A.
Ijtihad
Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan
untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syara dari sumbernya (Al-Quran dan
Hadits).
1. Aliran Hadits /
Atsar Para ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang
dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber ijtihad lebih banyak bersandar
kepada hadits dan atsar sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan
rayu (qiyas) dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
a.
Penduduk
Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak
tinggal di Hijaz, seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa
dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al
Kudry, dll.
b.
Negeri
Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak
mengalami dinamika perubahan sosial.
c.
Banyaknya
Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang
lebih statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz
lebih mencukupkan diri dengan memegangi teks-literalis nash.
d.
Mengikuti
guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan
atsar dan sangat hati-hati dalam menggunakan rayu (qiyas).
2.
Aliran Rayu Setelah
terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang
menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin. Setelah peristiwa tahkim muncul
kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu terus berlanjut sampai
terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu Bani Umayyah menguasai
pemerintahan dengan cara paksa. Kelompok Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu
sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai
timbul hadits-hadits palsu yang dibuat untuk memperkuat kelompoknya
masing-masing. Kelompok Syiah Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling
banyak membuat Hadits palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para
ulama Kufah sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh
Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan rayu (qiyas) dengan porsi yang
lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal
sebagai berikut :
a.
Para
Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz,
sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang
diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Masud, Saad
bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asyari,
Mughirah bin Subah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
b.
Di
Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah,
sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
c.
Kufah
adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia
yang sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan
cara berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat
pergerakan kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan
sosial yang lebih tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan
teks hadits yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
d.
Menurut
Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan
umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan
mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti
alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung
didalamnya (qarinah dan maqashid syariah), serta menjadikan hukum itu sejalan
dengan himah yang didapat. Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad
karena dianggap bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka
mendapatkan hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen syariatannya.
e.
Ulama
Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Masud
yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis
memperhatikan qarinah, maqashid syariah dan pertimbangan kemaslahatan.
Gambaran
perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits : Pada suatu hari Rabiah
(ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli hadits) tentang diyat
(denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabiah :Berapa diyat terhadap sebuah anak jari
orang perempuan ?
Said Al Musayyab: 10 ekor onta.
Rabiah : Jika dua anak jari ?
Said Al Musayyab : 20 ekor onta
Rabiah : Jika tiga anak jari ?
Said Al Musayyab :30 ekor onta.
Rabiah : Jika empat anak jari ?
Said Al Musayyab : 20 ekor onta
Rabiah : Apakah makin banyak jari yang
terpotong, semakin besar diyatnya ?
Said Al Musayyab : Apakah anda bermazhab ulama
Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkan.
Demikianlah
ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli rayu tidak
begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui illlat-illat hukumnya
atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana diyat empat anak jari malah turun
menjadi 20 ekor, padahal diyat satu anak jari sampai tigak anak jari naik terus
dari 10 sampai 30 ekor.
Pada
suatu hari Al Auzai bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auzai
bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auzai : Mengapa tuan tidak mengangkat tangan
ketika ruku dan Itidal ?
Abu Hanifah : Karena tidak ada hadits yang
shahih dari Rasul.
Al Auzai : Az Zuhri telah meriwayatkan kepada
saya dari Salim, dari ayahnya Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW,
bahwasanya Nabi ada mengangkat tangan saat memulai shalat, saat ruku dan ketika
Itidal.
Abu Hanifah : Telah diriwayatkan kepada kami
oleh Hammad bin Sulaiman dari Alqamah dari Al Aswad dari Ibnu Masud bahwa
Rasulullah tidak mengangkat tangan selain dari saat memulai shalat saja.
Al Auzai : Saya kemukakan penilaian tentang Az
Zuhri dan anda kemukakan penilaian tentang Hammad.
Abu Hanifah : Hammad lebih pandai dalam urusan
fiqih daripada Az Zuhri. Ibrahim lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang
derajadnya daripada Abdullah, walaupun seorang Shahabi. Mendengar
jawaban itu, Al Auzai pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu hanifah
sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada
ketinggian sanad. Demikianlah beberapa contoh perbedaan paham antara
ahli hadits dan ahli rayu.
3.
Aliran zahiri Dipelopori oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri
(202-268 H), yang hanya memegangi makna zhahir (tekstualis-literalis) nash
Al-Quran dan Hadits tanpa mau memegangi makna lainnya. Kalau digambarkan secara
kualitatif metode para imam mazhab dalam menggunakan metode istinbath Hadist-tekstualis
dan Qiyas-rasionalis kurang lebih seperti dibawah ini : Hadits Qiyas, Tekstualis
Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali Maliki Syafii - Hanafi Rasionalis
B.
Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu
Hadits disitu ada beberapa ulasan tentang Al-Quran dan Hadits yang diantaranya
menjadi sumber perbedaan pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber
perbedaan pendapat didalam Fiqih :
1.
Perbedaan
memahami Al-Quran
a.
Adanya
ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
b.
Adanya
ayat-ayat yang masih mujmal (global).
c.
Adanya
ayat-ayat yang Am (umum)
d.
Adanya
perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
e.
Adanya
perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
f.
Adanya
perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
g.
Perbedaan
pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2.
Perbedaan
Memahami Hadits
a.
Perbedaan
penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
b.
Perbedaan
penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
c.
Perbedaan
sampainya hadits kepada para Mujtahid.
d.
Perbedaan
penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
e.
Perbedaan
penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
f.
Perbedaan
perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat
syariah
3.
Perbedaan
Metode Ijtihad.
a.
Imam
Abu Hanifah :
1.
Berpegang
pada dalalatul Qur’an
a.
Menolak
mafhum mukhalafah
b.
Lafz
umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan
c.
Qiraat
Syazzah (bacaan Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
2.
Berpegang
pada hadis Nabi
a.
Hanya
menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan
oleh ahli fiqh)
b.
Tidak
hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
3.
Berpegang
pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
4.
Berpegang
pada Qiyas
a.
mendahulukan
Qiyas dari hadis ahad
b.
Berpegang
pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
b. Imam Malik
1.
Nash
(Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
a.
zhahir
Nash
b.
menerima
mafhum mukhalafah
2.
Berpegang
pada amal perbuatan penduduk Madinah
3.
Berpegang
pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis
ahad)
4.
Qaul
shahabi
5.
Qiyas
6.
Istihsan
7.
Mashlahah
al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan
intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan
pengakuannya).
c.
Imam
Syafii
1.
Al
Qur’an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an dan Sunnah secara
sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah
satu alasan yang membuat Syafi’i digelari “Nashirus Sunnah”. Konsekuensinya,
menurut Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks
Al-Qur’an dalam kasus tertentu)
2.
Ijma’
3.
hadis
ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)
4.
Qiyas
(berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada
Qiyas)
5.
Beliau
tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai
dasar ijtihadnya
d.
Imam
Ahmad bin Hanbal
1.
An-Nushush
(yaitu Qur’an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak
menaruh Hadis dibawah al-Qur’an) menolak
ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i) menolak
Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
2.
Berpegang
pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
3.
Ijma’
4.
Hadis
dhaif
5.
Qiyas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar