A.
Pengertian Hadis
Hadis adalah segala
ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam. Pada masa Rasulullah masih
hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para
sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu
mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas
alat-alat yang mungkin dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits,
walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw
dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an. Mereka
belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits
belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi
Saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun
dilaksanakan secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya sahabat yang
wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat
bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.
B.
Perkembangan Hadis Di Masa Rosulullah Saw
Masa
ini dikenal dengan masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya,
dimulai dari permulaan Nabi diangkat rasulullah hingga wafatnya pada tahun 11 H
(mulai dari 13 tahun sebelum hijriah sampai 11 H)
Para
sahabat menerima dan memperoleh hadits melalui media: majlis ‘ilmi, melalui
sahabat tertentu, ceramah pada tempat terbuka (seperti pada waktu haji wada’),
serta berhubungan langsung dengan Nabi untuk menanyakan berbagai masalah atau
mengetahui perbuatan dan amalannya yang perlu dicontoh. Para sahabat tidak
sederajat dalam mengetahui keadaan Rasulullah Saw karena berbeda tempat
tinggalnya, kegiatan sehari-hari, (ada yang sering bepergian, ada yang sering
beribadah dimasjid, dan lain-lain), sedang Nabi pun tidak selalu secara rutin
mengadakan ceramah terbuka untuk menyampaikan berita. Para sahabat yang banyak
menerima pelajaran beliau adalah :
1.
Sahabat
yang telah terlebih dahulu memeluk agama islam (As-sabiqunal awwalun) seperti Abdullah
bin Mas’ud.
2.
Sahabat
yang selalu berada disamping nabi dan bersungguh-sungguh menghafal hadits
seperti Abu hurairah, atau yang mencatat hadist seperti Abdullah bin Amr bin
Ash.
3.
Sahabat
yang lama hidupnya sesudah nabi, karena
dapat menerima hadist dari sesama sahabat, seperti Anas bin Malik dan Abdullah
bin Abbas.
4.
Sahabat
yang erat hubungannya dengan nabi, yaitu Ummul Mu’minin, seperti Siti Aisyah
dan Ummu Salamah.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung.
Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian,
khotbah atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun
penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari
utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau
utusan daerah yang datang kepada Nabi. Pada masa Nabi SAW. Kepandaian baca
tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali.
Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan
untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadits dalam
amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Dalam
menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
1.
Melalui
majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh
Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat memperoleh
banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu
mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
2. Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga
menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para
sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang
ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan
para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang
saja.
3. Untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan
dengan soal keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan
suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika
Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang
mandi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi
sebagaiman mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga
Nabi bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan
wangi-wangian) dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya
lagi, “bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah
dengannya”. Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi
bersabda : Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi
berkata : “Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya,
“Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi
dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan
kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan
dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka
bertanya kapada istri-istrinya.
4. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka,
seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada
tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan
ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak
terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
5.
Melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan
musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan
berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya suatu ketika Nabi
berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang
membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya kedalam gandum
tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش
“Tidak termasuk
golongan kami orang yang menipu”.
Nabi
menggunakan tiga metode, yaitu lisan, tulisan dan peragaan praktis.
1.
Metode Ucapan (Lisan) Sebagai seorang guru seluruh umat manusia,
tentu Nabi berupaya keras agar ajaran yang beliau sampaikan dapat dipahami,
dihayati dan diamalkan. Dengan demikian, ajaran yang telah disampaikan itu
tetap otentik dan tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu, Nabi biasa
mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Setelah beliau yakin pelajaran
yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para Sahabat, maka beliau
berkenan untuk memerintah para Sahabat untuk menirukan ucapannya, sekaligus
mendengarkan dan mengoreksinya. DR.Safar ‘Azimillah menjelaskan dalam bukunya
bahwa pada waktu itu para Sahabat tidak mendengar dengan keseluruhan hadith
yang disampaikan Nabi dalam satu pertemuan dikarenakan masing-masing dari
mereka mempunyai kesibukan dan kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan. Para Sahabat
yang datang dari daerah-daerah terpencil, menjadi tanggung jawab penduduk
Madinah, tidak hanya soal akomodasi dan konsumsi, tapi juga pendidikan mereka
dalam ilmu al-Qur’an dan al-sunah. Nabi biasa melemparkan pertanyaan untuk
mengetahui, sejauh mana pengetahuan mereka. Hal ini dilakukan oleh Nabi dalam
rangka memudahkan para Sahabat belajar dan memperoleh hadith.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pengajaran
al-Qur’an dan Hadits dilakukan Nabi dalam dua level besar. Pertama, Nabi
mengajar Sahabat yang dekat dan sering bertemu Nabi. Kedua, para Sahabat
dan penduduk Madinah mengajarkan ilmu yang telah mereka peroleh dari Nabi
kepada Sahabat yang tidak sering bertemu Nabi. Kemudian dalam kesempatan lain
Nabi berusaha mengevaluasi dan menilai kemampuan ilmu mereka yang diperoleh
dari sabahat yang sering bertemu beliau. Kegiatan ilmiah ini berjalan terus
menerus sampai beliau wafat pada 11 H / 632 M.
2.
Metode Tulisan Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi
khusus untuk menyampaikan surat kepada raja dan penguasa dikawasan Timur Tengah
pada waktu itu, dan surat beliau kepada para kepala suku dan gubernur muslim
dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran hadith melalui media tulis.
Beberapa surat tersebut sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum,
seperti zakat, jizyah. Ada beberapa keuntungan dari metode ini, yaitu:
a.
Lebih
terjaga dan terpeliharanya hadith – hadith Rasulullah S.A.W baik dengan hafalan
maupun tulisan. Hadith menjadi terpelihara dari kemusnahan dan pemalsuan. Pada
saat itu mulai banyak penghafal hadith yang wafat, umat Islam terpecah belah
dalam sekte dan golongan, banyak para pemalsu hadith, sehingga untuk
menjaga kemurnian dan keutuhan hadith maka perlulah dibukukan.
b.
Hadis
– hadis yang tersebar dalam hafalan para rawi dan dalam
lembaran-lembaran menjadi terkumpul dan tersusun dalam buku-buku, sehingga semakin
memudahkan dalam menjaga dan mempelajarinya, baik mempelajari matan, sanad,
dan hal – hal lain yang berkaitan dengan hadith.
c.
Mendorong
dan memotifasi lahirnya karya – karya dalam bidang hadith. Dari sini banyak
ulama yang menulis buku – buku dalam bidang hadith, baik berbentuk buku-buku matan,
sharah, tahqiq, takhrij, tarikh, dan lain-lain yang membawa manfaat cukup
besar bagi umat.
3.
Metode Peragaan praktis Sepanjang hidup Rasul SAW, terhitung sejak
belaiu menerima wahyu; segala perilaku, ucapan, persetujuan dan peragaan
praktisnya dianggap sebagai Ha>dits. Rasul memperagakan cara wudhu, shalat,
haji, dan lain-lain. Dalam setiap segi kehidupan, Rasul memberi pelajaran
praktis disertai perintah yang jelas untuk mengikutinya. Misalnya beliau
bersabda: “Shalatlah anda seperti saya mempraktekkan shalat” dan
juga beliau bersabda: “Ambillah cara-cara haji anda (manasik) dari cara aku
melaksanakan haji” Dalam menjawab pertanyaan, disamping Rasul menjawab
langsung secara lisan (sunnah qawliyah), beliau selau minta kepada si
penanya untuk tinggal bersama beliau dan belajar memalui pengamatan terhadap
perilaku dan praktik ibadah beliau sehari.
Hadist atau
sunnah nabi tidak ditulis seperti Al-Qur’an, karena ada larangan Nabi Saw, yang
khawatir bercampur dengan Al-Qur’an, disamping umumnya para sahabat
mengandalkan pada kekuatan hafalan, dan juga karena kekurangan tenaga penulis
dikalangan mereka. Namun demikian ada juga sahabat yang menulisnya tidak secara
resmi, melainkan atas inisiatif sendiri seperti yang dilakukan oleh Abdullah
bin amr bin ash dalam sebuah shahiffah yang diberi nama Ash – shadiqah. Setelah
Al-Qur’an dibukukan ditulis dengan sempurna serta lengkap pula turunnya,
barulah izin penulisan hadist pun mulai dikeluarkan.
B.
Perkembangan Hadis Di Masa Khulafaur Rasyidin
Masa ini disebut masa periwayatan hadits secara
terbatas (12-40 H). Para sahabat sedikit demi sedikit menyampikan hadits kepada
orang lain setelah Nabi Saw wafat. Hal tersebut dilakukan mereka dengan penuh
kehati-hatian karena takut berbuat salah. Sabda Nabi Saw : Ketahuilah!
Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang ghaib (tidak hadir)
diantaramu (diriwayatkan ibnu Abdil bari dari abu bakrah) Sampaikanlah
daripadaku walaupun hanya satu ayat (maksudnya satu hadist). Riwayat bukhari
dari Abdullah bin Amr bin Ash. Periwayatan yang dilakukan para sahabat yang
pergi kekota-kota lain, dilakukan mereka dengan menyampaikan hadits kepada para
sahabat lain dan tabi’in dengan sangat dibatasi dan sekedar keperluan, tidak
bersifat pelajaran. Terutama pada masa Abu bakar dan Umar lebih sangat
berhati-hati karena ingin menjaga jangan sampai terjadi pendustaan dalam
mentabligkannya yang diancam dosa besar. Sabda Nabi Sa : Barang siapa berdusta
atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya disediakan di neraka. (riwayat Jama’ah
perawi hadist)
1.
Masa Pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq Setelah Rasulullah saw wafat, banyak sahabat
yang berpindah ke kota-kota luar madinah sehingga memudahkan untuk penyebaran
hadits. Namun dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa
cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka pada masa khalifah
Abu Bakar menerapkan peraturan-peraturan yang membatasi periwayatan hadits.
Pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun dan membukukan hadits
seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini karena umat islam lebih fokus mempelajari
Al-Qur’an. Selain itu banyaknya para sahabat yang berpindah ke kota-kota luar
dan tersebar di berbagai daerah kekuasaan islam dengan kesibukannya
masing-masing sebagai pembina masyarakat. Hal inilah yang mempersulit dalam
membukukan hadits. Selain itu pula adanya perselisihan pendapat antar sahabat
belum lagi mengenai keshahihan dan lafadznya. Pada masa pemerintahan Abu Bakar
ini misalnya untuk menghindari adanya kebohongan beliau meminta pengukuhan para
sahabat lain ketika nenek datang padanya dan mengatakan “saya mempunyai hak
atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya”. Kemudian Abu Bakar
menjawab “saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dalam Al-Qur’an maupun
dari rasul.”. Lalu Muhammad bin Maslamah menjawab sebagai saksi bahwa seorang
nenek dengan kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari
anak laki-lakinya. Dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar
amat ketat dalam periwayatan hadits, sebab beliau mengkhawatirkan adanya
sahabat yang berbohong dalam penyampaian redaksi hadits. Akan tetapi beliau
tidak anti terhadap penulisan hadits, bahkan untuk kepentingan tertentu hadits
nabi ditulisnya.
2.
Masa Pemerintahan Umar bin Khattab Begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab.
Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan
Hadits. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang
mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur
dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa
kedua khalifah tersebut anti periwayatan, hanya saja Beliau sangat selektif
terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah
harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang
diriwayatkan oleh Imam Malik. Ibnu Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj
al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras
menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang
membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan
seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang
memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar
kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti
periwayatan hadist, Umar r.a mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah
nabi pada penduduk negeri.
3. Masa
Pemerintahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Sikap kehati-hatian sahabat Abu Bakar dan Umar
bin Khattab, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam
sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum
yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi
untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan
karena: 1) Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari
Al-Qur’an; 2) Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah
tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
Adapun cara periwayatan hadits pada masa
sahabat terbagi menjadi dua yaitu: Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis
dengan Rasulullah) dan Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan
tetapi makna&intinya sama). Pada masa sahabat belum ada penulisan hadits
secara resmi sebab dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an dan umat islam
lebih difokuskan untuk mempelajari Al-Qur’an. Begitu juga pada masa Tabi’in,
yang mengikuti jejak para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh
berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu
mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari
dan meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu
yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan politik. Periode sahabat
ini disebut Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah (masa
pematerian dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada
umatnya meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu
al-Quran dan hadits (al-Sunnah) yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.
Para khalifah sejak Abu Bakar, Umar, Usman dan
Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya menjunjung tinggi amanat
tersebut. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada
dasarya adalah:
1.
Para
khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar
Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada
hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
2.
Para
sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dpermulaan masa
sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali
disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran. Dalam
prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
1.
Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka
hafal benar lafazh dari Nabi.
2.
Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena
tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin
terutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya
orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan
sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
1.
Menyedikitkan
riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer
dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
2.
Menapis
dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah
cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau
menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi
keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
3.
Melarang
meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.
Adapun
penulisan hadits masih tetap terbatas belum dilakukan secara resmi dengan
berbagai petimbangan-pertimbangan diantaranya:
1.
Agar
tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Quran. Perhatian sahabat masa
khulafa al-rasyidin adalah pada al-Quran seperti tampak pada urusan
pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi Mush-haf.
2.
Para
sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits.
C.
Perkembangan Hadits Di Masa Tabi’in
Pengertian
Tabi’in adalah orang islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar
kepada sahabat, tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan tidak pula semasa
dengan beliau. Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam
berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan
itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar
bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali
bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal
dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman
sahabat besar (Fazlur Rahman menyebut sahabat senior) (Mudasir. 1999.93).
Sesudah Ali bin
Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat
kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam
perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa
itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa
al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya
‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas
(wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan
Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) (Mudasir. 1999.94). Sesudah masa
Khulafaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan
meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan.
Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama
untuk meyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan
periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan
periwayatan pada periode khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin
banyak yang aktif meriwayatkan hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits
yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah
bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol, karena meskipun pembakuan
tatacara periwayatan telah ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan kepentingan
golongan memacu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir
masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan
golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni
pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Periwayatan
yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan
oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru
mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh kalangan tabi’in yang berbeda dengan
yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran sudah dikumpulkan pada satu
mushaf dan para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan
islam. Sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka. Ketika
pemerintahan dipegang oleh bani ummayah perluasan wilayah kekuasaan berkembang
pesat dan juga semakin meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah
tersebut. Sehingga pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan
hadis (intisyar Ar-Riwayah lla Al Amshar).
Terdapat
beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai
tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis yaitu madinah Al-Munawarah,
Mekah Al-mukaramah, kufah, basrah, Syam, Mesir, magrib, andalas, yaman dan
khurasan. Pusat pembinaan pertama adalah madinah karena di sinilah Rasullah SAW
menetap dan hijrah serta membina masyarakat islam (Mudasir. 1999.94). Berikut
merupakan sahabat dan tabiin yang membina hadis
a.
Diantara
para sahabat yang membina hadis di mekah adalah sebagai berikut Mu’adz bin
jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin
Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini adalah mujahid bin Jabar,
Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah maula Ibnu Abbas (Mudasir.
1999.94). Diantara para sahabat yang membina hadis di kufah ialah Ali bin Abi
Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara para tabi’in yang
muncul disini ialah Ar-Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-Nakhai’, Said bin
Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’I, dan Abu Ishak
As-Sa’bi (Mudasir. 1999.95).
b. Diantara para sahabat yang membina hadis di
Basrah ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin
Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabi’in
yang muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub
As-sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du’amah
As-sudusi, dan Hisyam bin Hasan (Mudasir. 1999.95).
c. Diantara para sahabat yang membina hadis di
Syam ialah Abu Ubaidah Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin
Jabal, Sa’ad bin Ubadah, Abu darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan
Iyad bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul disini ialah salim bin abdillah
al-muharibi, Abu Idris Al-khaulani, Umar bin Hanna’I (Mudasir. 1999.95).
d. Diantara para sahabat yang membina hadis di
mesir ialah Amr bin Al-as, Uqubah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah
bin Al-Haris. Para tabi’in yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, nKhair
bin Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah
bin Sulaiman Ath-Thawil (Mudasir. 1999.95)
e. Diantara para sahabat yang membina hadis di
magrib dan andalus ialah Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin asim
Al-muzaid. Para tabi’in yang munc ul disini adalah Ziyad bin An-Am Al-Mu’afil,
Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah
bin Ra’fi dan Muslim bin Yasar (Mudasir. 1999.95).
f. Diantara para sahabat yang membina hadis di
Yaman adalah Muadz bin jabal dan Abu Musa Al-Asy’an. Para tabi’in yang muncul
disini diantaranya adalah Hammam bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan
Mamar bin Rasid (Mudasir. 1999.95).
g.
Diantara
para sahabat yang membina hadis di kharasan adalah Abdullah bin Qasim
Al-Aslami, dan Qasm biun sabit Al-Anshari, Ali bin Sabit Al-Anshari, Yahyab bin
Sabih Al-Mugari (Mudasir. 1999.95).
Pergolakan
politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah terjadinya perang jamal
dan perang suffin berakibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya
umat islam menjadi beberapa kelompok. Secara langsung ataupun tidak pergolakan
politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya,
baik pengaruh yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang
bersifat negatif adalah munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung kepentingan
politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya. Pengaruh
yang bersifat positif adalah terciptanya rencana dan usaha yang mendorong
diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan dari
pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut
(Mudasir. 1999.96).
Para sahabat disamping terbatas dalam
meriwayatkan hadist, juga sangat berhati-hati dalam menerima sesama sahabat
dengan memperhatikan rawi/periwayat dan marwi (hadits yang diriwayatkan), tidak
memperbanyak menerima hadits atau meriwayatkannya. Baru pada masa khalifah
Ustman dan Ali bin abi thalib dimulai pengembangan hadits dan periwayatannya,
mereka meriwayatkan hadits dengan dua cara, yaitu:
a. Dengan lafazd asli seperti diterima dari Nabi
b.
Dengan
maknanya, walupun lafzdnya lain, karena yang penting adalah menyampaikan maksud
isinya.
Keadaan sunnah
pada masa Rasulullah belum ditulis ataupun dibukukan secara resmi, walaupun ada
beberapa sahabat yang menulisnya.
Hal ini
dikarenakan adanya larangan menulis hadits dari Rasulullah SAW lewat sabdanya:
لاتكقبو اعنّى
سيئا غير القران فمن كتب
عنّى سيئا غير القر ان
فليمح
Artinya: jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang
menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari
Abu Said Al Khudry).
Namun disamping
itu, ada hadits yang membolehkan dalam penulisannya yaitu:
اكتب عنّى
فو الذى نفس بيده ما
خرج من فمن الاالح Artinya: Tulislah dari saya, demi Dzat
yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak.
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
1.
Bahwa
larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar
hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum
muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum
larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
2. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat
umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian
tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan
dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar