A.
Pengertian Ilmu Fiqih
Ilmu fiqih
adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah
mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari
dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqih adalah fiqih. Sedangkan
kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam
ilmu Ushul Fiqih.
Sebagaimana Firman
Allah dalam QS At Taubah [9] : 123; Maka apakah tidak lebih baik dari
tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber tafaqquh (memahami
fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka
kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan
larangan Allah).
Hadits Nabi : Barangsiapa
dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan
kepadanya ke-faqih-an (memahami fiqih) dalam urusan agama. (HR.
Bukhari-Muslim).
B.
Perkembangan Ilmu Fiqih
1.
Masa Rosulullah SAW Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang
makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah
serta semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang
menjadi hukum dan diikuti oleh umatnya. Dalam masa Nabi wahyu Al-Quran masih
terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun kadang-kadang merupakan jawaban
atau solusi masalah yang sedang terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.
Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat
politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan
para sahabat, terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para
sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri. Pada peristiwa
perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di
suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang sahabat
yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi didepan sumber
mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan dilaksanakan oleh Nabi. Beberapa
penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh
buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk
sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah tersebut.
Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi
mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma, seraya bersabda Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.
Pada waktu perang Khaibar para sahabat
menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi bertanya : Apa yang
sedang kalian masak dalam periuk itu ? Sahabat menjawab : Daging keledai jinak.
Nabi kemudian berkata : Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya. Salah
seorang sahabat berdiri dan berkata : Bagaimana kalau kami membuang isinya dan
kami mencuci periuknya ? Nabi menjawab : Seperti itupun boleh. Jadi dalam
hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi
tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan. Para
sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan ijtihad pribadi maka tindakan
mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi memberitahukan
yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad para sahabatnya.
Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu
masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah tersebut maka
Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut :
Dalam
perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) Amr bin Ash mengalami mimpi
junub. Akan tetapi Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin,
kemudian ia hanya bertayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad Amr bin
Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada Amr bin Ash :
(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan
junub ? maka Amr bin Ash menjawab : Aku mendengar Allah berfirman : Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada
dirimu. (QS An-Nisa : 29) Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan
tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang
menunjukkan persetujuannya.
Dalam
suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan
junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara
waktu shalat telah tiba. Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan
debu, maka Ammar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab
tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih
untuk menunda shalat. Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan,
Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang
benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke
tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan
darurat.
Bani
Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian
persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang
musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan
pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum
pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun
selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi
bersabda : Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraidhah. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi
tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan
bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi
diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar
tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani
Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.
Jadi
pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya
yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada
ditengah-tengah para sahabat.
2. Masa Khulafaur
Rasyidin Khalifah Abu
Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka
beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada
yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang
menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya
berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu
Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para
sahabat. Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada
masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi
semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat pada
masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma yang mutlak dapat dijadikan
hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian
sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan
mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin.
Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama
sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar
menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabiin dan tabiit-tabiin. Pada
masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat
pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai
terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang
Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan
dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan
Hadits Nabi : Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan
Umar. (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim) Maka bahwasanya siapa yang hidup
(lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak.
Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi
hidayah. (HR. Abu Dawud). Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para
fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa
hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi
disebut hadits mauquf. Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik.
Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Quran dan diridhoi oleh Nabi
dalam beberapa hadits. Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 : Orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.
Hadits Nabi : Saya adalah kepercayaan
sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku. Para
Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka
mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Quran (asbabun nuzul), mengetahui
latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih
bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka
pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar
selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah
:
a.
Abdullah
Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
b.
Abdullah
Ibnu Masud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
c.
Abdullah
Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
d.
Abdullah
bin Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
e.
Muadz
bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
f.
Zaid
bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
g.
Aisyah,
Ummul Mukminin
h.
Abu
Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
i.
Abu
Darda, mengembangkan perguruannya di Basrah.
j.
Abu
Musa Al-Asyari, mengembangkan perguruannya di Basrah.
k.
Ubay
bin Kaab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.
Karakteristik
Ijtihad masa Sahabat :
a.
Dengan
musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para
fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.
b.
Patuh
dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
c.
Tidak
berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi. Atsar dari Masruq yang bertanya
kepada Ubay bin Kaab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Kaab menjawab : Apakah
hal itu telah terjadi ? Aku menjawab : Belum. Ia mengatakan : Kita tangguhkan
(tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan
berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami.
d.
Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang
laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : Apa yang
engkau perbuat ? Orang itu menjawab : Aku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid.
Umar berkata : Kalau aku, tentu aku akan menghukumi demikian. Lelaki itu
berkata : Apa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada padamu ? Umar
menjawab : Kalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku
lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada rayu (ijtihad akal), sedangkan rayu
itu musytarak (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang
benar menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan
Zaid.
e.
Menjauhi
pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk
orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.
3. Masa Tabiin Para tabiin adalah murid-murid langsung dari
para sahabat Nabi. Pada masa tabiin mereka melakukan dua peranan penting, yaitu
mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat serta berijtihad untuk
masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat. Para tabiin di
tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru
mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi. Berikut ini merupakan Mufti
fan Fuqaha dari beberapa daerah sekitar arab:
a.
Mufti
dan Fuqaha di Madinah, misalnya; Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar dan Ubaidillah bin Abdullah
b.
Mufti
dan Fuqaha di Mekkah, misalnya;Atha bin Abi Rabah, Thawus bin Kisan, Mujahid
bin Jabar, Ubaid bin Umar, Amru bin Dinar dan Ikrimah maula Ibnu Abbas
c.
Mufti
dan Fuqaha di Basrah, misalnya: Amru bin Salamah, Abu Maryam al-Hanafy, Kaab
bin Sud, Hasan Al Basri, Muhammad bin Sirin dan Muslim bin Yasar
d.
Mufti
dan Fuqaha di Kufah misalnya; Alqamah bin Qais An-Nakhaiy, Masruq bin Al Ajda;
Al Hamdany, Syuraih al Qadhy, Abdullah bin Utbah bin Masud al-Qadly dan Rabi
bin Khutsam.
e.
Mufti
dan Fuqaha di Mesir, misalnya; Yazid bin Abi Habib, Bakir bin Abdillah dan Amru
bin Al-Harits
f.
Mufti
dan Fuqaha di Yaman, seperti; Mutharrif bin Mazin al-Qadly, Abdul Raziq bin Hamman,
Hisyam bin Yusuf, Muhammad bin Tsur dan Samak bin Al-Fadhl
g.
Mufti
dan Fuqaha di Baghdad, misalnya; Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dan Abu Tsur
Ibrahim bin Khalid al Kalby
h.
Mufti
dan Fuqaha di Andalusia, misalnya: Yahya bin Yahya, Abdul Malik bin Habib, Baqi
bin Makhlad, Qasim bin Muhammad dan Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly Mufti dan
Fuqaha di Mekkah :
i.
Di
mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Said bin Salim Al-Qadah, Abdullah
bin Zubair al Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafii.
j.
Mufti
dan Fuqaha di Madinah : Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin
Anas.
k.
Mufti
dan Fuqaha di Basrah : Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi Arubah,
Hammad bin Salamah, Mamar bin Rasyid.
l.
Mufti
dan Fuqaha di Kufah : Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly,
Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah
m.
Mufti
dan Fuqaha di Baghdad : Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.
n.
Mufti
dan Fuqaha di Syam Yahya bin Hamzah Al Qadly, Amru Abdurrahman bin Amru Al
Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
o.
Mufti
dan Fuqaha di Mesir : Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad
bin Idris Asy Syafii.
Fuqaha Tujuh
(Fuqaha al-sabah) Mereka adalah
para tabiin yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :
1.
Said
bin Al-Musayyab (15 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits,
paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az
Zuhry.
2.
Urwah
bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
3.
Abu
Bakar bin Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
4.
Al-Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
5.
Ubaidillah
bin Utbah bin Abdullah bin Masud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
6.
Sulaiman
bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
7.
Kharijah
bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).
4. Masa Tabit
Tabiin dan Imam Mazhab.
a.
Imam Abu Hanifah (80-150 H) Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Numan
bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani
Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia
beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau
banyak menulis dan memberi fatwa. Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang
pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu
dengan Syabi yang melihat bakat kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar
banyak menemui ulama mempelajari agama. Nasehat Syabi berkesan di hati Abu
Hanifah, kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam
Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Atha bin Abi Rabah, Abu Ishaq As SyubaI,
Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar, Nafi Maula
Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb. Beliau mempelajari
Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari qiraat dari Imam Ashim (salah satu
qurra tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal Al-Quran), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan
Al-Quran 60 kali.
Imam
Syafii berkata : Semua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah, Imam Abu
Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya. Imam Malik berkata :
Subhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti dia, andaikan dia
mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan dapat
membuktikannya melalui Qiyasnya. Mengenai metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah
pernah berkata : Saya mengambil Kitabullah (Al-Quran) jika saya mendapatkannya.
Hal yang tidak saya jumpai dalam Al-Quran akan saya ambil dari Sunnayh
Rasulullah SAW, dari riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang
kepercayaan. Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Quran dan Sunnah, saya
akan mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain.
Setelah itu saya tidak akan keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah sampai
kepada Ibrahim, Syabi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya, maka saya
ber-ijtihad sebagaimana mereka juga ber-ijtihad.
Fudail
bin Iyadh mengatakan : Jika ada masalah didasarkan pada hadits yang shahih
sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari
sahabat dan tabiin. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan cara yang
sangat baik. Al-Dabussi dalam kitab Tasis al-Nazhar menyebutkan : Abu Hanifah
suka pada kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan
murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya. Imam Abu
Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar
permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqaiq), memahami isi dan
misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan
hukum-hukum.
Imam
Abu Hanifah berkata : Perumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan ia
tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat, sementara
ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya dokter
datang.demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak mengenal wajah
haditsnya, sehingga hadirnya fiqih. Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan
kokoh dalam pendirian. Beliau pernah mengalami dua kali masa ujian. Pertama
pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah),
Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun
pengangkatan itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul
sampai empat belas kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung
pemerintahan Bani Umayyah. Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Jafar
Al Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah
menolak diangkat menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan
disiksa dalam penjara. Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin
yang dituduh berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam
Abu Hanifah meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan
dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafii.
Metode
Ijtihad Imam Abu Hanifah : Al-Quran, Hadits dari riwayat kepercayaan, Ijma, Fatwa
Shabat, Qiyas, Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih
kuat) dan Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan
manusia) Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar
kodifikasi ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan
dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih
mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi rayu (Qiyas) lebih
banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
1.
Tentang
Masailul Ushul :
a.
Al-Mabshuth,
karya : Muhammad bin Al Hasan.
b.
Al-Jamius
Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan
c.
Al-Jamiul
Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
d.
As-Sairus
Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
e.
AS-Sairus
Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
f.
Az-Zidayat,
karya : Muhammad bin Al Hasan.
g.
Al-Kafi,
karya : Abdul Fadha Hammad bin Ahmad.
h.
Al-Mabshuth,
karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
2.
Tentang
Masailul Nawadhir :
a.
Dhahirur
Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan.
b.
Haruniyat,
karya : Muhammad bin Al Hasan.
c.
Jurjaniyat,
karya : Muhammad bin Al Hasan.
d.
Kisaniyat,
karya : Muhammad bin Al Hasan.
e.
Al-Mujarrad,
karya : Hasan bin Ziad.
3.
Tentang
Fatwa wal Waqiat : An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
4.
Tentang
Akidah dan Ilmu Kalam : Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi Al Hakam.
b.
Imam Malik bin Anas (93-179 H) Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin
Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H.
Sejak muda beliau sudah hafal Al-Quran dan sudah nampak minatnya dalam ilmu
agama. Imam Malik belajar hadits kepada Rabiah, Abdurrahman bin Hurmuz,
Az-Zuhry, Nafi Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab,
Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah,
Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi bin Abu Numan.
Ibnu
Al-Kasim berkata : Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa,
sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di
jual kepasar. Imam malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi.
Imam Malik tidak mau mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga
tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota
yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu
Abdu Al-Hakam mengatakan : Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan
gurunya Yahya bin Saad, Rabiah dan Nafi, meskipun usianya baru berusia 17
tahun. Beliau dikenal jujur dalam periwayatannya.
Abu
Dawud mengatakan : Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh
Malik dari Nafi dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az
Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya adalah hadits dari Malik dari Abu
Zanad dari Araj dari Abu Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih dari pada
hadits mursal Said bin Al Musayyab atau Hasan Al Basri.
Sufyan
mengatakan : Jika Malik sudah mengatakan balaghny telah sampai kepadaku,
niscaya isnad hadits tersebut kuat.
Imam
Syafii mengatakan : Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka
ambillah hadits itu dan percayalah. Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati
dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : Kami
pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau
lalu berkata : Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para
kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan
kepada engkau. Imam Malik berkata : Bertanyalah. Orang tadi lalu menyampaikan
pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : aku tidak memandangnya
baik. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas
memfatwakan hukumnya, Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang
menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ? Imam
Malik berkata : Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak
menganggapnya baik. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi
haram bila tidak ada dalil nash yang tegas mengharamkannya.
Imam
Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan
fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan :
Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits. Beliau mengarang
kitab hadits Al-Muwatta, merupakan kitab hadits tertua yang sampai kepada kita.
Pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Jafar Al Manshur beliau pernah memberi fatwa
bahwa akad orang yang dipaksa itu tidak syah. Fatwa ini tidak disukai oleh
pemerintah karena bisa membawa konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa
karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu dianggap membahayakan kekuasaan
Bani Abbas. Gubernur Madinah, Jafar bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik
mencabut fatwanya, namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya
sampai 80 kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya diatas kuda
keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar, justru makin
melambung dan harum dimata umat.
Pada
masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar
datang ke Baghdad dan mengajarkan Al Muwatta untuk keluarga istana, maka Imam
Malik berkata , Ilmu itu didatangi bukan sebaliknya. Akhirnya Khalifah Harun Al
Rasyid bersama dua anaknya Al Mamun dan Al Amin datang ke Madinah untuk belajar
kitab Al Muwatta. Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : Aku akan menggiring
manusia kepada kitab Al Muwatta sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf
Al-Quran. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu
tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke
berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian
Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syadaid
Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas
Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh
Abdullah Ibnu Masud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Masud).
Metode
Ijtihad Imam Malik bin Anas didasarkan pada; Al-Quran, Hadits (termasuk hadits
dhaif yang diamalkan penduduk Madinah), Ijma, Atsar yang diamalkan penduduk
Madinah, Qiyas, Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan
mencari maslahat) dan Perkataan Sahabat.
Bila
dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili
aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit
menggunakan porsi dengan rayu (Qiyas).
Kitab
Kitab Mazhab Maliki terdiri atas; Kitab Hadits, Al Muwatta. Syadaid Abdullah
bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas
Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh
Abdullah Ibnu Masud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Masud).
c.
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafii (150-204 H) Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu
dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf, kakek generasi keempat diatas
Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan,
perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya
Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan
oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin). Beliau dikenal sebagai murid yang sangat
cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-Quran. Kemudian beliau
pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail
yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim
bin Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam
Syafii kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah).
Pada usia 10 tahun Imam SyafiI sudah hafal kitab Al-Muwatta karya imam Malik.
Pada usia 13 tahun bacaan Al-Quran imam Syafii yang sangat merdu mampu membuat
pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh
gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika
berumur 20 tahun Imam Syafii ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas,
pengarang kitab Al Muwatta di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan
didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk
gubernur Madinah meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafii dalam belajar
kepada Imam Malik di Madinah. Dengan
diantar gubernur Madinah, Imam Syafii mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula
Imam Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan menuntut
ilmu. Tapi setelah pemuda Syafii bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat
untuk belajar, apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda Syafii telah hafal
Al-Quran dan hafal kitab Al Muwatta karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum
dan akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam
Syafii kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik.
Imam Syafii juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta
kepada jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafii tinggal
bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafii ingin pergi ke Irak,
untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu Hanifah.
Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar. Sesampai
di Irak, imam Syafii menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu
Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi
yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun
berdiam di Irak, Imam Syafii meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia,
Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang dikunjungi Imam Syafii
mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari
mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun
di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam
Syafii kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik
bin Anas. Kemudian Imam Syafii selama empat tahun lebih tinggal di rumah Imam
Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik pada
tahun 179 H.
Sepeninggal
Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang
membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang
wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah
wafat dan mengetahui tentang salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu
Imam Syafii. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafii ikut ke Yaman untuk menjadi
sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah
binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang
putri. Di Yaman Imam Syafii juga masih terus belajar, terutama kepada Imam
Yahya bin Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada
saat itu sedang marak dipelajari. Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu
pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan
Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh
orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafii ditangkap dan dibawa ke
Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid. Setelah diinterogasi
dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala
tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah
bebas dibebaskan, Imam Syafii sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan
menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad
ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.
Pada
sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir.
Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafii ikut ke Mesir untuk
dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam SyafiI tinggal di
Mesir bersama sang Gubernur. Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Saad mufti
Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui
murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid
(pendapat baru) nya. Imam Syafii terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan
fatwa-fatwa di Masjid Amr bin Ash sampai wafatnya.
Metode
Ijtihad Imam Syafii : didasarkan atas; Al-Quran, Hadis, Ijma, Qiyas dan Istidlal.
Imam Syafii adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang
mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau
menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Quran dan Hadist,
menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan men
tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling bertentangan, menerangkan
kehujahan Ijma, qiyas dsb. Imam Syafii Juga melakukan penilaian terhadap metode
ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk
Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab
mazhab Syafii meliputi;
1.
Ar
Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2.
Al
Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3.
Jamiul
Ilmi.
4.
Ibthalul-Istihsan,
berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5.
Ar-Raddu
ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap
pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6.
Siyarul
Auzay, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auzay.
7.
Mukhtaliful
Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling
bertentangan.
8.
Musnad
Imam Syafii, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam
Syafii.
d.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya
meninggal ketika beliau masih anak-anak dan kemudian dibesarkan dan diasuh oleh
ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas
dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak
berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut. Ketika berumur 16
tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama berburu
hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai
gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai
bidang ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafii. Imam Hanbali dikenal sangat gemar dan
bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah, wara dan zuhud. Imam
Abu Zurah mengatakan : Imam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu
juta) hadits. Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan :
Ayahku telah menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau
mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar kepala.
Ketika
pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Mamun, saat itu kaum Mutazilah berhasil
mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan mempropagandakan
pendapat bahwa Al-Quran adalah mahkluk. Kaum Mutazilah yang didukung penuh oleh
Khalifah Al-Mamun memaksakan pendapat itu kepada seluruh rakyat. Para Ulama
yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama
tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang
tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk hanyalah Imam
Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh.
Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Mamun meninggal
secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad
bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.Sepeninggal Al Mamun, dua orang Khalifah
penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan
mendukung kaum Mutazilah dan progandanya bahwa Al-Quran adalah makhluk. Selama
itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa
Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Quran adalah makhluk dihentikan sama
sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama Mutazilah yang
dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan Al-Quran.
Khalifah
Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran-ajaran
Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Metode
Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :Al-Quran, Hadits, Ijma Sahabat, Fatwa Sahabat, Atsar
Tabiin, Hadits Mursal / Dhaif dan Qiyas. Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal
lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan rayu
(ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah
furuiyah daripada menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab
mazhab Hanbali :
1.
Tafsir
Al-Quran.
2.
Musnad
Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
3.
Kitab
Nasikh wal Mansukh.
4.
AL
Muqaddam wal Muakhkhar fil Quran.
5.
Jawabatul
Quran.
6.
Kitab
At Tarikh.
7.
Al
Manasikul Kabir.
8.
Al
Manasikus Saghir.
9.
Thaatur
Rasul.
10. Al-Illah.
11. Kitab Zuhud.
12. Kitab Ash Shalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar