
penanggalan Saka (Hindu) dan penanggalan Hijriyah (Islam). Hasil budaya
masyarakat Mataram Baru yang masih ada sekarang adalah adanya tradisi Sekaten
di Yogyakarta dan Cirebon yang dirayakan pada setiap perayaan Maulid Nabi
Muhammad saw. Peninggalan Keraton di Yogyakarta dan di Surakarta yang sampai
sekarang masih berjalan, yaitu berupa kesultanan lengkap dengan fasilitas
peninggalan zaman Mataram baru.
7.
Kerajaan Islam di Sulawesi
Pada abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa
kerajaan, diantaranya dari suku bangsa Makasar (Gowa dan Tallo) dan Bugis
(Luwu, Bone, Soppeng dan Wajo). 2 kerajaan yang memiliki hubungan baik yaitu
kerajaan Gowa dan Tallo. Ibu kota kerajaannya adalah Gowa yang sekarang menjadi
Makasar.
Kerajaan ini pada abad ke 16 sudah menjadi
daerah islam. Masuk dan berkembangnya Islam di Makasar atas juga datuk
Ribandang (Ulama adat Minangkabau)[8].
Secara resmi kerajaan Gowa Islam berdiri pada tahun 1605 M.
Raja-raja yang terkenal diantaranya :
Raja-raja yang terkenal diantaranya :
Sultan Alaudin (1605-1639 M) raja pertama Islam
di Gowa-Tallo. Kerajaan ini adalah negara maritim yang terkenal dengan
perahu-perahu layarnya dengan jenis Pinisi dan lImbo. Pada masa Sultan Alaudin
berkuasa, Islam mengalami perkembangan pesat yang daerah kekuasaannya hampir mencakup seluruh daerah Sulawesi.
Ia wafat pada tahun 1939 M, setelah menjadi raja selama 34 tahun dan digantikan putranya yang bernama Muhammad Said.
Ia wafat pada tahun 1939 M, setelah menjadi raja selama 34 tahun dan digantikan putranya yang bernama Muhammad Said.
Muhammad Said (1639-1653 M). Raja ini berkuasa
selama 14 tahun.
Sultan hasanuddin (1653-1669 M). Sultan ini sebagai pengganti dari Muhammad Saed. Pada masa Sultan hasanuddin berkuasa, Gowa – Tallo mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sampai ke pulau Selayar, Butung, Sumbawa dan Lombok. Ia berkuasa selama 16 Tahun.
Sultan hasanuddin (1653-1669 M). Sultan ini sebagai pengganti dari Muhammad Saed. Pada masa Sultan hasanuddin berkuasa, Gowa – Tallo mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sampai ke pulau Selayar, Butung, Sumbawa dan Lombok. Ia berkuasa selama 16 Tahun.
Hasil
kebudayaan masyarakat Makasar dipengaruhi oleh lingkungannya yang dikelilingi
lautan. Hasil budaya rakyat Makasar yang paling terkenal adalah perahu
bercadik, yang disebut Korakora. Ciri pertahanan dari kerajaan Makasar adalah
adanya benteng-benteng pertahanan. Sampai sekarang di Makasar masih terdapat
benteng-benteng pertahanan, yaitu benteng Sombaopu dan View Rotterdam. Jadi,
aspek kehidupan budaya rakyat Makassar lebih bersifat agraris dan bahari.
8.
Kerajaan
Ternate dan Tidore
Pengaruh
agama dan budaya Islam di Maluku (Ternate dan Tidore) belum meluas ke seluruh
daerah. Sebabnya, masih banyak rakyat Maluku yang mempertahankan kepercayaan
nenek moyangnya. Hal tersebut terbukti dari bekas peninggalan-peninggalannya,
yakni masjid, buku-buku tentang Islam, makam-makam yang berpolakan Islam yang
ada di Maluku tidak begitu banyak jumlahnya. Dengan kata lain hasil-hasil
kebudayaan rakyat Maluku merupakan campuran antara budaya Islam dan pra Islam.[9]
9.
Kerajaan Islam di Sumatra
Antara abad 7
dan abad 8 masehi Islam masuk ke Indonesia melalui pesisir Sumatra yang
disebarkan oleh para mubaliqh dan saudagar Islam, arab, Mesir, Persia dan
Gujarat. Kehadiran Islam di Pasai mendapatkan tanggapan yang cukup baik. Islam
tidak hanya diterima lapisan masyarakat pedesaan tetapi juga menambah
kemayarakat perkotaan. Kerajaan ini berdiri sekitar abad ke 13 Masehi. Pusat
kerajaan ini terletak di pantai timur Sumatra. Raja-raja yang terkenal
diantaranya : Sultan Malikud Saleh (1285-1297 M), Sultan lMalikud Dohir (1297-1326 M), Sultan Malikud Dohir II
(1326-1348 M), Sultan Zainal Abidin (1348-1406 M).[10]
10.
Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang
berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton,
yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan
Kelurahan Pajang , Kota Solo dan Desa Makamhaji,Karatsura,Sukoharjo.
Pada awalnya berdiri tahun 1549, wilayah
kesultanan pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Karena negeri-negeri
Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggono. Ditahun
1568 Sultan Hadiwijaya dan para Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton
oleh Sunan Prapen. Dalam Kesempatan iu, para adipati sepakat mengakui
kedaulatan Pajang diatas negeri - negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan
politik, Panji Wiryakrama (pemimpin persekutuan adiapti Jawa Timur) dinikahkan
dengan puteri Sultan Hadiwijaya. Negeri kuat lainnya yaitu Madura juga berhasil
ditaklukkan Pajang. Pemimpin bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dawur
juga diambil sebagai menantu Sultan Hadiwijaya. Sedangkan tanah Mataram dan
Pati adalah dua hadiah Sultan Hadiwijaya yang diberikan kepada Ki Penjawi dan
Ki Ageng Pemanahan yang membantu menumpas Arya Panangsang.
Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati
sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun
1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini dilakukan karena Sultan Hadiwijaya
mendengar ramalam Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih
besar daripada Pajang. Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram
dipimpin oleh Danang Sutawijaya putera Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Di
bawah pimpinannya Mataram berkembang dengan pesatnya.
Tahun 1582 meletus perang Pajang dengan
Mataram karena Danang Sutawijaya membela adik iparnya yaitu Tumenggung Mayang
yang dihukum untuk dibuang ke Semarang oleh Sultan Hadiwijaya. Perang
dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang jumlahnya lebih besar.
Sepulang dari perang Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia.
Terjadilah persaingan antara putera dan menantunya, yaitu Pangeran
Benawa dan Arya Panggiri. Selanjutnya Arya Panggiri sebagai raja didukung
oleh Panembahan Kudus berhasil naik tahta tahun 1583. Pemerintahan Arya
Panggiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan
rakyat Pajang terabaikan, hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir
ke Jipang merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Danang Sutawijaya untuk
menyerbu Pajang. Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang pun berakhir
dengan kekalahan Arya Panggiri. Ia dikembalikan kenegeri asalnya yaitu Demak.
Pangeran Benawa kemudian menjadi raja di Pajang yang ketiga. Pemerintahan
Pangeran Benawa berakhir pada tahun 1587. Tidak ada putera mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan negeri bawahan oleh Mataram. Yang
menjadi Bupati adalah Pangeran Gagak Baning, adik Danang Sutawijaya .[11]
11. Kerajaan Malaka
kesultanan Malaka
berdiri pada tahun 1400 silam, yang diasaskan oleh Parameswara. Sebelum
kemunculan Kesultanan Malaka, kerejaan melayu sudah ada masa itu. Kenapa
Parameswara bisa sampai di Semanjung Malaysia sementara beliu asli orang
pelembang?’’ Begini cerita singkatnya.’pada tahun 1400 silam telah terjadi peperang
dahsyat antara kejaraan sriwijaya pelembang dengan kerajaan Majapahit jawa,
perlawan banyak mengorbakan jiwa semua tapak kerajaan sriwijaya nyaris dikuasi
oleh Majapahit, turut terbunuh pada pristiwa itu Raja sriwajaya yang mempunyai
salah seorang Anak bernama Parameswara yang sangat berwibawa dan disegani oleh
penduduk kerajaan sriwijaya itu. Pada waktu itu tiada pilihan lain bagi
parameswara selain pergi, melarikan diri dan meniggalkan tanah kerajaan
sriwijaya untuk menyelamatkan diri dari serangan majapahit yang semakin
menjadi-jadi. akhirnya, parameswara dan pengikutnya memutuskan untuk berhijrah
ke Temasik yang di kenal sekerang dengan singapura. Disinilah parameswara sempat mendirikan takhta
kerajaanya’’ dia sangat berkuasa,sangat berani sampai dirinya digelar dengan
Mjeura. Sehiggalah pada suatu hari tanpa diduga Parameswara membunuh salah
seorang wakil raja siam( Thailand)
bernama Tamagi, yang menyebabkan kedudukan parameswara terancam oleh
serangan balas( Fighting Back) Raja siam ketika itu. Lagi-lagi tidak ada
pilihan lain,Parameswara dan pengikutnya terpaksa mininggalkan singapura untuk
menghindar dari serangan Raja siam, mencari perlindungan yang aman ke pantai
barat semananjung Malaysia tepatnya di muar(johor) disini beliau tidak lama’’ konon
ceritnya tidak tahan dari ganguan biayak yang banyak membuat dia pindah ke
Sinig Ujong kemudian beliau menuju sugai bertam merupakan tepi pantai dan pada
akhirnya sampai di pulau malaka pada tahun 1400 M. disinilah permulan serajah
kesultana Melaka, walaupun sebelumnya malaka telah diduduki oleh perkampunga
kecil serta para nelayan tapi tidak memberikan pengaruh yang besara terhadap
Malaka.[12]
[1] Taufik
Abdullah, Islam dan Masyarakat ( Jakarta: LP3ES
cet.2 1996 hal 159)
[2] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal 64)
[3] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 120)
[4] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 65)
[6] Prof.
Hj Ahmad M Sewang M.a dan Drs, Wahyuddin
G. M.ag Sejarah Islam di Indonesia (Makassar : Alauddin Press 2010 hal. 60)
[7] Azyumardi Azra, Jaringan
Global dan Lokal Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan 2002 cet.1 hal 69)
[8] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal 93)
[9] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal 117)
[10] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal 29)
[11] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal 67)
[12] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar