Sabtu, 11 Februari 2017

Sejarah Pekembangan Hadis



A.                 Pengertian Hadis
Hadis adalah segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.
B.                 Perkembangan Hadis Di Masa Rosulullah Saw
Masa ini dikenal dengan masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya, dimulai dari permulaan Nabi diangkat rasulullah hingga wafatnya pada tahun 11 H (mulai dari 13 tahun sebelum hijriah sampai 11 H)
Para sahabat menerima dan memperoleh hadits melalui media: majlis ‘ilmi, melalui sahabat tertentu, ceramah pada tempat terbuka (seperti pada waktu haji wada’), serta berhubungan langsung dengan Nabi untuk menanyakan berbagai masalah atau mengetahui perbuatan dan amalannya yang perlu dicontoh. Para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasulullah Saw karena berbeda tempat tinggalnya, kegiatan sehari-hari, (ada yang sering bepergian, ada yang sering beribadah dimasjid, dan lain-lain), sedang Nabi pun tidak selalu secara rutin mengadakan ceramah terbuka untuk menyampaikan berita. Para sahabat yang banyak menerima pelajaran beliau adalah :
1.      Sahabat yang telah terlebih dahulu memeluk agama islam (As-sabiqunal awwalun) seperti Abdullah bin Mas’ud.
2.      Sahabat yang selalu berada disamping nabi dan bersungguh-sungguh menghafal hadits seperti Abu hurairah, atau yang mencatat hadist seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
3.      Sahabat yang lama hidupnya  sesudah nabi, karena dapat menerima hadist dari sesama sahabat, seperti Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas.
4.      Sahabat yang erat hubungannya dengan nabi, yaitu Ummul Mu’minin, seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian, khotbah atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi. Pada masa Nabi SAW. Kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
1.       Melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
2.       Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
3.       Untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi, “bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”. Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda : Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata : “Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya kapada istri-istrinya.
4.       Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
5.       Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya kedalam gandum tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش     
 “Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”.
Nabi menggunakan tiga metode, yaitu lisan, tulisan dan peragaan praktis.
1.      Metode Ucapan (Lisan) Sebagai seorang guru seluruh umat manusia, tentu Nabi berupaya keras agar ajaran yang beliau sampaikan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dengan demikian, ajaran yang telah disampaikan itu tetap otentik dan tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu, Nabi biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Setelah beliau yakin pelajaran yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para Sahabat, maka beliau berkenan untuk memerintah para Sahabat untuk menirukan ucapannya, sekaligus mendengarkan dan mengoreksinya. DR.Safar ‘Azimillah menjelaskan dalam bukunya bahwa pada waktu itu para Sahabat tidak mendengar dengan keseluruhan hadith yang disampaikan Nabi dalam satu pertemuan dikarenakan masing-masing dari mereka mempunyai kesibukan dan kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan.  Para Sahabat yang datang dari daerah-daerah terpencil, menjadi tanggung jawab penduduk Madinah, tidak hanya soal akomodasi dan konsumsi, tapi juga pendidikan mereka dalam ilmu al-Qur’an dan al-sunah. Nabi biasa melemparkan pertanyaan untuk mengetahui, sejauh mana pengetahuan mereka. Hal ini dilakukan oleh Nabi dalam rangka memudahkan para Sahabat belajar dan memperoleh hadith.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pengajaran al-Qur’an dan Hadits dilakukan Nabi dalam dua level besar. Pertama, Nabi mengajar Sahabat yang dekat dan sering bertemu Nabi. Kedua, para Sahabat dan penduduk Madinah mengajarkan ilmu yang telah mereka peroleh dari Nabi kepada Sahabat yang tidak sering bertemu Nabi. Kemudian dalam kesempatan lain Nabi berusaha mengevaluasi dan menilai kemampuan ilmu mereka yang diperoleh dari sabahat yang sering bertemu beliau. Kegiatan ilmiah ini berjalan terus menerus sampai beliau wafat pada 11 H / 632 M.
2.      Metode Tulisan Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus untuk menyampaikan surat kepada raja dan penguasa dikawasan Timur Tengah pada waktu itu, dan surat beliau kepada para kepala suku dan gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran hadith melalui media tulis. Beberapa surat tersebut sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum, seperti zakat, jizyah. Ada beberapa keuntungan dari metode ini, yaitu:
a.      Lebih terjaga dan terpeliharanya hadith – hadith Rasulullah S.A.W baik dengan hafalan maupun tulisan. Hadith menjadi terpelihara dari kemusnahan dan pemalsuan. Pada saat itu mulai banyak penghafal hadith yang wafat, umat Islam terpecah belah dalam sekte dan golongan, banyak para pemalsu hadith, sehingga untuk menjaga kemurnian dan keutuhan hadith maka perlulah dibukukan.
b.      Hadis – hadis yang tersebar dalam hafalan para rawi dan dalam lembaran-lembaran menjadi terkumpul dan tersusun dalam buku-buku, sehingga semakin memudahkan dalam menjaga dan mempelajarinya, baik mempelajari matan, sanad, dan hal – hal lain yang berkaitan dengan hadith.
c.       Mendorong dan memotifasi lahirnya karya – karya dalam bidang hadith. Dari sini banyak ulama yang menulis buku – buku dalam bidang hadith, baik berbentuk buku-buku matan, sharah, tahqiq, takhrij, tarikh, dan lain-lain yang membawa manfaat cukup besar bagi umat.
3.      Metode Peragaan praktis Sepanjang hidup Rasul SAW, terhitung sejak belaiu menerima wahyu; segala perilaku, ucapan, persetujuan dan peragaan praktisnya dianggap sebagai Ha>dits. Rasul memperagakan cara wudhu, shalat, haji, dan lain-lain. Dalam setiap segi kehidupan, Rasul memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk mengikutinya. Misalnya beliau bersabda: “Shalatlah anda seperti saya mempraktekkan shalat”  dan juga beliau bersabda: “Ambillah cara-cara haji anda (manasik) dari cara aku melaksanakan haji” Dalam menjawab pertanyaan, disamping Rasul menjawab langsung secara lisan (sunnah qawliyah), beliau selau minta kepada si penanya untuk tinggal bersama beliau dan belajar memalui pengamatan terhadap perilaku dan praktik ibadah beliau sehari.
Hadist atau sunnah nabi tidak ditulis seperti Al-Qur’an, karena ada larangan Nabi Saw, yang khawatir bercampur dengan Al-Qur’an, disamping umumnya para sahabat mengandalkan pada kekuatan hafalan, dan juga karena kekurangan tenaga penulis dikalangan mereka. Namun demikian ada juga sahabat yang menulisnya tidak secara resmi, melainkan atas inisiatif sendiri seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin amr bin ash dalam sebuah shahiffah yang diberi nama Ash – shadiqah. Setelah Al-Qur’an dibukukan ditulis dengan sempurna serta lengkap pula turunnya, barulah izin penulisan hadist pun mulai dikeluarkan.
B.                 Perkembangan Hadis Di Masa Khulafaur Rasyidin
Masa ini disebut masa periwayatan hadits secara terbatas (12-40 H). Para sahabat sedikit demi sedikit menyampikan hadits kepada orang lain setelah Nabi Saw wafat. Hal tersebut dilakukan mereka dengan penuh kehati-hatian karena takut berbuat salah. Sabda Nabi Saw : Ketahuilah! Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang ghaib (tidak hadir) diantaramu (diriwayatkan ibnu Abdil bari dari abu bakrah) Sampaikanlah daripadaku walaupun hanya satu ayat (maksudnya satu hadist). Riwayat bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash. Periwayatan yang dilakukan para sahabat yang pergi kekota-kota lain, dilakukan mereka dengan menyampaikan hadits kepada para sahabat lain dan tabi’in dengan sangat dibatasi dan sekedar keperluan, tidak bersifat pelajaran. Terutama pada masa Abu bakar dan Umar lebih sangat berhati-hati karena ingin menjaga jangan sampai terjadi pendustaan dalam mentabligkannya yang diancam dosa besar. Sabda Nabi Sa : Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya disediakan di neraka. (riwayat Jama’ah perawi hadist)
1.      Masa Pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq Setelah Rasulullah saw wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota luar madinah sehingga memudahkan untuk penyebaran hadits. Namun dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka pada masa khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan-peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun dan membukukan hadits seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini karena umat islam lebih fokus mempelajari Al-Qur’an. Selain itu banyaknya para sahabat yang berpindah ke kota-kota luar dan tersebar di berbagai daerah kekuasaan islam dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Hal inilah yang mempersulit dalam membukukan hadits. Selain itu pula adanya perselisihan pendapat antar sahabat belum lagi mengenai keshahihan dan lafadznya. Pada masa pemerintahan Abu Bakar ini misalnya untuk menghindari adanya kebohongan beliau meminta pengukuhan para sahabat lain ketika nenek datang padanya dan mengatakan “saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya”. Kemudian Abu Bakar menjawab “saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dalam Al-Qur’an maupun dari rasul.”. Lalu Muhammad bin Maslamah menjawab sebagai saksi bahwa seorang nenek dengan kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan hadits, sebab beliau mengkhawatirkan adanya sahabat yang berbohong dalam penyampaian redaksi hadits. Akan tetapi beliau tidak anti terhadap penulisan hadits, bahkan untuk kepentingan tertentu hadits nabi ditulisnya.
2.      Masa Pemerintahan Umar bin Khattab Begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti periwayatan, hanya saja Beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Ibnu Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.a mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.
3.      Masa Pemerintahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Sikap kehati-hatian sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan karena: 1) Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an; 2) Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
Adapun cara periwayatan hadits pada masa sahabat terbagi menjadi dua yaitu: Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan tetapi makna&intinya sama). Pada masa sahabat belum ada penulisan hadits secara resmi sebab dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an dan umat islam lebih difokuskan untuk mempelajari Al-Qur’an. Begitu juga pada masa Tabi’in, yang mengikuti jejak para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan politik. Periode sahabat ini disebut Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah (masa pematerian dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu al-Quran dan hadits (al-Sunnah) yang harus dipegangi  bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.
Para khalifah sejak Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya menjunjung tinggi amanat tersebut. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:
1.    Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
2.    Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dpermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran. Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
1.    Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.    Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
1.    Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
2.    Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
3.    Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.

Adapun penulisan hadits masih tetap terbatas belum dilakukan secara resmi dengan berbagai petimbangan-pertimbangan diantaranya:
1.    Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Quran. Perhatian sahabat masa khulafa al-rasyidin adalah pada al-Quran seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi Mush-haf.  
2.    Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits.
C.                 Perkembangan Hadits Di Masa Tabi’in
Pengertian Tabi’in adalah orang islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar kepada sahabat, tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan tidak pula semasa dengan beliau. Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Fazlur Rahman menyebut sahabat senior) (Mudasir. 1999.93).
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) (Mudasir. 1999.94). Sesudah masa Khulafaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk meyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol, karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memacu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh kalangan tabi’in yang berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran sudah dikumpulkan pada satu mushaf dan para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani ummayah perluasan wilayah kekuasaan berkembang pesat dan juga semakin meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut. Sehingga pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (intisyar Ar-Riwayah lla Al Amshar).
Terdapat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis yaitu madinah Al-Munawarah, Mekah Al-mukaramah, kufah, basrah, Syam, Mesir, magrib, andalas, yaman dan khurasan. Pusat pembinaan pertama adalah madinah karena di sinilah Rasullah SAW menetap dan hijrah serta membina masyarakat islam (Mudasir. 1999.94). Berikut merupakan sahabat dan tabiin yang membina hadis
a.       Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah adalah sebagai berikut Mu’adz bin jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini adalah mujahid bin Jabar, Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah maula Ibnu Abbas (Mudasir. 1999.94). Diantara para sahabat yang membina hadis di kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara para tabi’in yang muncul disini ialah Ar-Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-Nakhai’, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’I, dan Abu Ishak As-Sa’bi (Mudasir. 1999.95).
b.      Diantara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabi’in yang muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub As-sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du’amah As-sudusi, dan Hisyam bin Hasan (Mudasir. 1999.95).
c.       Diantara para sahabat yang membina hadis di Syam ialah Abu Ubaidah Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad bin Ubadah, Abu darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul disini ialah salim bin abdillah al-muharibi, Abu Idris Al-khaulani, Umar bin Hanna’I (Mudasir. 1999.95).
d.      Diantara para sahabat yang membina hadis di mesir ialah Amr bin Al-as, Uqubah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris. Para tabi’in yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, nKhair bin Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah bin Sulaiman Ath-Thawil (Mudasir. 1999.95)
e.       Diantara para sahabat yang membina hadis di magrib dan andalus ialah Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin asim Al-muzaid. Para tabi’in yang munc ul disini adalah Ziyad bin An-Am Al-Mu’afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah bin Ra’fi dan Muslim bin Yasar (Mudasir. 1999.95).
f.       Diantara para sahabat yang membina hadis di Yaman adalah Muadz bin jabal dan Abu Musa Al-Asy’an. Para tabi’in yang muncul disini diantaranya adalah Hammam bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar bin Rasid (Mudasir. 1999.95).
g.       Diantara para sahabat yang membina hadis di kharasan adalah Abdullah bin Qasim Al-Aslami, dan Qasm biun sabit Al-Anshari, Ali bin Sabit Al-Anshari, Yahyab bin Sabih Al-Mugari (Mudasir. 1999.95).
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah terjadinya perang jamal dan perang suffin berakibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam menjadi beberapa kelompok. Secara langsung ataupun tidak pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya, baik pengaruh yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negatif adalah munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya. Pengaruh yang bersifat positif adalah terciptanya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut (Mudasir. 1999.96).
Para sahabat disamping terbatas dalam meriwayatkan hadist, juga sangat berhati-hati dalam menerima sesama sahabat dengan memperhatikan rawi/periwayat dan marwi (hadits yang diriwayatkan), tidak memperbanyak menerima hadits atau meriwayatkannya. Baru pada masa khalifah Ustman dan Ali bin abi thalib dimulai pengembangan hadits dan periwayatannya, mereka meriwayatkan hadits dengan dua cara, yaitu:
a.       Dengan lafazd asli seperti diterima dari Nabi
b.      Dengan maknanya, walupun lafzdnya lain, karena yang penting adalah menyampaikan maksud isinya.
Keadaan sunnah pada masa Rasulullah belum ditulis ataupun dibukukan secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya.
Hal ini dikarenakan adanya larangan menulis hadits dari Rasulullah SAW lewat sabdanya: لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمح Artinya: jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Said Al Khudry).
Namun disamping itu, ada hadits yang membolehkan dalam penulisannya yaitu: اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالح Artinya: Tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak.
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
1.      Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
2.      Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
3.      Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kaut hafalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...