A.
Keadaan Nusantara Sebelum Datangnya Islam.
1. Disintegrasi
Politik. Islam datang di
nusantara pada saat ketika pusat kekuasaaan hindu mengalami kemunduran. Pada
masa awal kedatangan islam sekitar abad ke 12 dan 13 Sriwijaya sebagai pusat
kekuasaan Hindu di Nusantara bagian barat mulai menunjukkan tanda-tanda
kemerosotan. Demikian pula ketika islam mulai berkembang secara luas sekitar
abad ke 15 kerajaan Majapahit sebagai pusat kerajaan Hindu di Nusantara bagian
Timur sudah menghadapi saat-saat keruntuhan. Kelemahan Sriwijaya memberikan
kesempatan islam untuk berkembang dan selanjutnya tumbuh sebagai kekuatan
politik. Pedagang-pedagang islampun menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul
dan menyatakan dirinya sebagai kerajaan islam. Demikianlah pada abad ke 12 di
pantai timur Sumatera Utara telah berdiri kerajaan Islam pertama Perlak.
Kemudian di ikuti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke 13 di Pantai
Timur laut Aceh. Kedua kerajaan Islam pertama di pantai Utara itu diberitakan
oleh Marcopolo yang singgah di daerah itu pada tahun 1292. Kedua kerajaan Islam
pertama itu merupakan hasil proses islamisasi di daerah-daerah pantai ujung
utara Sumatera yang mungkin telah disinggahi para pedagang-pedagang islam sejak
abad-abad sebelumnya. [1]
Agama Islam masuk dan datang
ke pulau Jawa pada saat Majapahit berkembang menuju ke puncak kekuasaannya.
Pertumbuhan dan perkembangan agama islam di Majapahit terutama di daerah-daerah
pesisir diperkirakan erat hubungannya dengan kerajaan-kerajaan Islam, seperti
Samudera Pasai. Hal itu nampak jelas dari banyaknya makam-makam islam di dekat
ibu kota Majapahit sendiri. Kedudukan masyarakat islam sebagai diberitakan oleh
Ma Huan diakui sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kerajaan Majapahit pada
umumnya.
2. Degenerasi
Sosial Budaya Merosotnya
kerajaan pusat kekuasaan Hindu seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
berpengaruh besat terhadap kehidupan social, ekonomi dan budaya. Perang yang
berkepanjangan, pemberontakan dan perebutan kekuasaan di kalangan raja-raja
mengakibatkan kemunduran perekonomian Negara dan rakyat. Rakyat tidak lagi
berkesempatan mengerjakan sawah ladangnya karena harus berperang. Perahu-perahu
yang seharusnya untuk berdagang di gunakan untuk mengangkut tentara.
Perekonomian bangsawanpun sendiri juga menjadi sangat merosot, karena bagi
mereka pun perang jelas hanya menghabiskan waktu, tenaga dan bahan-bahan
keperluan hidup. Kemunduran di bidang ekonomi berakibat pulamkemunduran di
bidang budaya. Tiada biaya lagi untuk memelihara bangunan-bangunan suci,
wihara-wihara. Seniman-seniman kehilangan mata pencaharian, sehingga tidak
dimungkinkan lagi terciptanya kreasi-kreasi baru di berbagai bidang seni
seperti seni bangunan, seni pahat dan patung dan kesenian kerajinan.
Disintegrasi kekuasaan politik membawa pula degenerasi di bidang social dan
budaya. [2]
B.
Teori
Kedatangan Islam Di Nusantara
Ada empat teori yang
membicarakan tentang datangnya islam di indonesia. Keempat teori ini memberikan jawaban atas permasalahan
tentang masuknya Islam ke Nusantara[3].
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perbedaan teori di atas disini akan
dibahas secara sederhana sebagi berikut :
1.
Teori Gujarat Teori ini dinamakan teori Gujarat bertolak dari
pandangan teori yang mengatakan asal Negara yang membawa Agama Islam ke
Nusantara adalah dari Gujarat. Adapun pelatak teori ini adalah Snouk Hurgronje
lebih menitik beratkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan: pertama, kurangnya
fakta yang menjelaskan peranan bangsa arab dalam penyebaran agama islam ke
nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga,
inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di sumatra memberikan
gambaran hubungan antara sumatra dan Gujarat.
Sejalan dengan
pendapat di atas ini, W.F. Stutterheim, mengatakan masuknya Islam ke Nusantara
pada abad ke-13. Pendapatnya juga didasarkan pada bukti batu nisan sultan
pertama dari kerajaan samudra, yakni Malik Al-Shaleh yang wafat pada 1297.
Selanjutnya ditambahkan tentang asal Negara yang mempengaruhi masuknya Agama
Islam ke Nusantara adalah Gujarat. Dengan alasan Islam disebarkan melalui jalan
dagang antar Indonesia-cambay (Gujarat) Timur
Tenggah-Eropa. Perkembangan
perkampungan Arab mulai berkembang hal ini mempengaruhi pula perkembangan Arab
yang terdapat di sepanjang jalan perdangangan di Asia Tenggara. Dari keterangan J.C. Van ini masuknya islam ke Nusantara tidak
terjadi pada abad ke-13 melainkan telah terjadi pada abad ke-7. Sedangkan abad
ke-13 merupakan saat perkembangan Islam.
