A.
Pengertian Asbabun
Nuzul
Kata “Asbab” atau “sebab”, yang secara kebahasaan bermakna: “segala sesuatu
yang dijadikan jalan yang dapat menghubungkan atau menyampaikan kepada sesuatu lainnya”.
Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] ayat 166
yang Artinya: (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala
hubungan antara mereka terputus sama sekali (Al-Baqarah, ayat 166), Sedangkan
kata “nuzul”, menurut bahasa setidaknya memiliki dua pengertian, yaitu:
1. “Gerakan menurun dari
suatu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah” (al-inhidar aw al-inhithath min
‘uluwwin ila safalin), seperti ungkapan “نزل فلان من الجبل”, Si A turun dari atas gunung; dan
2. “Mendiami, menempati,
atau mampir pada suatu tempat” (al-hulul), sebagaimana dalam ungkapan “نزل فلان
في المدينة”, Si A
tinggal di kota.
Dan sebelum diuraikan tentang pengertian “asbab al-Nuzul” lebih lanjut,
maka perlu untuk diperhatikan bahwa istilah “sebab” di sini, tidak sama dengan
istilah “sebab” yang dikenal dalam hukum sebab-akibat. Istilah “sebab” dalam
hukum sebab-akibat mengandung pengertian keharusan adanya “sebab” untuk
menimbulkan adanya “akibat”; dan suatu “akibat” tidak akan pernah terjadi tanpa
ada “sebab” yang mendahului. Dan bagi al-Qur’an, meski diantara ayatnya yang
turun didahului oleh sebab tertentu, namun keberadaan sebab itu tidak mutlak
adanya walaupun secara realita telah terjadi peristiwanya. Adanya sebab
bagi turunnya al-Qur’an tak lain merupakan bentuk wujud nyata kebijaksanaan
Allah SWT dalam memberikan petunjuk kepada hamba-Nya. Dengan adanya sebab yang
mendahului, maka akan lebih tampak dan terasa kebenaran al-Qur’an selaku
petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia
Adapun M. Quraish Shihab memperjelas pengertian “asbab nuzul al-Qur’an”
dengan cara memilah peristiwanya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang
dimaksudkan dengan “asbab nuzul al-Qur’an” adalah:
1. Peristiwa-peristiwa
yang menyebabkan turunnya ayat, di mana ayat tersebut menjelaskan pandangan
al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya;
2. peristiwa-peristiwa
yang terjadi sesudah turunnya suatu ayat, di mana peristiwa tersebut dicakup
pengertiannya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi .
Untuk mengetahui asbab an nuzul dapat diketahui dengan periwayatan yang
diakui keabsahan, dan berasal dari sumber yang dapat dipercaya, hal ini
disebabkan karena asbab al nuzul terjadi di masa rasulullah Saw dan hal ini
membutuhkan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berhubungan dengan asbab
an nuzul, hal ini menunjukkan kesulitan dalam menentukan asbab al nuzul suatu
ayat sehingga tidak jarang terjadi perbedaan riwayat mengenai asbab an nuzul
suatu ayat.
Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat “asbab
al-Nuzul”, yaitu:
1. Adakalanya kalangan
sahabat atau tabi‘in mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu ayat.
Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan “asbab
al-Nuzul”. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab
turunnya ayat tersebut;
2. Adakalanya kalangan
sahabat dan tabi‘in mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan ayat
tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat: نزلت في كذا ...; seolah-olah mereka menyatakan bahwa
peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut.
Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum dari Nabi Saw
tentang ayat yang dikemukakan tadi . Al wahidi berkata “ tidak boleh berbicara
tentang sebab turunnya ayat al qur’an, kecuali dengan periwayatan yang di nukil
dari mereka yang menyaksikan saat turunnya ayat, mengetahui sebab turunnya, dan
meneliti ilmunya. Al-Wahidi misalanya, dengan tegas menyatakan: لا يحل
القول في أسباب نزول الكتاب
إلا بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل, ووقفوا على الأسباب
وبحثوا عن علمها وجدوا في
الطلب.
Artinya: “Tidak dibenarkan mengemukakan pandangan terkait dengan Asbab Nuzul
al-Qur’an, kecuali berdasarkan riwayat dan informasi yang didengar langsung
dari orang-orang yang menyaksikan secara langsung peristiwa turunnya ayat,
mencermati sebab-sebab tersebut, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.
Terlihat dengan jelas bahwa begitu pentingnya asbabun nuzul, namun demikian
dalam memutuskan sebuah riwayat merupakan sebuah asbabun nuzul dari sebuah ayat
juga merupakan hal yang sulit dan harus sangat berhati-hati dalam menentukan
asbabun nuzul, didalam penjelasan selanjutnya akan dipaparkan faedah mengetahui
asbabun nuzul yang akan menunjukkan pentingnya asbabun nuzul, dan sebelum itu
akan dipaparkan beberapa pandangan yang menanggap tidak pentingnya asbabun
nuzul.
B.
Macam-macam Asbab
Al-Nuzul
1)
Sebab turunnya Al-Qur’an dalam segi
bentuknya ada tiga macam, yaitu:
a.
Peristiwa pertengkaran. Contoh: perselisihan
yang berkecamuk antara suku Aus dan Khazraj. Perselisihan tersebut muncul dari
instrik-instrik yang dihembuskan oleh kelompok Yahudi sehingga mereka
berterian: Senjata-senjata. Peristiwa ini menyebabkan turunnya ayat Ali Imran:100
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari
orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu
menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”
b.
Peristiwa kesalahan serius. Seorang yang
menjadi imam saat sholat dan orang tersebut dalam keadaaan mabuk,, sehingga
salah dalam mengucapka ayat Al-Quran, maka turunlah QS An-Nisaa’:43 “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”
Untuk lebih
jelas lagi, peristiwa ini terdapat dalam sebuah riwayat yang dikemukakan bahwa
Abdurrahman bin ‘Auf mengundang makan Ali dan kawan-kawannya. Kemudian
dihidangkan minuman khamar, sehingga terganggu otak mereka. Ketika tiba waktu
sholat, Ali menjadi imam saat sholat, dan ketika waktu itu beliau membaca
dengan keliru Surah Al-Kafirun maka turunlah QS An-nisa’:43. Diriwatkan oleh
Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, al-Hakim yang bersumber dari Ali. (Qamaruddin,
dkk:1992:132)
c.
Cita-cita dan keinginan. Sejarah mencatat ada
beberapa ucapan yang ingin diucapkan oleh umar bin Khatab, tapi ia tidak berani
kemudian turun ayat Al-Qur’an Al-mukminun:14 (Rusydi Am:1999:35)
2)
Dilihat dari sudut pandang redaksi yang
dipergunakan dalam riwayat Asbab An-Nuzul. Yaitu:
a. Sharih
(jelas)
Riwayat sudah jelas menunjukkan azbab an nuzul, dikatakan sharih bila perawi
mengatakan: “ Sebab turun ayat ini adalah…..”
b. Muhtamilah
(kemungkinan) Bila perawi mengatakan: “Saya kira ayat ini
turunkan berkenaan dengan…”
3). Dilihat dari jumlah sebab dan ayat yang
turun, yaitu
a. Ta’addud al
asbab wa al nazil wahid Sebab turun ayat lebih dari satu dan inti persoalan
yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu
sedangkan sebabnya satu
b. Ta’addus al nuzul wa al sahib wahid. Satu ayat
dalam Al-Qur’an memiliki beberapa versi riwayat sebab turun ayat tersebut. Apabila
hal ini terjadi, maka hal yang harus dilakukan yaitu; Mengambil versi yang
shahih, Melakukan studi selektif dan Melakukan studi kompromi (Rosihin
Anwar:2006:72-80)
3.
Faedah Mengetahui Asbab al-nuzul
Dalam menilai faedah mengetahui asbab al nuzul terjadi perbedaan pendapat
diantara para ulama, diantara mereka terdapat kalangan ulama yang berpendapat
bahwa mengetahui asbab al nuzul tidak penting dalam memahami al qur’an, hal ini
dikarenakan asbab al nuzul merupakan sejarah awal yang hanya berlaku pada saat
turunnya ayat tersebut, mereka tidak memandang bahwa asbab an nuzul dapat
memudahkan dalam memahami ayat-ayat al qur’an, mereka perpendapat meletakkan
kedalam lingkaran historis akan membatasi pesan-pesan yang terkandung di dalam
ayat-ayat al qur’an. Diantara ulama yang ditengarai menganggap tidak terlalu
penting pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad
‘Abduh. Penilaian ini didasarkan atas pandangan Muhammad ‘Abduh yang tidak
menyinggung keberadaan “asbab al-Nuzul” dalam prinsip-prinsip pokok
penafsirannya, Diantara tokoh yang dinilai tegas dalam memandang tidak
pentingnya pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” dalam memahami al-Qur’an adalah
Muhammad Husein al-Thabathaba’i. Dalam kitab “al-Qur’an fi al-Islam”,
al-Thabathaba’i mengajukan tiga alasan untuk menunjukkan bukti kuat atas
penilaiaannya ini, yaitu: Pertama, Hadits-hadits yang berkaitan dengan “asbab
al-Nuzul” tidak shahih, karena tidak ada yang mempunyai sanad; Kedua,
Periwayatan hadits-hadits tersebut tidak dilakukan secara berhadapan muka
antara pemberi dan penerima riwayat, dan tidak juga dengan cara tahamul dan
hapalan. Para perawi hanya mengaitkan suatu ayat dengan kisah-kisah tertentu.
Jadi, pada hakikatnya “asbab al-Nuzul” hanyalah sebuah hasil ijtihad semata.
Karenanya, banyak riwayat yang saling bertentangan; dan Ketiga, Sampai akhir
abad I Hijriyah, penulisan hadits masih tetap dilarang oleh Nabi Saw. Ketika
itu orang-orang yang mengemukakan catatan hadits, segera dibakar catatannya.
Akhirnya, periwayatan hadits tentang “asbab al-Nuzul” termasuk hanya dalam
bentuk makna saja.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan hadits itu
sendiri. Dan diantara tokoh yang akhir-akhir ini memandang pengetahuan tentang
“asbab al-Nuzul” tidak ada urgensitasnya dalam memahami al-Qur’an adalah
Muhammad Syahrur. Dalam buku “Nahwa Ushul Jadidah”, Syahrur dengan gamblang
menyatakan bahwa penafsiran saat ini tidak memerlukan asbâb al-Nuzûl. Sebab
menurutnya, hal itu hanyalah bentuk sejarah penafsiran awal yang hanya berlaku
pada saat turunnya al-Qur'an (abad ke-VII M), dan tidak berlaku untuk waktu
dimana kita berada saat ini (abad ke-XXI) . Namun demikian mayoritas ulama
menganggap penting mengetahui asbab al nuzul ketika mempelajari al qur’an,
beberapa pendapat yang menganggap begitu pentingnya mengetahui asbab al nuzul
adalah: Al – Wahidi berkata , “ Tidak mungkin dapat mengetahui tafsir sebuah
ayat tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya.” . Ibn Taimiyah berkata,
“Pengetahuan tentang sebab turunnya ayat membantu memahami kandungan ayat
tersebut, karena dengan mengetahui sebab turunnya ayat, seseorang dapat
mengetahui akibat dari buah dari sebab tersebut, beberapa orang dari kalangan
salaf tidak jarang mengalami kesulitan dalam memahami makna ayat-ayat Al
qur’an. Namu ketika mereka mengetahui sebabturunnya ayat tersebut, sirnalah
kesulitan yang menghalangi pemahami mereka.”
Menurut al –Ahabuni dalam kitabnya al-Tibyan Fi Ulum Al Qurran, faedah
mengetahui asbab al-nuzul adalah:
a. Mengetahui hikmah yang
ditegakkan atas disyariatkannya hukum.
b.
Mengkhususkan hukum sebab yang terjadi (bagi yang
berpendapat bahwa penetapan hukum itu dengan sebab yang khusus)
c.
Mengehindarkan dugaan adanya hasr (batasan tertentu)
karena zahir ayat memang menunjukkan hasr.
d.
Megetahui orang yang menjadi sebab diturunkannya ayat
dan menghilangkan keraguan atasnya.
4.
Ketentuan Lafaz yang
Umum atau Sebab Khusus
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tetang ayat yang turunnya
berdasarkan adanya suatu kasus atau pertanyaan, perbedaan pendapat mereka
terletak pada pengertian ketentuan dalam ayat, jika ketentuan ayat itu
menggunakan lafal yang lebih umum dari kasus atau pertanyaan yang diajukan,
apakah ketentuan itu dipandang dari umumnya lafal atau kususnya sebab?
maksudnya jika turun ayat berkaitan dengan suatu kasus atau sebagai jawaban
atas suatu pertanyaan itu saja atau apakah ketentuan dalam ayat itu bisa diperlakukan
secara umum. Sebagian ulama ushul fiqh masih berselisih pendapat tentang
istilah “asbab al-nuzul yang bersifat khusus dengan ayat yang turun berbentuk
umum,” mana yang dapat dijadikan pegangan: apakah ayat yang umum atau sebab
yang khusus? Di sini akan penulis kemukakan kedua pendapat tersebut, yakni:
Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadikan pegangan adalah lafadz
yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum
itu melampau sebab yang khusus. Misalnya ayat li’an yang turun berkenaan dengan
tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istriya telah berzina dengan Syuraik bin Sahma
yang menyebabkan turunnya ayat ke-6 sampai ke 9 dari surah An-Nuur. Jadi hukum
yang diambil dari lafadz umum ayat ini (“Dan orang-orang yang menuduh
istrinya”) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan
pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Kedua, Kelompok
ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab,
bukan lafadz yang umum. Karena lafadz yang umum itu menunjukkan sebab yang
khusus.
Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain yang menjadi
sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti qiyas dan sebagainya,
sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab
tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya
Abd al-Mun’im al-Namir berkesimpulan bahwa perbedaan antara keduanya hanya
rsekedar khilaf syakli (perbedaan formal) bukan perbedaan hakiki. Masing-masing
mempunyai jalan pikirannya, tetapi tidak mempengaruhi sedikitpun kepada
penerapan ayat tersebut secara umum. Ibn Taimiah memberikan komentar yang
sejalan dengan ini : “Para ulama, meski mereka berbeda pendapat dalam
menghadapi lafal umum yang datang lantaran suatu sebab:apakah khusus bagi sebab
itu, namun tak seorang pun (dari mereka) yang mengatakan bahwa
keumuman-keumuman Al-Qur’an dan sunnah khusus bagi orang tertentu. Hanya saja,
paling jauh dapat dikatakan bahwa keumuman-keumuman itu tertentu pada orang
yang semacam itu:maka meliputi pula akan orang yang menyerupainya dan tidaklah
keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, sekalipun
ayat itu berupa perintah dan larangan, maka ayat tersebut mencakup orang itu dan
orang lain yang sama kedudukannya”.
5.
Beberapa Riwayat Mengenai Asbab al-nuzul
Beberapa ketentuan yang digunakan oleh ahli tafsir ketika terdapat beberapa
riwayat tentang sebab turunnya suatu ayat :
1. Apabila bentuk-bentuk
redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti contohnya : “Ayat ini turun mengenai
perkara ini” atau seperti : “Aku mengira ayat ini turun mengenai perkara ini” ,
maka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab yang dimaksud
riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu
termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya dan bukan menyebabkan
Asbab Nuzul. Terkecuali ada indikasi pada salah satu riwayat yang menunjukkan
bahwa itu adalah Asbab Nuzul.
2.
Jika salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas,
misalnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” sedang riwayat lain
menyebutkan Asbab Nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka
yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab Nuzul secara tegas
itu. Dan riwayat yang tidak tegas dipandang termasuk ke dalam penjelas.
3.
Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan Asbab
Nuzul, salah satu diantaranya itu shahih, maka yang dijadikan pegangan adalah
riwayat yang shahih.
4.
Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, namun
terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam
kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka
riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
5.
Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka
riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga
dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih
karena jarak waktu diantara sebab itu berdekatan.
6.
Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka
riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga
dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih
karena jarak waktu diantara sebab itu berjauhan.
6.
Pentingnya Mempelajari
Asbabun Nuzul
Adapun kegunaan yang diperoleh dalam mengetahui
Asbabun Nuzul dalam kaitannya dengan memahami makna daripada ayat-ayat suci
Al-Quran antara lain adalah sebagai berikut:
1)
Mengetahui
hikmah (rahasia) dan tujuan Allah secara khusus dalam mensyariatkan agamaNya
yang terkandung di balik ayat-ayat yang mempersoalkan syariat (hukum). Misalnya
kita dapat memahami lewat pengetahuan Asbabun Nuzul kenapa judi, riba, memakan
harta anak yatim itu diharamkan. Sebaliknya bagaimana Allah mula-mula mensyariatkan
sholat Khouf (sholat yang dilakukan waktu situasi gawat/perang), kenapa tidak
boleh melakukan sholat jenazah atas orang musyrik, bagaimana pembagian harta
rampasan perang, dan sebagainya. Hampir semua aspek hukum itu mengandung aspek
filosofis yang sebagian di antara dapat diketahui lewat pengertian tentang
Asbabun Nuzul.
2)
Mengetahui
pengecualian hukum (takhshish) terhadap orang yang berpendirian bahwa hukum itu
harus dilihat terlebih dahulu dari sebab-sebab yang khusus.
3)
Mengetahui Asbabun Nuzul adalah cara yang
paling kuat dan paling baik dalam memahami pengertian ayat, sehingga para
sahabat yang paling mengetahui tentang sebab-sebab turunnya ayat lebih
didahulukan pendapatnya tentang pengertian dari satu ayat, dibandingkan dengan
pendapat sahabat yang tidak mengetahui tentang sebab-sebab turunnya ayat.
4)
Pengetahuan
tentang Asbabun Nuzul membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan
kesulitannya, sebagai contoh adalah dalam memahami ayat Al-Quran : Dan bagi
Allah timur dan barat maka kemana sajapun kamu menghadap maka di sana wajah
Allah, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. Ayat ini sepintas
kilas membicarakan bolehnya orang melaksanaka sholat dengan mengahadap kemana
saja yang ia sukai, padahal ayat ini berbicara untuk orang yang mengerjakan
sholat sunnat dalam suasana musafir dimana ia tidak mengetahui arah kiblat
secara pasti atau orang yang sholat dengan ijtihadnya dimana dia juga tidak
mengetahui arah kiblat secara pasti. Dalam suasana yang seperti ini maka orang
sah melaksanakan sholat menghadap kemana saja.
5)
Pengetahuan
tentang Asbabun Nuzul dapat menolak dugaan adanya hashr (pembatasan) dalam ayat
yang menurut lahirnya mengandung hashr (pembatasan), tetapi sebetulnya bukanlah
pembatasan, sebagai contoh adalah Al-Quran Surat Al-Anam ayat 145 dalam hal makanan
yang diharamkan.
6)
Pengetahuan
tentang Asbabun Nuzul dapat mengkhususkan (takhshish) hukum pada sebab menurut
ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan
bukan keumuman lafal. Hal ini sebagaimana pada ayat-ayat tentang zhihar (suami
menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti ia berkata pada istrinya,
Punggungmu seperti punggung ibuku) yang terdapat pada permulaan Surat
Al-Mujadalah, dimana sebab turunnya adalah Aus Bin Shamit yang menzhihar
istrinya Khaulah Binti Hakam Ibn Tsalabah. Menurut pandangan ini, hukum yang
berlaku pada ayat ini khusus untuk kasus ini. Dan adapun hukum yang berlaku
bagi selainnya dapat diketahui pada dalil-dalil yang lain.
7)
Dengan
mempelajari Asbabun Nuzul diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah
keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang
mukhashshishnya (yang mengkhususkannya). Hal ini didasarkan atas Ijma yang
menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya.
8)
Dengan
Asbabun Nuzul diketahui orang ayat tertentu yang turun padanya secara tepat
sehingga tidak terjadi kesamaran, sebab kesamaran bisa membawa kepada penuduhan
terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang bersalah.
9) Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul akan
mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Quran serta memperkuat keberadaan
wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika ia mengetahui sebab turunnya,
sebab pertalian antara sebab dan musabbab, hukum dan peristiwanya, peristiwa
dan pelaku, masa dan tempatnya, semua ini merupakan faktor-faktor yang
menyebabkan mantapnya dan terlukisnya sesuatu dalam ingatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar