Kamis, 09 Februari 2017

Etika Ekonomi Islam Dalam Bidang Konsumsi



A.                 Pengertian Produksi
Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Pendefinisian produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Berikut pengertian produksi menurut para ekonomi muslim kontemporer.
1.      Karf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.      Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi produksi secaraa merata)
3.      Al Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
Dalam definisi-definisi tersebut diatas terlihat sekali bahwa kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi islam padaa akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, meskipun definisi-definisi tersebut berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang sejalan dengan moral islam, harus menjadi fokus atau target dari kegiataan produksi. Produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia. Produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya
B.                  Faktor Produksi
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan. Dengan kata lain, faktor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam : Faktor produksi tenaga kerja, Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong. Di antara ketiga factor produksi, faktor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan antara faktor-faktor yang terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan larangan bunga(riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.
Kegagalan ini disebabkan oleh adanya prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering. Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
C.                 Prinsip-Prinsip Produksi Dalam Ekonomi Islam
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim  dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan), demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah  tersebut. Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi,yaitu sebagai berikut:  
1.      Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya karena sifat Rahman dan Rahiim-Nya bkepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
2.      Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf  Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-qur’an dan Hadis.
3.      Teknik produksi diserahklan kepada keingunan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda:”kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
4.      Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama sealin Islam. Seseungguhnyan Islam mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. Sebagi pemilik hak prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan dipenuhi dengan optimal.
D.                 Kaidah-kaidah Berproduksi
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
1.      Memproduksikan barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2.      Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam.
3.      Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta  mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk   kemakmuran  material.
4.      Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemanirian umat. Untuk itu hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. Juga terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban, di mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh memandang bahwa pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia biasa melaksanakan urusan agama dan dunianya.
5.      Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniahnya, kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual, kreatifitasnya, serta fisik mencakup kekuatan fisik,kesehatan, efisiensi, dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas rohiah individu mewarnai kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga  membina kekuatan rohaniah menjadi unsur penting dalam produksi Islami.
E.                  Produksi Dalam Pandangan Islam
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam. Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13). Rabb, yang seringkali diterjemahkan “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain “pemelihara (al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ani bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunatullah).
Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. Orang bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk urusab dunia, tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan di akhirat. Islam pun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi seperti pola pikir ekonomi konvensional tadi. Hanya bedanya, lebih jauh Islam juga menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu, Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan. Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah dimuka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam QS. Al-An’am(6) ayat 165 Allah berfirman: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.
Pernyataan senada juga terdapat pada QS. Yunus (10) ayat 14: “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) dimuka bumi sesudah mereka, supaya kami memerhatikan bagiaman kamu berbuat.” Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan peranan sangat penting dalam Islam. Sangatlah sulit untuk membayangkan seseorang yang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis pekerjaanya, dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah yang membawa rahmatan lil alamin inilah, seseorang produsen tentu tidak akan mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran.
Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk di konsumsi sendiri atau di jual ke pasar. Dua motivasi itu belum cukup, karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam QS. Al-Hadid(57) ayat 7: “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian harta kita melekat hak orang miskin, baik yang meminta maupun tidak meminta.(QS.51:19 dan QS.70:25). Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsutif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumberdaya insani ke arah pencapaian kondisi full employment, dimana setiap orang bekerja dan menghasilkan karya kecuali mereka yang “udzur syar’i” seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proposional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksikan sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain. Pada prinsipnya, Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi Islam., produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.
Sebagai dasar modal berproduksi, Allah telah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 22: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-kutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
F.                  Nilai-nilai Islam dalam berproduksi
Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami. Metwally mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non muslim  tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya. Nilai-nilai islam yng relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalm ekonomi islam, yaitu: khilafah, adil, dan takaful.secara lebih rinci nilai-nilai islam dalam produksi meliputi:
1.      Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan akhirat;
2.      Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3.      Memenuhi takran, ketepatan, kelugasan dan kebenaran;
4.      Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5.      Memuliakan prestasi/produktifitas;
6.      Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7.      Menghormati hak milik individu;
8.      Mengikuti syarta sah dan rukun akad/transaksi;
9.      Adil dalam bertransaksi;
10.  Memiliki wawasan social;
11.  Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12.  Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalm islam.
Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diproleh oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan member kontribusi bagi tercapinya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga diakhirat.
Kepustakaan
Qardhawi,Yusuf. 2004. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Robbani Press. Jakarta.
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-perinsip Ekonomi Islam,Erlangga, Jakarta.
Madnasir, Khoiruddin. 2012. Etika bisnis dalam Islam, Permata printing solution. Bandar Lampung
Nasution, Mustafa Edwin. 2007. Ekonomi Islam.  Kencana. Jakarta.
Qardhawi, Yusuf (2006), Norma dan Etika Ekonomi Islam. Gema Insani. Depok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...