Peranan Gujarat
sebagai pusat perdagangan Internasional, terutama sejak 1294 sebagai penyebaran
Islam, telah mendapat perhatian dari Schrieke dalam Indonesia Sosiological
studies. Ia menjelaskan berdasarkan keterangan laporan Marco Polo, karena Marco
Polo tidak berkunjung ke Gujarat. Tetapi mempertimbangkan hasil laporan sanudo.
Selanjutnya Schrieke memberikan gambaran tentang saling ketergantungan antara
malaka dengan cambay dan sebaliknya. Schrieke mengambarkan tentang peranan
Gujarat sebagai pusat perdagangan yang mempunyai kaitan yang erat antara
Indonesia dan India.
2.
Teori Makkah Dalam teori ini Hamka lebih mendasarkan
pandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa Agama Islam ke Indonesia.
Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan makkah sebagi
pusat, atau Mesir sebagai pengambilan ajaran Islam. Ia menambahkan pengamatan
pada masalah manzhab Syafi’i, sebagai mazhab yang istimewa di Makkah dan
mempunyai pengaruh yang besar di Indonesia[4].
Tetapi titik analsisnya pada permasalahan perdagangan yang dibaca adalah barang
yang didagang dan jalan perdagangannya. Sebaliknya penglihatan penelitian
hamka lebih tajam sampai permasalahan mazhab yang menjadi bagian laporan
kunjungan Ibnu Battutah ke Nusantara. Guna dapat mengetahui lebih lanjut mengenai
pendapat waktu masuknya Islam di Nusantara pada abad ke-7, perlu penjelasan
tentang peranan bangsa Arab dalam perdagangan di Asia yang dimulai sejak
abad ke-2 SM. Peranan ini tidak dibicarakan oleh penganut teori Gujarat.
Tinjauan tentang teori Gujarat mengharuskan peranan bangsa Arab dalam
perdagangan dan kekuasaan di lautan, yang telah lama mengenal samudera
Indonesia daripada bangsa-bangsa lainnya.
Informasi
sejarah menjelaskan bahwa bangsa Arab telah sampai ke Ceylon pada abad ke-2 SM.
Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi
bila kita hubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab Kuno yang menyebutkan Al-Hind
yang berarti India dan pulau-pulau yang sebelah timurnya sampai ke Cina, dan
Indonesia pun disebut sebagai pulau-pulau Cina, besar kemungkinan pada abad
ke-2 SM bangsa Arab telah sampai ke Indonesia hanya penyebutnya sebagia
pulau-pulau Cina atau Al-Hind.
Bila memang
telah ada antara hubungan bangsa Arab dengan Indonesia sejak abad ke-2 SM, Maka
bangsa Arab merupakan bangsa Asing yang pertama datang ke nusantara.
Berdasarkan keterangan yang dikemukakan oleh D.H. Burger dan Prajudi
Atmosudirdjo, bangsa dan Cina baru mengadakan hubungan dengan Indonesia pada
abad ke-1 M. Sedangkan hubungan Arab dan Cina terjadi jauh lebih lama, melalui
jalan darat menggunakan kapal sahara jalan darat ini sering disebut sebagai
jalan sutera, berlangsung sejak 500 SM. Timbulnya
perkampungan Arab baik dipantai barat Sumatra ataupun di Asia Tenggara dan
kanton, di tunjang oleh kekuatan laut Arab. Fakta ini memberikan bukti telah
terjadi hubungan Indonesia Arab jauh sebelum abad ke-13. Apakah target pengaruh
informasi yang bersifat Hindu sentris terhadap kalangan intelektual Indonesia
yang berpendidikan belanda, menampakkan kecintaan terhadap sejarah pra-Islam
Indonesia. Masuknya Agama Islam ke Nusantara terjadi pada
abad pertama hijriah atau abad ke-7 M. Pelaku bembawa Agama Islam adalah
Saudagar Arab, diikuti oleh Persia dan Gujarat, mereka bukanlah anggota misi,
meski pada hakekatnya setiap orang islam mempunyai kewjiban misi.
3.
Teori Persia Fokus teori ini menjelaskan tentang masuknya
Islam ke nusantara berbeda dengan teori gujarat dan teori makkah, sekalipun
mempunyai persamaan tentang gujaratnya, serta mazhab Syafi’i-nya. Teori persia
lebih menjelaskan tentang kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam
Indonesia yang dirasakan mempunyai kesamaan dengan persia[5].
Dan adapun kesamaan tentang budaya kita dapat melihat antara lain.
·
Peringatan hari muharram atau Asyura sebagai
hari peringatan Syiah atas kematian syahidnya husain.
·
Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh
siti Jenar dengan ajaran sufi iran Al-Hallaj.
·
Nisan pada makam malikus saleh dan makam malik
ibrahim di gersik di pesan dari gujarat. Dalam hal ini teori persia mempunyai
kesamaan mutlak dengan teori gujarat. Tetapi berbeda dengan pandangan G.E
Morrison.
·
Pengakuan umat islam di indonesia terhadap
mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang paling utama.
Menjawab teori
Persia diatas, K.H. saifuddin Zuhri sebagai salah seorang peserta
seminar(1963), menyatakan sukar untuk mendapat tentang kedatangan Islam ke
Nusantara berasal dari Persia. Alasan yang dikemukakan oleh K.H. Saifuddin
Zuhri, bila kita berpedoman kepada masuknya Agama Islam ke Nusantara pada abad
ke-7, hal ini terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Ummayah. Saat itu
kepemimpinan Islam di bidang Politik, Ekonomi dan Kebudayaan berada di tangan
Bangsa Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah, Madinah,
Damaskus, dan Bagdad, jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan Dunia
Islam.
4.
Teori Cina Teori Persia menyatakan
bahwa islam datang ke nusantara bukan dari Arab maupun Guzarat melainkan dari
Cina. Muslim Cina di Kanton telah datang ke Jawa, sebagian ke Kedah dan
Sumatera pada abad ke 9M. Mereka datang sebagai pengungsi, akibat penumpasan
pada masa Huang Chou yang di lakukan pada penduduk di Katon Selatan yang
mayoritas beragama Islam[6].
Pada abad berikutnya peranan Cina semakin tampak. Adanya bukti-bukti artefak,
yakni: Adanya unsur-unsur Cina dalam arsitektur masjid kuno Jawa, seperti
tampak pada mesjid Banten, Pustaka, yang berbentuk bola dunia yang menyerupai
Stupa dengan di kelilingi empat ular yang hampir selalu ada di mesjid-mesjid
kuno di Jawa sebelum arsitektur Timur Tengah memasuki wilayah ini.
Dari uraian di atas dapat kita lihat perbedaan
dan persamaan ketiga teori Gujarat, Makkah, dan persia. Antara teori Gujarat dan Persia terdapat
kesamaan pandangan mengenai masuknya Agama Islam ke Nusantara yang berasal
Gujarat. Perbedaannya terletak pada teori Gujarat yang melihat ajaran
Islam mempunyai kesamaan dengan ajaran Mistik India, sedangakan teori Persia
memandang adanya kesamaan antara sufi di Indonesia dengan Persia, dan menjadi
tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia. Dalam hal memandang Gujarat sebagai
tempat singgah bukan pusat, sependapat dengan teori Makkah. Tetapi teori MAKKAH
memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan laut antara Indonesia
dengan timur Tenggah, sedangkan ajaran Islam di ambilnya dari Makkah atau
Mesir. Teori Gujarat tidak melihat adanya peran Arab
dalam perdagangan, ataupun dalam penyebaran Agama Islam di Indonesia. Teori ini
lebih melihat peranan pedagang India yang beragama Islam daripada bangsa Arab
yang membawa ajaran asli. Oleh karena itu, bertolak dari inskripsi tertua dan
laporan perjalanan Marko Polo ditetapkan daerah Islam yang pertama di Nusantara
adalah Samudra Pasai, dan waktunya pada abad ke- 13. Sebaliknya teori Mekkah,
tidak dapat menerima pada abad ke -13 sebagai saat masuknya karena dianggap
saat- saat perkembangan Islam di Nusantara, dan saat itulah berdiri kekuasaan
Islam. Sedangkan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke- 7, 200 tahun
sebelum dibangunnya candi Budha Borobudur dan 500 tahun sebelum berdirinya
kerajaan Majapahit. Dasar penentuan waktunya bertolak dari berita Dinasti Tang.
Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh Mazhab Imam
Syafi’i di Indonesia tetapi juga dijadikan sebagai argumen besarnya pengaruh
India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dalam melihat mazhab Syafi’i
merupakan pengaruh mazhab Syafi’i yang berkembang kuat di Malabar. Dari Malabar
inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India Islam ke Indonesia. Jadi teori
Persia tidak melanjutkan hubungan mazhab Syafi’i Indonesia dengan pusatnya,
yakni Mekkah dan Mesir.
Walaupun dalam ketiga teori ini tidak
terdapat titik temu, namun mempunyai persamaan pandangan yakni Islam sebagai Agama
yang berkembang di Nusantara melalui jalan damai dan Islam tidak mengenal
adanya misi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen dan Katolik.
C.
Sejarah Awal Masuknya Islam Di Nusantara
Mengenai perdagangan dan para pedagang dalam
mengislamkan masyarakat di Nusantara, dimana pengaruh dan penyebaran islam
efektif sekali. Hal ini disebabkan karena banyak orang yang begitu saja
tertarik untuk mmemeluk agama islam sebelum mempelajari syariat agama secara
terperinci. Sejak awal abad
masehi, sudah ada rute- rute pelayaran dan perjalanan antara kepulauan
Indonesia dengan berbagai wilayah di daratan Asia Tenggara. Di wilayah Barat
Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa konu merupakan wilayah yang menjadi
titik perhatian[7].
Pedagang- pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke
kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke -7 M, ketika Islam pertama
kali berkembang di Timur Tengah.
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan
India juga ada yang sampai kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke 7
M (abad 1 hijriah), ketika Islam pertama kali perkembang di timur tenggah.
Hubungan perdagangan ini menjadi hubungan penyebaran Islam di Indonesia. Sejak abad pertama nusantara yang menghasilkan
komuditi penghasil rempah-rempah dan banyak disukai di Eropa (romawi) masa itu
menyebabkan pedagang-pedagang arab singgah dipantai barat Sumatera dan Selat
Malaka yang menghubungkan Imperium Timur. Pedagang Arab sudah menjadi pengatur
jalur perdagangan barat-timur.[8] Paling tidak ada dua pendapat mengenai masuknya
Islam di Indonesia.
Pertama pendapat lama, yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abat
ke-13 M. Pendapat ini dikemukakan oleh para sarjana, antara lain N.H.Krom dan
Van Den Berg. Kemudian pendat pertama mendapat sanggahan dan bantahan. Kedua
pendapat baru yang menyatakan bahwa islam masuk ke indonesia pada abad ke-7
atau abad 1 hijriah pendapat baru ini dikemukakan oleh H. Agus Salim, M. Zainil
Arifin Abbas, hamka, dll.
Menurut seminar masuknya Islam di Indonesia di medan
tahun 1963, Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 M. Seminar masuknya Islam
di Indonesia tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut :
·
Menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam
untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriah(abad
ke-7) langsung dari Arab.
·
Daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah
pesisir Sumatra, dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja
Islam yang pertama berada di Aceh.
·
Dalam proses pengislaman selanjutnya,
orang-orang Indonesia aktif mengambil bagian.
·
Mubaligh-mubaligh Islam yang pertama-tama itu
sebagai penyiar Islam juga sebagai saudagar.
·
Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan denga
cara damai.
·
Kedatangan Islam di Indonesia, membawa
kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa
Indonesia.
Pendapat senada tentang masuknya Islam di
Indonesia dikemukakan oleh Thomas W. Arnold dalam the preaching Islam, ia
mengatakat, “mungkin Agama ini telah dibawa kemari oleh pedagang-pedagang Arab
sejak abad-abad pertama hijriah, lama sebelum kita memiliki catatan
ssejarah dimana sebenarnya pengaruh mereka telah mulai terasa.
Menurut literatur kuno tiongkok, sekitar tahun
625 M telah ada sebuah perkampungan arab Islam di pesisr pantai sumatra. Jadi
hanya 9 tahun sejak rasulullah saw memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka,
di pesisir pantai sumatra sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Akat
tetapi, pada priode ini islam belum berkembang secara menyeluruh dan hanya
beberapa wilayah yang sudah memeluk Islam, misalnya sebagian sumatra dan
sebagian pantai utara jawa.
D.
Peranan Saudagar Muslim dalam Penyebaran Agama Islam
Penyebaran Islam di Indonesia tidak terlepas
dari peran saudagar muslim, ulama dan mubaligh melalui proses perdagangan,
hubungan sosial dan pendidikan. Para ulama Jawa terkenal dengan sebutan “Wali
9”. Beberapa sejarawan menyebutkan, bahwa awal masuknya Islam ke Indonesia pada
abad ke-7, ada pula pendapat lain yang menyatakan pada abad 13. Agama Islam
dibawa dan dikembangkan oleh para saudagar muslim dari Gujarat, Arab, dan
Persia. Agama ini
diterima di Indonesia tidak hanya kalangan bangsawan tetapi juga tokoh
masyarakat kepla suku dan para uleebalang (ketua adat). Agama Islam disebarkan
dimulai dari daerah pesisir hingga ke daerah yang terletak di daerah terpencil
(pedalaman)[9].
Penyebaran Islam di Pulau Jawa di koordinir
oleh wali-wali melalui organisasi/dewan dakwah wali songo yang beranggotakan
sembilan wali. Wali adalah seorang yang berkepribadian baik, dekat dengan
Allah, mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Pendapat lain
wali adalah orang yang selalu dijaga oleh Allah dan senantiasa berbakti
kepadaNya. Pengembangan
agama Islam di Jawa oleh wali 9 dilakukan sejak abad 14-16 M.[10]
Para wali 9 tersebut tidak hanya sebagai juru da’i tetapi juga berpengaruh
besar dalam pemerintahan oleh karenanya mendapatkan gelar Sunan (Suguhanan,
Junjungan), yaitu :
a.
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) Berasal
dari wilayah Maghribi (Afrika Utra). Dia selama 20 tahun berada di Gresik
mencetak kader, oleh karenanya dikenal sebagai sunan Gresik.
b.
Sunan Ampel (Maulana Rahmatullah). Permulaan
dakwahnya dimulai dipesantren yang didirikannya di Ampel Denta (dekat
Surabaya). Sunan Ampel juga dianggap sebagai penerus cita-cita dan perjuangan
sunan Gresik.
c.
Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim). Sunan
ini berupaya menyesuaikan dakwahnya dalam hal pewayangan dan musik gamelan.
Setiap bait lagu diselingi dengan ucapan dua kalimat Syahadat (syahadatain atau
sekaten).
d.
Sunan Drajat (Maulana Syarifudin). Wali ini
dikenal sebagai wali yang berjiwa dan sosial tinggi . Wali ini hidup pada masa
kerajaan Mojopahit runtuh dan rakyat dalam krisis yang memprihatinkan. Dia juga
menggunakan seni sebagai media dakwahnya, yaitu pangkur sebagai alat seni
lipfak.
e.
Sunan Giri (Maulana Umar Said). Aslinya bernama
Raden Paku merupakan seorang wali yang menyebarkan agama Islam dengan menitik
beratkan pada bidang pendidikan agama Islam.
f.
Sunan Kalijaga (Maulana Muhammad Syahid). Wali
ini dikenal sebagai budayawan dan seniman. Wali ini berdakwah dengan cara
berkelana. Sarana dakwahnya adalah wayang kalif yang memuat nilai-nilai
keislaman. Lagu yang diciptakannya adalah dandanggula.
g.
Sunan Muria (Maulana Umar Said). Wali ini
terkenal pendiam tapi fatwahnya sangat tajam, oleh karena itu dia dikenal
sebagi seorang sufi, bahkan guru tasawuf. Dia juga menyukai seni nuasa
keislaman. Dia juga menciptakan lagu sinom dan kinanti.
h.
Sunan Kudus (Maulana Ja’far Shadiq). Wali ini
mendapat gelar waliyul alim (orang yang luas ilmunya). Karena memiliki ilmu
tauhid dan fikih. Oleh karenanya dikenal sebagai sunan Kudus. Dia membangun
masjid di Kudus yang disebut Menara Kudus.
i.
Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif
Hidayatullah). Wali ini menyebutkan Islam di Cirebon Jawa Barat. Ia cucu Raja
Pejajaran yang lahir di Makkah – setelah dewasa menggantikan pamannya sebagai
raja dan berhasil menjadikan Cirebon sebagai kerajaan Islam pertama di Jabar.
Selain Wali Songo juga terdapat wali-wali yang
juga memiliki peran penting, diantaranya Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang
dari Demak), Syaikh Qurrotul Ain, dll. Adapun Wali yang berjasa dalam penyebaran Islam diluar Jawa adalah
a.
Shekh Samsudin di Kalimantan Barat
b.
Datuk Rebondong di Sulawesi
c.
Sunan Giri di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Ternate dan Maluku.
d.
Shekh Burhanuddin di Ulakan Minangkabau
E.
Proses
Islamisasi Di Nusantara
Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia,
terdapat negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatera terdapat kerajaan Sriwijaya
dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha
dan Kutai. Agama Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari
kebanyakan rakyat yang telah memeluk agama Hindu[11].
Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama Hindu,
karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan
dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagang-pedagang yang hidup di bawah
kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran orang
kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota
masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah
makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam,
ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih tinggi dari pada orang-orang yang
bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat menempati kedudukan bawahan.[12]
Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena
adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama
Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam
masa-masa kegoncangan politik , ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama
dengan mudah dapat memasuki & mengisi masyarakat yang sedang mencari pegangan
hidup, lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam
menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang
telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan
saling pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi
masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah
golongan pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan
sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia.[13]
Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran
dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara,
dan timur Asia. Kedatangan pedagang-pedagang muslim seperti halnya yang terjadi
dengan perdagangan sejak zaman Samudra Pasai dan Malaka yang merupakan pusat
kerajaan Islam yang berhubungan erat dengan daerah-daerah lain di Indonesia,
maka orang-orang Indonesia dari pusat-pusat Islam itu sendiri yang menjadi
pembawa dan penyebar agama Islam ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Tata
cara islamisasi melalui media perdagangan dapat dilakukan secara lisan dengan
jalan mengadakan kontak secara langsung dengan penerima, serta dapat pula
terjadi dengan lambat melalui terbentuknya sebuah perkampungan masyarakat
muslim terlebih dahulu. Para pedagang dari berbagai daerah, bahkan dari luar
negeri, berkumpul dan menetap, baik untuk sementara maupun untuk
selama-lamanya, di suatu daerah, sehingga terbentuklah suatu perkampungan
pedagang muslim. Dalam hal ini orang yang bermaksud hendak belajar agama Islam
dapat datang atau memanggil mereka untuk mengajari penduduk pribumi.
Selain itu, penyebaran agama Islam dilakukan dgn cara
perkawinan antara pedagang muslim dgn anak-anak dari orang-orang pribumi,
terutama keturunan bangsawannya. Dengan perkawinan itu, terbentuklah ikatan
kekerabatan dgn keluarga muslim. Media seni, baik seni bangunan, pahat, ukir,
tari, sastra, maupun musik, serta media lainnya, dijadikan pula sebagai media
atau sarana dalam proses islamisasi[14].
Berdasarkan berbagai peninggalan seni bangunan dan seni ukir pada masa-masa
penyeberan agama Islam, terbukti bahwa proses islamisasi dilakukan dengan cara damai. Kecuali itu,
dilihat dari segi ilmu jiwa dan taktik, penerusan tradisi seni bangunan dan
seni ukir pra-Islam merupakan alat islamisasi yang sangat bijaksana dan dengan
mudah menarik orang-orang nonmuslim untuk dengan lambat-laun memeluk Islam
sebagai pedoman hidupnya. Dalam perkembangan selanjutnya, golongan penerima
dapat menjadi pembawa atau penyebar Islam untuk orang lain di luar golongan
atau daerahnya. Dalam hal ini, kontinuitas antara penerima dan penyebar terus
terpelihara dan dimungkinkan sebagai sistem pembinaan calon-calon pemberi
ajaran tersebut.
Biasanya santri-santri pandai, yang telah lama belajar
seluk-beluk agama Islam di suatu tempat dan kemudian kembali ke daerahnya, akan
menjadi pembawa dan penyebar ajaran Islam yang telah diperolehnya. Mereka
kemudian mendirikan pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga
yang penting dalam penyebaran agama Islam. Agama Islam juga membawa perubahan
sosial dan budaya, yakni memperhalus dan memperkembangkan budaya Indonesia.
Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia selalu
terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan mengalami proses
pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di berbagai
tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat
setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan
unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut
dilakukan oleh penyebar Islam karena di Indonesia telah sejak lama terdapat
agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme. Pada umumnya kedatangan Islam dan
cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan maupun rakyat umum dilakukan
dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai sarana dakwah oleh para mubalig
atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan bangsawan menjadikan Islam
sebagai alat politik untuk mempertahankan atau mencapai kedudukannya, terutama
dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.
F.
Perkembangan
Islam Di Nusantara
Kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia tidaklah
bersamaan. Demikian pula dengan kerajaan-kerajaan dan daerah yang didatanginya,
ia mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Pada waktu
kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 dan ke-8,
Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh para pedagang muslim dalam pelayarannya
ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur[15].
Berdasarkan berita Cina zaman T‟ang pada abad-abad tersebut, diduga masyarakat
muslim telah ada, baik di kanfu (kanton) maupun di daerah Sumatra sendiri.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara
negeri-negeri di Asia bagian barat atau timur mungkin disebabkan oleh kegiatan
kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian barat maupun kerajaan Cina zaman
dinasti T‟ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara Adalah
suatu kemungkinan bahwa menjelang abad ke-10 para pedagang Islam telah menetap
di pusat-pusat perdagangan yang penting di kepulauan Indonesia, terutama di
pulau-pulau yang terletak di Selat Malaka, terusan sempit dalam rute pelayaran
laut dari negeri-negeri Islam ke Cina[16].
Tiga abad kemudian, menurut dokumen-dokumen sejarah tertua, permukiman
orang-orang Islam didirikan di Perlak dan Samudra Pasai di Timur Laut pantai
Sumatra[17].
Saudagar-saudagar dari Arab Selatan semenanjung tanah Arab
yang melakukan perdagangan ke tanah Melayu sekitar 630 M (tahun kesembilan
Hijriah) telah menemui bahwa di sana banyak yang telah memeluk Islam. Hal ini
membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad-abad pertama
Hijriah, atau sekitar abad ke tujuh dan kedelapan Masehi yang dibawa langsung
oleh saudagar dari Arab. Dengan demikian, dakwah Islam telah tiba di tanah
Melayu sekitar tahun 630 M tatkala Nabi Muhammad saw. masih hidup. Keterangan
lebih lanjut tentang masuknya Islam ke Indonesia ditemukan pada berita dari
Marcopolo, bahwa pada tahun 1292 ia pernah singgah di bagian utara daerah Aceh
dalam perjalanannya dari Tiongkok ke Persia melalui laut.
Di Perlak ia menjumpai penduduk yang telah memeluk Islam dan
banyak para pedagang Islam dari India yang giat menyebarkan agama itu. Para
pedagang muslim menjadi pendukung daerah-daerah Islam yang muncul kemudian, dan
daerah yang menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam ialah
Samudra Pasai di pesisir timur laut Aceh. Munculnya daerah tersebut sebagai
kerajaan Islam yang pertama diperkirakan mulai abad ke-13. Hal itu dimungkinkan
dari hasil proses islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi
para pedagang muslim sejak abad ketujuh. Sultan yang pertama dari kerajaan
Islam Samudra Pasai adalah Sultan Malik al-Saleh yang memerintah pada tahun
1292 hingga 1297. Sultan ini kemudian digantikan oleh putranya yang bernama
Sultan Muhammad Malik az-Zahir. Kerajaan Islam Samudra Pasai menjadi pusat
studi agama Islam dan meru pakan tempat berkumpul para ulama Islam dari
berbagai negara Islam untuk berdis kusi tentang masalah-masalah keagamaan dan
masalah keduniawian.
Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, seorang pengembara asal
Maroko yang mengunjungi Samudra Pasai pada 1345, dikabarkan bahwa pada waktu ia
mengunjungi kerajaan itu, Samudra Pasai berada pada puncak kejayaannya. Dari
catatan lain yang ditinggalkan Ibnu Batutah, dapat diketahui bahwa pada masa
itu kerajaan Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat
kapal-kapal datang dari Tiongkok dan India serta dari tempat-tempat lain di
Indonesia, singgah dan bertemu untuk memuat dan membongkar barang-barang
dagangannya.
Kerajaan Samudera Pasai makin berkembang dalam bidang agama
Islam, politik, perdagangan, dan pelayaran. Hubungan dengan Malaka makin ramai,
sehingga di Malaka pun sejak abad ke-14 timbul corak masyarakat muslim.
Perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan akhirnya
pada awal abad ke-15 berdiri kerajaan Islam Malaka. Para penganut agama Islam
diberi hak-hak istimewa, bahkan telah dibangunkan sebuah masjid untuk mereka. Para
pedagang yang singgah di Malaka kemudian
banyak yang menganut agama Islam dan menjadi penyebar agama Islam ke seluruh
kepulauan Nusantara, tempat mereka mengadakan transaksi perdagangan. Kerajaan
Malaka pertama kali didirikan oleh Paramisora pada abad ke-15[18].
Menurut cerita, sesaat sebelum meninggal dalam tahun 1414,
Paramisora masuk Islam, kemudian berganti nama menjadi Iskandar Syah.
Selanjutnya, kerajaan Malaka dikembangkan oleh putranya yang bernama Muhammad
Iskandar Syah (1414–1445). Pengganti Muhammad Iskandar Syah adalah Sultan
Mudzafar Syah (1445–1458). Di bawah pemerintahannya, Malaka menjadi pusat
perdagangan antara Timur dan Barat, dengan kemajuan-kemajuan yang sangat pesat,
sehingga jauh meninggalkan Samudra Pasai. Usaha mengembangkan Malaka hingga
mencapai puncak kejayaannya dilakukan oleh Sultan Mansyur Syah (1458–1477)
sampai pd masa pemerintahan Sultan Alaudin Syah (1477–1488). Sementara itu,
kedatangan pengaruh Islam ke wilayah Indonesia bagian timur (Sulawesi dan
Maluku) tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara
pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut
tradisi setempat, sejak abad ke-14, Islam telah sampai ke daerah Maluku.
Disebutkan bahwa kerajaan Ternate ke-12, Molomateya (1350–1357), bersahabat
karib dengan orang Arab yg memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal, tetapi
agaknya tidak dalam kepercayaan. Pada masa pemerintahan Marhum di Ternate,
datanglah seorang raja dari Jawa yang bernama Maulana Malik Husayn yang menunjukkan
kemahiran menulis huruf Arab yang ajaib seperti yang tertulis dalam Alquran.
Hal ini sangat menarik hati Marhum dan orang-orang di Maluku. Kemudian, ia
diminta oleh mereka agar mau mengajarkan huruf-huruf yang indah itu.
Sebaliknya, Maulana Malik Husayn mengajukan permintaan, agar mereka tidak hanya
mempelajari huruf Arab, melainkan pula diharuskan mempelajari agama Islam.
Demikianlah Maulana Malik Husayn berhasil mengislamkan
orang-orang Maluku. Raja Ternate yang dianggap benar-benar memeluk Islam adalah
Zainal Abidin (1486–1500). Dari ketiga pusat kegiatan Islam itulah, maka Islam
menyebar dan meluas memasuki pelosok-pelosok kepulauan Nusantara. Penyebaran
yang nyata terjadi pada abad ke-16. Dari Malaka, daerah Kampar, Indragiri, dan
Riau menjadi Islam. Dari Aceh, Islam meluas sampai ke Minangkabau, Bengkulu,
dan Jambi. Dimulai sejak dari Demak, maka sebagian besar Pulau Jawa telah
menganut agama Islam[19].
Banten yang diislamkan oleh Demak meluaskan dan menyebarkan Islam ke Sumatra
Selatan[20].
Di Kalimantan, kerajaan Brunai yang pada abad ke-16 menjadi Islam, meluaskan
penyebaran Islam di bagian barat Kalimantan dan Filipina. Sedangkan Kalimantan
Selatan mendapatkan pengaruh Islam dari daratan Jawa. Dari Ternate semakin
meluas meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku serta daerah pantai timur
Sulawesi. Pada abad ke-16 di Sulawesi Selatan berdiri kerajaan Goa. Demikianlah
pada akhir abad ke-16 dapat dikatakan bahwa Islam telah tersebar dan mulai
meresapkan akar-akarnya di seluruh Nusantara.
Meresapnya Islam di Indonesia pada abad ke-16 itu bersamaan
pula dengan ditanamkannya benih-benih agama Katolik oleh orang-orang Portugis.
Bangsa Portugis ini dikenal sebagai penentang Islam dan pemeluk agama Katolik
fanatik. Maka, di setiap tempat yang mereka datangi, di sanalah mereka berusaha
mendapatkan daerah tempat persemaian bagi agama Katolik. Hal ini menurut
tanggapan mereka merupakan suatu tugas dan kewajiban yang mendapat dorongan
dari pengalaman mereka menghadapi Islam di negeri mereka sendiri. Ketika
pertahanan Islam terakhir di Granada jatuh pada 1492, maka dalam usaha mereka
mendesak agama Islam sejauh mungkin dari Spanyol dan Portugis, mereka
memperluas gerakannya sampai Timur Tengah yang waktu itu menjadi daerah
perantara perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Timur dengan Barat.
Timbullah kemudian suatu hasrat dalam jiwa
dagang mereka untuk berusaha sendiri mendapatkan rempah-rempah yang
menjadi pokok perdagangan waktu itu langsung dari daerah penghasilnya (Nusantara).
Dengan demikian, mereka tidak akan bergantung lagi kepada pedagang-pedangan
Islam di Timur Tengah.
G.
Jalur-jalur
penyebaran islam di Nusantara
Dari paparan
singkat tentang masuknya Islam di wilayah Nusantara di atas, dapat disimpulkan
bahwa penyebaran Islam di wilayah Nusantara melalui berbagai cara. Cara-cara
penyebaran Islam di wilayah ini secara singkat akan diuraikan dibawah ini.
a.
Jalur
perdagangan Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah
perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M.
Membuat pedagang-pedagang muslim (Atab,Persia dan India) turut ambil bagian
dalam perdagangan dari negri-negri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia[21].
Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para
raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka
menjadi pemilik kapal dan saham. Para pedagang Muslim banyak yang tinggal di pesisir Pulau Jawa yang
penduduknya ketika itu masih belum Muslim. Mereka berhasil mendirikan
masjidmasjid dan mendatangkan ulama dari luar Jawa sehingga jumlah mereka
semakin banyak. Mereka kemudian menjadi orang Jawa yang kaya. Di beberapa
tempat, terutama pesisir utara Jawa, kemudian banyak penguasa Jawa (para bupati
Majapahit) yang masuk Islam karena hubungan dagang ini. Mengutip
pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui perdagangan ini
di pesisir pulau jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil
mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah sehingga jumlah mereka
menjadi banyak, dan karenanya itu anak-anak muslim itu menjadi orang jawa dan
kaya-kaya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa jawa, yang menjabat sebagai
bupati-bupati majapahit yang di tempatkan di pesisir utara jawa banyak yang
masuk islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negara yang sedang goyah,
tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim.
Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan
kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.
b.
Jalur
sosial politik Penyebaran Islam di Nusantara juga ditempuh melalui jalur sosial
politik. Jalur sosial budaya yang paling populer adalah melalui jalur kesenian.
Inilah yang dilakukan misalnya oleh Sunan Kalijaga di Pulau Jawa dengan media
wayang. Dengan wayang ini Sunan Kalijaga menyisipkan dakwah Islam melalui
cerita-cerita wayang yang ditampilkan. Kesenian-kesenian lain yang juga menjadi
sarana penyebaran Islam adalah seni sastera, seni bangunan, dan seni ukir. Jalur politik
dalam penyebaran Islam ini dapat dilihat misalnya ketika mudahnya rakyat Maluku
memeluk Islam setelah rajanya terlebih dahulu memeluk Islam. Pengaruh politik
raja sangat membantu dakwah Islam di wilayah ini. Di tempat-tempat lain jalur
politik juga digunakan ketika kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan
non Islam yang pada akhirnya banyak menarik penduduk kerajaan-kerajaan yang
ditaklukkan ini untuk memeluk Islam.
c.
Jalur
pendidikan Cara yang juga efektif untuk
penyebaran Islam adalah dengan melalui jalur pendidikan. Jalur ini ditempuh
melalui lembaga-lembaga seperti pesantren atau pondok serta majlis-majlis
taklim yang diadakan oleh para ulama dan guru-guru agama. Para santri (murid)
yang sudah selesai dari pesantren ini kemudian kembali ke kampungnya
masing-masing untuk mendakwahkan Islam sehingga Islam menyebar di berbagai
penjuru desa.
d.
Jalur tasawuf Pengajar-pengajar
tasawuf atau para Sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang
sudah luas di kenal oleh masyarakat indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal
magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada yang
mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf “bentuk” islam yang di
ajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai kesamaan dengan alam pemikiran mereka
yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah di mengerti
dan mudah diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang
mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-islam itu adalah Hamzah
Fansuri di Aceh, Syaikh Lemah Abang, Dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran
mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M.[22]
e.
Jalur
perkawinan Dari sudut
ekonomis, para pedagang muslim memiIiki setatus sosaial yang lebih baik dari
pada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri
bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin,
merekaa diislamkan lebih dahulu, setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan
mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan
kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, adapula wanita muslim
yang dikawini oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini
masuk islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila
terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak
adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu turut mempercepat proses
islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel
dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan PutrinKawunganten, Brawijaya
dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (Raja pertama Demak ) dan
lain-lain.
f.
Jalur kesenian Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling
tekenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakn, Sunana Kalijaga adalah tokoh yang
paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah
pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan
kalimat syahadat. Sebagian cerita wayang masih di petik dari cerita Mahabarata
dan Ramayana, tetapi di cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan
islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (
hikayat, babad dan sebagainya) seni bangunan dan seni ukir[23].
g.
Jalur politik Di Maluku dan
Sulawesi selatan, kebanyakan semua rakyatnya masuk islam setelah rajanya masuk
islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya islam
didaerah ini. Di samping itu, baik di Sumatra dan Jawa maupun di Indonesia
bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan islam memerangi
kerajaan-kerajaan non-muslim. Kemenangan kerajaan islam secara politis banyak
menarik penduduk kerajaan bukan islam itu masuk islam.[24]
[1] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal. 19-25)
[2] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 26-27)
[3] Dedi Supriadi , M.ag. dkk Sejarah Peradaban
Islam (Bandung: Cv pustaka Setia 2008 Hal. 191)
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal
Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan 2002
cet.1 hal 18-19)
[5] Prof. Dr Hj. Ahmad M.sewang M.a dan Drs.
Wahyuddin,G. M.ag ( Makassar: 2010 CV. Alauddin Press hal 24-25)
[6] Prof. Dr Hj. Ahmad M.sewang M.a dan Drs.
Wahyuddin,G. M.ag ( Makassar: 2010 CV. Alauddin Press hal 27-28)
[7] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 32-37)
[8] Dedi Supriadi , M.ag. dkk Sejarah Peradaban
Islam (Bandung: Cv pustaka Setia 2008 Hal 190-191)
[9] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (
Jakarta: LP3ES cet.2 1996 hal 40-42)
[10] Dedi Supriadi , M.ag. dkk Sejarah Peradaban
Islam (Bandung: Cv pustaka Setia 2008 hal 196)
[11] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 10-18)
[12] Dedi Supriadi , M.ag. dkk Sejarah Peradaban
Islam (Bandung: Cv pustaka Setia 2008 hal 244-246)
[13] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal
Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan 2002
cet.1 hal 29)
[14] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 38-44)
[15] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal. 7)
[16] Dedi Supriadi , M.ag. dkk Sejarah Peradaban
Islam (Bandung: Cv pustaka Setia 2008 hal 209)
[17] Azyumardi Azra, Jaringan
Global dan Lokal Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan 2002 cet.1 hal 28)
[18] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal 34-39)
[19] Darmawijaya Kesultanan Islam di Nusantara
(Jakarta: Kautsar cet.1 2010 hal 64-66)
[20] Azyumardi Azra, Jaringan
Global dan Lokal Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan 2002 cet.1 hal 51)
[21] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 98)
[22] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 53)
[23] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal. 60)
[24] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam (Yogyakarta: Ombak 2012 Hal 79)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar