A.
Ushul Fiqh Masa Rasulullah
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir
terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan
hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak
mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana
yang lebih dahulu: ayam atau telor. Musthafa Said al-Khin memberikan
argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh
merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena
itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh[1] Kesimpulannya,
tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh. Jawaban demikian benar apabila
ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah
bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap
persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari
Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia
sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau
bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa
dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe
(bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut
sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu
telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat
berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad
tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan
rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari. Contoh ijtihad yang
dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian
tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya
lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka
menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat
sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan
kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau
telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan
mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”[2]
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad
dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai
dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian,
ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah
membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut. Tidak hanya prototipe
ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut
menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah.
Suatu saat seorang perempuan datang kepada
Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan
hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ“ Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”[3]
Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ“ Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”[3]
Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan
penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku,
melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya
seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau
XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar
berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi,
kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa
Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu
berbahasa.
B.
Ushul Fiqh Di Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi
dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak
lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan
tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu
(nalar).
Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber
tersebut tampak dalam riwayat berikut:
عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.
Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”[4]
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[5]
عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.
Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”[4]
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[5]
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara
baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.[6] Pertama,
khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari
kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh
para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut
biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan
sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui
oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya
sebagai ijma yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal
(ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari
pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang
belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan
kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya
disamakan. Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar
bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan
pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan
maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf,
pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga,
tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak
tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam
memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat
tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah
228..
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘” Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[7] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[8] Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
C. Ushul Fiqh Di Masa Tabi’in
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘” Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[7] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[8] Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
C. Ushul Fiqh Di Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka
bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para
sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti
Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin
Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru
bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam
dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun
memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang
kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari
kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab
(mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah
non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah),
Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan
al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.[9]
Kecenderungan berpikir sahabat turut
mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud,
misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak
mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl
al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah,
metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat.
Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting yakni
Pemalsuan hadits dan Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok
Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan
metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum
(fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya
para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya
melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki
beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
D. Ushul Fiqh Di Masa Imam Madzhab
D. Ushul Fiqh Di Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum
Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul
fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum
tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan
kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad
ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil
hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih
dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
1.
Alquran
2.
Hadits
3.
ijma’
ummat
4.
ijma’
orang Madinah
5.
qiyas,
6.
pendapat
sahabat
7.
maslahah
mursalah
8.
istishab
9.
bara’ah
ashliyah
10. adat/‘urf
11. istiqra’ (induksi)
12. sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13. istidlal
14. Istihsan
15. mengambil yang lebih mudah
16. ishmah
17. ijma’
orang Kufah
18. Ijma’
sepuluh orang
19. dan ijma
khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[10]
Perdebatan
mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas,
maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya. Imam Malik dan orang-orang
Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits
Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang
tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli
Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan
orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan
mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh
banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang
selama sepuluh tahun hidup di Madinah. Oleh karena itu, Imam Malik pernah
berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak
Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran
tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits,
meskipun hadits itu ahad.
Orang Iraq,
khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas,
meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum
Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain
dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq
juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi
orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai
dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak
meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal
Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti
keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama
istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits,
yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits
yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan
sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai
hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga
dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadits.
Penolakan
terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang
kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan
sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa
dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat
tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya.
Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits
membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan
kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan
menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang
sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan
munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran
tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman,
tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang
frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan
hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut
Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada
abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap
munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras
membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar
al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm. Imam Syafii kemudian mengajukan
sistematika dalil hukum yang utama yaitu:
1.
Alquran
2. Sunnah
3. Ijma’
4.
Qiyas
Melalui
sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber
pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia
menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul
yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran dibandingkan
hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i. Imam
Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas
para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan
kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau menegaskan
bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah
orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan
qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar
qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab
qiyas nanti.
Karya Imam
Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab
tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang
mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu
ushul fiqh.[11]. Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i
sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua
muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani
adalah peletak ilmu ushul fiqh.[12] Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i
pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan
Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis
ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong.
Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya.
Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya
saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa
menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Setelah
lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi
dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid
Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud
al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna
universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.
E. Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
E. Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
Puncak
perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa
tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi
rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting
ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:
1.
Kitab
al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili
(w. 436H 1044M)
3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w.
458H/1065M)
4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu
Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i
(w. 467H /1083 M)
6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w.
478H /1085M)
7.
Kitab
Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).
Imam Abu Hamid
Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian hidupnya
dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali
dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5. Di
antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan
sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di
kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad karya
Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya
al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh
terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh
para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti
Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.
Karena itu,
muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai
sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah
kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di
semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas.
Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar
logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul
dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.[13]
F.
Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Sejarah
perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan
berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang
saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh
menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran
Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama
tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.
Aliran Mutakallimin Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran
Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul
fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti
al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya
Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi
dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh
para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa
Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya,
dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab
Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu
Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya
al-Amidi.
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh
model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran
mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali,
seperti
a.
Abu
Ya’la (pengarang al-Uddah),
b.
Ibnu
Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir),
c.
Keluarga
Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan
kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah),
d.
Najm
al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar
al-Rawdlah).
Ada penulis
dari kalangan Maliki, seperti:
a.
Ibnu
Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa
al-Jadal).
Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah,
seperti
a.
Ibnu
Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam)
Sebutan
mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin
adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak
memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti
Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al Bashri
pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar
al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam
al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri,
Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar
Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan
kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam
Abu Ishaq al-Syirazi.[14]
Ada beberapa
ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
1.
Penggunaan
deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik
disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk
pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam
istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
2.
Adanya
pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam
al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering
dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan
mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang
dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat
dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan
Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran
mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab
al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan.
Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul
fiqh, serta bersifat lintas madzhab.
2.
Aliran Hanafiyah Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah
aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah
madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu
dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah
yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi.[15] Karena itu, mereka mengembangkan
sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi. Ciri khas
penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang
furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis
berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara
induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan
munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena
itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup
banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode
Hanafiyah antara lain:
1.
Al-Fushul
fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai
pengantar Ahkam al-Quran.
2.
Taqwim
al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3.
Kanz
al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4.
Ushul
Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
3. Aliran Gabungan Pada perkembangannya muncul tren untuk
menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode
penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam
madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi
dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab
Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan
gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab
tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab
Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan
dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam
Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul
karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya
Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din
al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam
ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul
dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’
‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas
menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya
al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani
al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok
bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah
mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad
Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.
Kepustakaan
[1]Muhammad
Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf
al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.
[2]Kisah di
atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I
daru Abu Sa‘id al-Khudri.
[3]Hadits
tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan makna yang
sama diriwayatkan oleh Muslim.
[4]Redaksi
hadits di atas berasal dari Sunan al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan
redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan
Sunan Tirmidzi. Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun
hadits tersebut sangat populer di kalangan ushuliyyin.
[5]Lihat Thaha
Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT.
1994. h. 19
[6] Lihat Abdul
Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah.
Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. h. 38-39.
[7]Lihat
Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… h. 72.
[8]Muhammad
al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah. Tth. h. 114.
[9]Taha Jabir
Alwani.Source Methodology… h. 33. Lihat juga Muhammad al-Khudary. Tarikh…h.
150-162
[10]Najmuddin
al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan.
1998. h. 237-238.
[11]Lihat Abu
Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel James Coulson. History
of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. h. 53 dst.
[13]Lihat Wael
B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul
Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press. 1997. h. 127
[14]Imam
al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi
rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan
mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George
al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in Islam and in The
West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981. h. 154.
[15]Lihat dalam
al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Furu’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar