A.
Makna Distribusi dan Urgensinya
Distribusi adalah
penyebaran atau perputaran ekonomi, dalam skala negara seringkali
diterjemahkan menjadi pemeratan kesejahteraan warga negara. Adapun makna
distribusi dalam ekonomi islam sangatlah luas, yaitu mencakup pengaturan
kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Dimana islam
memperbolehkan kepemilikan umum dan kepemilikan khusus, dan meletakkan
masing-masingnya kaidah-kaidah untuk mendapatkan dan mempergunakannya, dan
kaidah-kaidah untuk warisan, hibah dan wasiat.
Terdapat
perbedaan dalam system ekonomi tentang makna distribusi. Kapitalisme memberikan
kebebasan kepemilikan khusus dan memperbolehkan pemindaan kekayaan dengan cara
pewarisan atau hibah, dan tidak meletakan kaidah-kaidah untuk penentuan hal
tersebut. Sementara ekonomi social mengabaikan kepemilikan
khusus bagi unsur-unsur produksi, dan menilai pekerjaan
sebagai satu-satunya unsur bagi produksi. Karena itu sistem distribusinya berdasarkan pada prinsip
“setiap individu sesuai tingkat kemampuannya, dan setiap individu sesuai
tingkat kebutuhannya,” dan berdasarkan pada khurafat perealisasian
keadilan pembagian pemasukan bagi tingkatan pekerja yang berlandaskan pada
pilar-pilar sosial. Pada sisi lain, ekonomi kapitalisme
memfokuskan pembagian “ pemasukan Negara” di antara unsur-unsur produksi,
kemudian memperhatikan penyelesaian factor-faktor yang menentukan harga
(bagian) unsur-unsur produksi dari pemasukan Negara. Karena itu kapitalisme
memutlakan system distribusi dengan terminologi “teori harga unsure produksi”.
Sedangkan distribusi individu, yakni distribusi income di antara individu
masyarakat dan kelompoknya, tidak mendapat perhatian kapitalisme kecuali dimasa
belakangan ini, dan dengan tingkata yang terbatas. Sedangkan makna distribusi
dalam ekonomi Islam jauh lebih luas lagi, yaitu mencakup pengaturan kepemilikan
unsure-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Yang mana Islam
memperbolehkan kepemilikan umum dan kepemilikan khusus, dan meletakan
bagi masing-masing dari keduanya dari kaidah-kaidah untuk mendapatkannya
dan mempergunakannya, dan kaidah-kaidah untuk warisan, hibah dan wasiat.
Sebagaimana ekonomi Islam juga memiliki polotik dalam distribusi pemasukan,
baik antara unsure-unsur produksi maupun antara individu masyarakat dan
kelompok-kelompoknya, disamping pengembalian distribusi dalam system jaminan
social yang disampaikan adalam ajaran Islam.
Distribusi dalam ekonomi Islam berbeda dengan system
konvensional dari sisi tujuannya, asas ideology, moral dan sosialnya yang tidak
dapat dibandingkan dengan system ekonomi konvensional. Karena
memperhatikan bahayanya pendistribusian harta yang bukan pada haknya dan
terjadinya penyelewengan dalam distribusi, maka islam mengutamakan tema
distribusi dengan perhatian besar yang nampak dalam beberapa fenomena, dimana
yang terpenting adalah sebagai berikut :
1.
Banyaknya
nash Al Quran dan hadist Nabawi yang mencakup tema distribusi dengan
menjelaskan sistem manajemennya, himbauan komitmen dan cara-caranya yang
terbaik dan memperingatkan penyimpangan dari sistem yang benar.
2.
Syariat
islam tidak hanya menetapkan prinsip-prinsip umum bagi distribusi dan
pengembalian distribusi, namun juga merincikan dengan jelas dan lugas cara
pendistribusian harta dan sumber-sumbernya.
3.
Banyak
dan komperhensifnya sistem dan cara distribusi yang ditegakkan dalam islam,
baik dengan cara pengharusan (wajib) maupun yang secara suka rela (sunnah)
4.
Al
Qur’an menyebutkan secara tekstual dan eksplisit tentang tujuan peringatan
perbedaan di dalam kekayaan, dan mengantisipasi pemusatan harta dalam kalangan
minoritas.
B.
Nilai dan Moral Dalam Distribusi
Sistem ekonomi
yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus
berdasarkan pada dua nilai, yaitu nilai kebebasan dan nilai keadilan.
1.
Nilai Kebebasan. Nilai pertama dalam bidang distribusi adalah
nilai kebebasan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang
dibingkai oleh nilai-nilai agama. Hal ini berdasarkan pada dua hal persoalan.
Pertama, keimanannya kepada Allah dan Mentauhidkan-Nya, kedua, keyakinan-Nya
kepada manusia
a.
Pertama: keimanannya
kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Esensi iman kepada Allah dalam islam adalah
tauhid. Aqidah dan prinsip-prinsipnya tersimpul dalam laa ilaaha illallah.
Sesungguhnya hakikat tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan memohon
pertolongan. Beribadah kepada Allah berarti mentaati perintah-Nya, mengikuti
hukum-Nya dan tunduk pada kekuasaan dan syar’ah-Nya. Tauhid ini tidak ada jika
manusia masih menjadikan selain Allah sebagai Tuhan, mengambil selain Allah
sebagai penolong. Kemudian islam datang untuk membebaskan manusia dari setiap
penyembahan kepada selain Allah. Ia datang dengan mengemukakan bahwa semua
manusia adalah sama rata. Dengan demikian tidak boleh satu sama lain saling
menzalimi dan saling menindas.
b.
Kedua: keyakinan-Nya
kepada manusia. Sistem islam telah mengakui kebebasan karena islam percaya
kepada Allah dan juga percaya kepada manusia, percaya dengan fitrahnya yang telah
Allah ciptakan padanya, dan mempercayai kemuliaan dan kemampuannya yang
membuatnya berhak untuk menjadi khalifah di bumi. Allah telah menciptakan
manusia dan mempersiapkannya dengan kekuatan material dan spiritual yang
memadai untuk mengemban kewenangan khilafah ini dan untuk memakmurkan bumi.
2. Nilai Keadilan Keadilan adalah lawan dari dholim yaitu
meletakan sesuatu bukan pada tempatnya jadi keadilan itu meletakkan segala
sesuatunya pada tempatnya. Keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang
menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak
tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu
dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam
Al-Qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang
dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi
diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai
suatu keseluruhan. Nilai keadilan distribusi dalam ekonomi islam itu tercermin
dalam beberapa aspek antara lain:
a.
Perbedaan pendapatan. Ketidaksamaan yang adil ini tidak diragukan
lagi akan mengakibatkan perbedaan dalam pendapatan. Ia merupakan aksioma yang
telah diungkapkan oleh Al-Quran dalam sejumlah ayat seperti firman-Nya: “Dan
Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizqi”
(An-Nahl:71). Mungkin ayat yang paling mudah dapat diterima oleh akal disini
adalah firman-Nya: “kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain” (Az-Zukhruf: 32)”. Suatu hal yang bisa di catat disini,
bahwa pelebihan ini bukan berarti tidak memberikan kepada sebagian orang sama
sekali, dan memberikan segala sesuatu kepada orang yang lain. Sesungguhnya pelebihan
in seperti telah diketahui adalah ke ikut sertaan dua orang dalam satu hal.
Kemudian tidaklah mengapa jika ada kelebihan salah satu dari keduanya dalam hal
tersebut, selama dasar pelebihan ini adalah apa yang telah kami sebutkan diatas
yaitu ilmu, kerja dan penunaian tugas secara baik. Bukan sembarang pelebihan
seperti persepsi orang-orang bodoh selama ini. Ia berdasarkan pada sunnatullah
(hukum Allah) pada alam dan syar’ah-Nya.
b.
Pemerataan Kesempatan. Semua anggota masyarakat harus sama dalam mendapatkan
hak untuk hidup, memiliki, belajar, bekerja, berobat, kelayakan hidup dan
jaminan keamanan dari bencana alam. Karena hal ini merupakan hak-hak
kemanusiaan yang berhak mereka peroleh, sebagai manusia semata-mata dan bukan
sebagai anak-anak kelas khusus atau keluarga tertentu, juga bukan sebagai
individu-individu yang memiliki keahlian kusus. Selama semua orang sama
dalam arti kemanusiaan,maka pembedaan antara satu individu dengan individu yang
lain atau satu kelompok dengan kelompok yang lain adalah suatu kedzaliman yang
tidak beralasan sama sekali karena hal itu berarti pemberian antara dua pihak
yang sama dalam semua segi.
c.
Memenuhi hak para pekerja. Diantara nilai-nilai yang dituntut disini
adalah memenuhi hak pekerja atau buruh. Tidak boleh dalam keadilan islam
seorang buruh mencurahkan jerih payah dan keringatnya sementara ia tidak
mendapatkan upah atau gajinya,dikurangi atau di tunda-tunda. Dalam perihal
penjualan jika mereka telah menyerahkan barang maka mereka mengambil harganya
pada saat penyerahan barang.seorang buruh yang telah menunaikan pekerjaannya
ialah lebih berhak dan lebih pantas mendapatkan upahnya dengan segera karena
upahnya adalah harga kerjannya bukan harga barang dagangannya.
d.
Takaful (kesetiakawanan sosial yang m
enyeluruh). Hal ini dapat
terlaksana melalui jaminan sosial bagi kaum lemah dan tidak mampu,tingkat
pemenuhan kebutuhan yang cukup, sumber-sumber dana dan jaminan sosial. Setiap individu mempunyai
hak untuk hidup dalam sebuah negara, dan setiap warga negara dijamin untuk
memperoleh kebutuhan pokoknya masing-masing. Dan terdapat persamaan sepenuhnya
diantara warga negara apabila kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi. Menurut Syekh Mahmud Syaltut, bahwa jaminan sosial adalah
suatu keharusan diantara keharusan-keharusan persaudaraan, bahkan suatu yang
paling utama, yaitu perasaan tanggung jawab dari yang satu terhadap yang lain,
dimana setiap orang turut memikul beban saudaranya, dan dipikul bebannya oleh
saudaranya, dan selanjutnya ia harus bertanggung jawab terhadap dirinya dan
bertanggung jawab terhadap saudaranya.
Jaminan sosial dapat memberikan standar hidup yang layak, termasuk
penyediaan pangan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya
kepada setiap anggota masyarakat.
Keadilan adalah
tawazun (keseimbangan) antara berbagai potensi individu baik moral ataupun
material. Ia adlah tawazun antara individu dan komunitas (masyarakat). Kemudian
antara satu komunitas dengan komunitas yang lain dan tidak ada jalan menuju
tawazun ini kecuali dengan berhukum kepada syaiah Allah. Keadilan tidak berarti
kesamaan secara mutlak karena menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti
membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan ini tidak bisa dikatakan
keadilan sama sekali, apalagi persamaan secara mutlak adalah suatu hal yang
mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia dan tabiat segala sesuatu. Keadilan
adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai batas-batas persamaan dan kemiripan
kondisi antar keduanya. Atau membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai batas-batas
perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.
Ustadz Abbas
Al-‘Aqqad berkata, “persamaan yang ideal adalah keadilan yang tidak ada
kezaliman terhadap seorang pun di dalamnya. Oleh karena itu para pakar definisi
bahasa tidak dapat menjadikan persamaan yang ideal sebagai suatu persamaan
dalam kewajiban karena persamaan dalam kewajiban dengan adanya perbedaan
kemampuan untuk melaksanakannya adalah suatu kezaliman yang buruk” “mereka
juga tidak dapat menjadikan keadilan sebagai suatu persamaan dalam hak, karena
persamaan dalam hak dengan adanya perbedaan dalam kewajiban adalah kezaliman
yang lebih buruk, ia merupakan “perampasan” yang tidak dapat diterima oleh akal
dan sangat membahayakan kepentingan umum sebagaimana membahayakan kepentingan
tiap individu yang memiliki berbagai hak dan kewajiban” Jadi yang benar
adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana. Oleh sebab itu, tidak boleh ada
seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatannya untuk mengembangkan kemampuan
yang memungkinkannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak
boleh ada seorangpun yang tidak mendapatkan sarananya yang akan dipergunakan
untuk mencapai kesempatan tersebut.
Sesungguhnya
pilar penyangga kebebasan ekonomi yang berdiri diatas pemuliaan fitrah dan
harkat manusia disempurnakan dan ditentukan oleh pilar penyangga yang lain
yaitu keadilan. Keadilan dalam islam bukanlah prinsip yang sekunder. Ia adalah
cikal bakal dan fondasi kokoh yang memasuki semua ajaran dan hukum islam berupa
aqidah, syar’ah dan akhlak (moral).
Allah mengutus
para rasul agar manusia menegakkan keadilan, oleh sebab itu manusia
berkewajiban menegakkan keadilan atas diri mereka sendiri, sedangkan para
rasul-dengan kitab yang diturunkan Allah kepada mereka-tidak ada kewajiban atas
mereka kecuali menjelaskan rambu-rambu kebenaran dan keadilan, menghilangkan
ketidak jelasan dan kesalah pahaman.
Beberapa aturan dalam ekonomi islam terkait
dengan kebebasan dan keadilan adalah sebagai berikut :
1.
Segala
sesuatunya adalah milik Allah, manusia diberi hak untuk memanfaatkan segala
sesuatu yang ada di muka bumi ini sebagai khalifah atau pengemban amanat Allah,
untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan
kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah.
2.
Allah
telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap prilaku manusia sehingga
menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya.
3.
Semua
manusia tergantung pada Allah, sehingga setiap orang bertanggung jawab atas
pengembangan masyarakat dan atas lenyapnya kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi.
4.
Status
kekalifahan berlaku umum untuk setiap manusia, namun tidak berarti selalu punya
hak yang sama dalam mendapatkan keuntungan. Kesamaan hanya dalam kesempatan,
dan setiap individu dapat menikmati keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya.
5.
Individu-individu
memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Hak dan kewajiban
ekonomi individu disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan
dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial.
6.
Dalam
Islam, bekerja dinilai sebagai kebaikan dan kemalasan dinilai sebagai
kejahatan. Ibadah yang paling baik adalah bekerja dan pada saat yang sama
bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban.
7.
Kehidupan
adalah proses dinamis menuju peningkatan. Allah menyukai orang yang bila dia
mengerjakan sesuatu melakukannya dengan cara yang sangat baik.
8.
Jangan
membikin mudarat dan jangan ada mudarat.
9.
Suatu
kebaikan dalam peringkat kecil secara jelas dirumuskan. Setiap muslim dihimbau
oleh sistem etika (akhlak) Islam untuk bergerak melampaui peringkat minim dalam
beramal saleh.
C.
Etika Islam Dalam Distribusi
Ada beberapa etika islam yang dianjurkan dalam
kegiatan distribusi, yaitu :
1.
Selalu
menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas.
2.
Memberikan
informasi tentang barang secara jujur dan transparan, apa adanya, tidak
menggoda, dan menjerumuskan pembeli.
3.
Tidak
mendistribusikan barang-barang yang membahayakan dan yang diharamkan.
4.
Melakukan
metode distribusi bersifat jujur, memegang amanah dan berdakwah.
5.
Tidak
mengurangi ukuran, standar, kualitas, timbangan secara curang.
6.
Harus
tetap menjaga sifat adil dalam segala bentuk.
7.
Melarang
kegiatan monopoli ang merusak kepentingan sosial.
8.
Menganjurkan
sifat saling menolong, toleransi, dan sedekah.
9.
Tidak
melakukan praktik rakus laba.
10. Membebaskan konsumen memilih keinginanya, tidak
melakukan paksaan dan memberikan kepada konsumen untuk mengembalikan barangnya
jika salah beli.
D.
Tujuan Distribusi Dalam Ekonomi Islam
Ekonomi Islam mempunyai sistem distribusi yang
merealisasikan beragam tujuan yang mencakup berbagai bidang kehidupan dimana
distribusi tersebut dikelompokan menjadi empat bagian,antara lain
1.
Tujuan dakwah` Yang dimaksud dakwah disini adalah dakwah kepada Islam
dan menyatukan hati kepada Allah. Contohnya; bagian muallaf di dalam
zakat.dimana muallaf itu adakalanya orang kafir yang diharapkan keIslamannya.
2.
Tujuan pendidikan Secara umum bahwa
distribusi dalam perspektif ekonomi Islam dalam mewujudkan beberapa tujuan
pendidikan. Pendidikan terhadap akhlak
terpuji, seperti suka memberi, berderma dan mengutamakan orang lain dan Mensucikan dari akhlak tercela, seperti pelit, egois dll.
3.
Tujuan sosial Tujuan sosial terpenting bagi distribusi adalah :
a.
Memenuhi kebutuhan
kelompok yang membutuhkan, dan menghidupkan prinsip solidaritas di dalam
masyarakat muslim.
b.
Menguatkan ikatan cinta
dan kasih sayang di antara individu dan kelompok di dalam masyarakat.
c.
Mengikis sebab-sebab
kebencian dalam masyarakat, yang akan berdampak pada terealisasinya keamanan
dan ketentraman masyarakat.
d.
Keadilan dalam distribusi
yang mencakup pendistribusian sumber-sumber kekayaan
4. Tujuan ekonomi
a.
Pengembangan harta dan
pembersihannya, karena pemilik harta ketika menginfakan sebagian hartanya
kepada orang lain, baik infak wajib maupun sunnah, maka demikian itu akan
mendorongnya untuk menginvestasikan hartanya sehingga tidakakan habis karena
zakat
b.
Memberdayakan sumber daya
manusia yang menganggur dengan terpenuhi kebutuhannya tentang harta atau
persiapan yang lazim untuk melaksanakannya dengan melakukan kegiatan ekonomi.
c.
Andil dalam merealisasikan
kesejahteraan ekonomi, dimana tingkat kesejahteraan ekonomi berkaitan dengan
tingkat konsumsi . sedangkan tingkat konsumsi tidak hanya berkaitan dengan
bentuk pemasukan saja, namun juga berkaitan dengan cara pendistribusiannya
diantara individu masyarakat.
d.
Penggunaan terbaik
terhadap sumber ekonomi, contohnya : ketika sebagian harta orang kaya diberikan
untuk kemaslahatan orang-orang miskin, maka kemanfaatan total bagi pemasukan
umat bertambah. Sebab pemanfaatan orang-orang miskin terhadap harta tersebut
akan menjadi pada umumnya lebih besar daripada kemanfaatan harta tersebut masih
berada di tangan orang yang kaya.
Kepustakaan
Qardhawi,Yusuf. 2004. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Robbani
Press. Jakarta.
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-perinsip Ekonomi Islam,Erlangga,
Jakarta.
Madnasir, Khoiruddin. 2012. Etika bisnis dalam Islam, Permata
printing solution. Bandar Lampung
Nasution, Mustafa Edwin. 2007. Ekonomi Islam. Kencana. Jakarta.
Qardhawi, Yusuf (2006), Norma dan Etika Ekonomi Islam. Gema
Insani. Depok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar