Jumat, 10 Februari 2017

Tafsir Ayat Ayat Tentang Riba



A.                 Ayat Tentang Riba dan Artinya
Dalam Al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga diantarannya turun setelah Nabi Hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang  di Makkah walaupun menggunakan kata riba (QS. Al-Rum (30) : 39) ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.[1] Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah riba diantaranya :
1.      Surat Ar-Ruum ayat 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم :39)“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
2.      Surat An-Nisaa’ Ayat 160 dan 161.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا 
(النساء : 160 ،161  “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
3.    Surat Ali Imron Ayat 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
4.    Surat Al-Baqarah Ayat 275-276.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia berhenti  maka  baginya  adalah  apa  yang telah berlalu  dan urusannya  adalah  kepada Allah dan barang siapa yang kembali lagi, maka  mereka  adalah penghuni  neraka yang kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi pendosa”.(QS. Al-Baqarah : 275- 276)
5.   Surat Al-Baqarah Ayat 278-279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279) “Hai orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah  dan  tinggalkanlah  sisa-sisa  riba. jika  memang  kamu  orang  yang  beriman.  Jika  kamu  tidak melakukannya,   maka   terimalah   pernyataan   perang   dari Allah  dan  rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat  maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak  pula  dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)[2]
B.                 Mufrodat Ayat Riba
Dalam Surat Ar-Ruum Ayat 39, terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami yakni:
 وَمَا آتَيْتُمْ
dan apa-apa yang kamu berikan
مِنْ زَكَاةٍ
berupa atau dari Zakat
مِنْ رِبًا
sesuatu dari Riba
 تُرِيدُونَ
yang kamu semua maksudkan atau kehendaki
 لِيَرْبُوَ
agar dia (harta tersebut) tambah
وَجْهَ اللَّهِ
untuk mencapai keridhoan Allah
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ
di dalam hartaya manusia
فَأُولَئِكَ
maka mereka yang berbuat itu
فَلَا يَرْبُو
maka riba itu tidak menjadikan bertambah
هُمُ
orang yang berbuat itulah
عِنْدَ اللَّهِ
di sisi Allah
الْمُضْعِفُونَ
yakni orang-orang yang melipat gandakan dalam (Pahalanya)
وَمَا آتَيْتُمْ
dan apa yang kamu berikan


Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba” itu bisa mengandung  ma’na tambahan secara mutlaq atau bahwa Riba secara bahasa bermakna :  Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar.[3] Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[4] Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam. Tetapi dalam lafadz yang terdapat dalam Surat Ar-Ruum ayat 39, tambah disini yang dimaksud tidak lahil hanyalah dalam perihal Pemberihan hadiah supaya orang yang memberi hadiah tersebut mendapat tambahan yang lebih. Ini sekilas dari pada uraian lafadz Riba yang dibaca Jer sebab kemasukan huruf Jer Min.
Lafadz yang terdapat dalam surat kedua Surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161 dalam masalah Riba yang telah disampaikan di atas terdapat beberapa kata diantaranya :
فَبِظُلْمٍ
maka disebabkan perbuatan zholim
وَأَخْذِهِمُالرِّبَا
dan disebabkan mereka mengambil atau memaksan riba
مِنَ الَّذِينَهَادُوا
orang-orang Yahudi
وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
padahal sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya
حَرَّمْنَا
kami haramkan
فَأُولَئِكَ
maka karena mereka
عَلَيْهِمْ
kepada orang Yahudi
وَأَكْلِهِمْ
mereka memakan
طَيِّبَاتٍ
yang baik-baik
 أَمْوَالَ النَّاسِ
harta benda manusia
أُحِلَّتْ
yang dulunya dihalalkan
 بِالْبَاطِلِ
dengan jalan bathil
لَهُمْ
bagi mereka orang Yahudi
وَأَعْتَدْنَا
kami telah menyediakan
وَبِصَدِّهِمْ
dan karena mereka menghalalkan
 لِلْكَافِرِينَ
untuk orang-orang yang kafir
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
dari Jalam Allah
 مِنْهُمْ
diantara mereka itu
كَثِيرًا
Banyak
 عَذَابًا أَلِيمًا 
seksaan yang pedih

Lafadz فَبِظُلْمٍini diwali dengan huruf Fa’ dan Ba’, kalau Fa’nya ini dalah hurf Athof pada lafadz sebelumnya. Adapun huruf Ba’nya merupakan Ba’ Sababiyah yang mempuyai arti sebab, dalam lafadz فَبِظُلْمٍitu asalnya dari fiil Madhiظلمyang mempunyai arti hal meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidak adilan, penganiayaan, penindasan dan tidak sewenang-wenang. Maka sebab kedholiman orang Yahudi tersebut, maka Allah mengharamkan sesuatu yang dulunya sesuatu itu baik.
Surat Ali Imron ayat 130 sebagaimana di atas terdapat kata-kata diantaranya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang yang beriman
اللَّهَ
kepada Allah
لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
janganlah kamu memakan riba
لَعَلَّكُمْ
supaya kamu
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
dengan berlipat
 تُفْلِحُونَ
mendapat keberuntungan
وَاتَّقُوا
dan bertakwalah kamu



Lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا itu terdapat munada di dalamnya yakni lafadz  أيyang digunakan untuk munada yang mana sifatnya berupa isim mausul yang dipasang Al. juga bahwa lafadz diatas itu sudah kelaku dalam Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn Malik diutarakan dalam Nadhomyna :
وايها ذا ايها الذي ورد * ووصف اي بسوى هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya terdapat huruf  لَا nahi yang mempunyai arti larangan pada lafadzأَضْعَافًا مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا الرِّبَاyakni larangan atau jangan kamu semua memakan harta riba dengan berlipat ganda.
Dalam Surat Al-Baqoroh ayat 275 terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami dalam berbagai disiplin ilmu yakni:
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَا
Orang-orang yang makan/ mengambil Riba
مَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِ
peringatan dari Allah
لايَقُومُونَ
tidak dapat berdiri
فَانْتَهَى
Lalu ia berhenti 
إِلَّاكَمَايَقُومُ
melainkan seperti berdirinya
فَلَهُ
maka  baginya  adalah 
الَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُ
orang yang kemasukan syaitan
مَا سَلَفَ
apa  yang telah berlalu 
مِنَالْمَسّ
lantaran (tekanan) penyakit gila
وَأَمْرُهُ
dan urusannya  adalah 
ذَلِكَ
Keadaan mereka yang demikian itu
إِلَى اللَّهِ
kepada Allah
بِأَنَّهُمْقَالُوا
adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat)
وَمَنْ
barang siapa
إِنَّمَا الْبَيْعُ
sesungguhnya jual-beli itu
 عَادَ
yang kembali lagi
مِثْلُ الرِّبَا
sama dengan riba
فَأُولَئِكَ
maka  mereka  adalah
 وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَ
padahal Allah telah menghalalkan jual-beli
أَصْحَابُ النَّارِ
penghuni  neraka
وَحَرَّمَالرِّبَا
dan mengharamkan riba
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka yang kekal di dalamnya
فَمَنْجَاءَهُ
Barang siapa yang datang kepadanya


Surat Al-Baqoroh ayat 276 terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami juga yakni:
 يَمْحَقُ اللَّهُ
Allah akan menghapus
وَاللَّهُ
Allah
الرِّبَا
Riba
لَا يُحِبُّ
tidak suka
وَيُرْبِي
dan melipat gandakan
كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
kepada orang-orang kafir lagi pendosa
الصَّدَقَاتِ
Sedekah



Dalam Surat yang kelima dalam urutan surat di atas yaitu Surat Al-Baqorah ayat 278 dan 279 Lafadz yang terkandung di dalamnya yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang yang  beriman
مِنَ اللَّهِ
dari Allah 
اتَّقُوا اللَّهَ
bertakwalah  kepada Allah
وَرَسُولِهِ
dan  dari rasul  Nya 
وَذَرُوا مَا بَقِيَ
dan  tinggalkanlah  sisa-sisa 
وَإِنْ تُبْتُمْ
dan  jika  kalian  bertobat
مِنَ الرِّبَا
Riba
فَلَكُمْ
maka  bagi kalian
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
jika  memang  kamu  orang  yang  beriman
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ
adalah modal-modal
 فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
Jika  kamu  tidak melakukannya
لَا تَظْلِمُونَ
kalian tidak berbuat zalim
فَأْذَنُوا
maka   terimalah 
وَلَا تُظْلَمُونَ
dan tidak  pula  dizalimi
بِحَرْبٍ
pernyataan   perang  



C.                 Asbabul Nuzul Ayat Riba
Riba adalah  kebiasaan  yang  telah  membudaya  di  kalangan masyarakat  Arab  jauh  sebelum  larangan  tentang  ini  berlaku.  Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang di kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman riba di dalam Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini menuju  kepada  keadaan  masyarakat  saat  itu  yang  memang  telah terbiasa  melakukan  muamalah ribawiyah atau transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Secara umum ada 4 periode turunnya ayat tentang riba,
1.      Ayat turun di kota Mekah yang berarti ayat tersebut adalah makiyah dan 3 ayat  lainnya  turun  di  kota  Madinah  yang  berati  ayat  tersebut  adalah madaniyah.  Ayat yang turun di Kota Mekkah adalah :
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)) Pada ayat ini  dijelaskan  bahwasanya  Allah  SWT  membenci riba  dan  perbuatan  riba tersebut  tidaklah  mendapatkan  pahala di  sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif[5].
2.      Periode kedua Allah SWT menurunkan ayat : Al Nisa’ Ayat 160-161. sebagaimana di atas. Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat  ini  merupakan  kisah  tentang  orang-orang  Yahudi.  Allah  SWT mengharamkan   kepada   mereka   riba   akan   tetapi   mereka   tetap mengerjakan  perbuatan  ini.  Pengharaman  riba  pada  ayat  ini  adalah pengharaman  secara  tersirat  tidak  dalam  bentuk  qoth’i/tegas,  akan tetapi  berupa  kisah  pelajaran  dari  orang-orang  Yahudi  yang  telah diperintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba tetapi mereka mereka tetap melakukannya,[6] hal ini juga dijelaskan al-Maroghi bahwasanya  sebagian  nabi-nabi  mereka  telah  melarang  melakukan perbuatan riba.[7]
3.      Periode ketiga Allah SWT menurunkan Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat  ini  menjelaskan  kebiasaan  orang  Arab  saat  itu  yang  sering mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda.  Ayat  ini  telah  secara  jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang  mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji (ربا فحش) yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.[8]
4.      Periode  terakhir  adalah  periode  pengharaman  mutlak,  yaitu Surat Al Baqarah ayat 278 s/d 279.
Ada  beberapa riwayat tentang riba  yang  menjadi  sebab-sebab turunnya ayat tentang riba, diantaranya :
a.       Riwayat  dari  Ibnu  Abbas  mengatakan  bahwa  ayat  ini  turun kepada  Bani  Amru  bin  Umair  bin  Auf  bin  Tsaqif.  Adalah  Bani Mughirah  bin  Makhzum  mengambil  riba  dari  Bani  Amru  bin  Umair bin  Auf  bin  Tsaqif,  selanjutnya  mereka  melaporkan  hal  tersebut kepada Rasulullah SAW dan beliau melarang mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba.[9]
b.      Berkata ‘Atho dan ‘Ikrimah  bahwasanya  ayat  ini  diturunkan kepada  Abbas  bin  Abdul  Mutholib  dan  Utsman  bin  Affan.  Adalah Rasulullah melarang keduanya untuk mengambil riba dari korma yang dipinjamkan  dan  Allah  SWT  menurunkan  ayat  ini  kepada  mereka, setelah mereka mendengar ayat ini mereka mengambil modal mereka saja tanpa mengambil ribanya.
c.       Berkata  Sadi:  Ayat  ini  diturunkan  kepada  Abbas  dan  Khalid bin Walid. Mereka melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan  uang  kepada  orang-orang  dari  Bani  Tsaqif.  Ketika Islam  datang  mereka  memiliki  harta  berlimpah  yang  berasal  dari usaha riba, maka Allah menurunkan ayat :
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Maka Nabi SAW bersabda :
“Ketahuilah setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba pertama yang saya hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthollib”.
D.                 Tafsir Ayat-Ayat Riba
Dalam ayat Al-Qur’an yang telah diutarakan di atas para Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam mentafsiri Ayat Al-Qur’an terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang pertama Surat Ar-Ruum ayat 39 dalam Kitab Jalalain karya Al-Imamaini yakni Syeh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin Abu Kar As Syuyuti, menafsiri bahwa Lafadz “وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا ”yakni umpamanya sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya dari apa yang telah diberikan orang lain memberikan kepadanya basalan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksudkan dalam masalah muamalah. Kemudian dilanjutkan lafadz “ لِيَرْبُوَ“ yakni orang-orang yang memberi itu, mendapatkan balasan yang bertambah banyak, dari sesuatu hadiah yang telah diberikan.sedangkan “ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ “ yang terdapat penjelasana yakni riba itu tidak menambah banyak inda Allah atau disisi Allah dalam arti tidak ada pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya. وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ ... ألحini bahwa orang-orang yang melakukan sedekah semata-mata karena Allah, untuk mendapatkan keridhoaan-Nya inilah yang akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam  ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin”.[10]
Dalam uraian di atas dalam kami simpulkan bahwa :
1.      Riba di dalam Muamalah yang tidak akan mendadikan tambah di sisi Allah atau Inda Allah.
2.      Tidak mendapat pahala orang yang melakukan riba atau tambahan.
3.      Anggapan salah yang ditolak, bahwa pinjaman riba yang pada diri orang yang memberi hadiah, seolah-olah menolong mereka yang membutuhkannya dan juga melakukan suatu perbuatan untuk mendekatitakarrub kepada Allah.
4.      Shodaqoh merupakan perkara yang dilipat-lipat gandakan oleh Allah kepada orang yang bersedekah.
5.      Ayat yang bersifat peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif atau perkara yang dilarang oleh Allah.
6.      Ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya “riba itu haram”.
Dalam surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161 para Ulama Tafsir berpendapat bahwa ; Lafaz فَبِظُلْمٍمِنَ الَّذِينَ هَادُوا artinya disebabkan keaniayaan atas perbutan orang-orang Yahudi, حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍyakni yang tersebut dalam Firman-Nya, “Kami haramkan setiap yang berkuku. “sampai akhir ayat وَبِصَدِّهِمْ yakni manusai عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ maksudnya agama-Nya كَثِيرًا . Juga dalam lafadz وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ ini di utarakan dalam kitab Taurat وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ yakni dengan memberi suap dalam pengadilan وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا yakni menyakitkan.[11]
Pada ayat ini Allah menjelaskan kalau riba adalah pekerjaan yang batil, maka dari itu Allah juga menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa Allah sudah menyiapkan mereka azab yang pedih. Sebagian ulama’ berkata : Orang-orang yang menghalalkan riba serta besar dosanya, maka diapun akan tahu betapa keadaan mereka-mereka kelak di hari akhirat, merka akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka, disamakan dengan orang kafir akan mendapat perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam la’nat.[12]
Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ini yang dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz لَا تَأْكُلُوا الرِّبَاأَضْعَافًا ini yang dimaksud adalah di dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةً ini maksudnya adala  الاجل misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan kata وَاتَّقُوا اللَّهَ  takutlah kamu semua orang Iman kepada Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba.  لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَini dengan maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka seksaan Allah.[13]. Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini penulis simpulkan bahwa :a. yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam, b.Peringatan untuk menjahui makan Riba, c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan Seksa dari Allah.
Surat Al Baqarah Ayat 275 – 276 bahwa :
الربا : الزيادة  والنمو[14]
Riba: secara bahasa berarti bertambah dan berkembang, sedangkan dalam terminologi syar’i berarti tambahan nilai dari modal yang diambil pemilik modal/debitor kepada peminjam/kreditor atas tempo yang diberikan.[15]
Menurut Ibnu Arabi, riba adalah sesuatu yang biasa dilakukan manusia  Arab  pada  masa Jahiliyah, seseorang berjual beli dengan orang lain dalam tempo waktu  tertentu, setelah datang temponya orang tersebut akan menagih ketika tagihan tidak bisa dilunasi  makaorang tersebut akan melipatgandakan pokok hartanya[16].
يَأْكُلُونَ الرِّبَا
Arti makan di sini adalah bermuamalah atau bertransaksi, disebutkan dengan kata makan karena pada umumnya kebanyakan   tujuan kepemilikan harta adalah untuk dimakan[17].
لَا يَقُومُونَ
Maksudnya dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat  nanti[18]. Hal ini juga seperti bacaan Abdullah bin Mas’ud yang menambahkan kata hari kiamat [19]. pada kalimat: لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Maksudnya berdiri tidak seimbang seperti orang gila [20].
مَوْعِظَةٌ
Maksudnya peringatan untuk kebaikan[21]. Yang dimaksud disini adalah larangan untuk meninggalkan riba[22].
Secara ringkas bahwa Ibnu Kasir menafsiri Surat Al-Baqarah ayat yang ke 275, yakni: bahwa orang yang memakan riba maka ketika mereka bangkit dari kuburannya pada hari kiamat melainkan seperti berdirinya orang gila pada saat dia mengamuk dan kesurupan Setan. Keadaan ini ada sebab dalam ayat di atas bahwa Allah SWT. sudah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba namun mereka berkata “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. Diperkuat dengan perkataan Ibnu Abbas yaitu “Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan seperti orang gila yang mengamuk”.[23]
يمحق الله الربا
Maksudnya Allah SWT akan mengurangi dan menghilangkan harta  riba  secara  keseluruhan  dari  pemiliknya  atau  menghilangkan berkahnya  sehingga  tidak  bermanfaat  bahkan  dan  diberi  hukuman  di akhirat[24].
ويربى الصدقات
Kebalikan riba maka sedekah Allah SWT akan menambah, mengembangkan dan  memperbanyak ganjaran dengan  berlipat ganda di akhirat[25]. Dalam Kitabnya Al Imamaini yakni Syeh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin Abu Kar As Syuyuti, menafsiri ayat Surat Al Baqarah ayat ke 275 di atas bahwa Lafadz الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا artinya mengambil Riba. Riba itu ialah tambahan dalam muamalah dengan uang dan bahan makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya, لَا يَقُومُونَ dari kubur-kubur mereka إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّyang menyerang mereka; minal massi berkata dengan yaquuumuuna. ذَلِكَ maksudnya yang menimpa mereka itu بِأَنَّهُمْmaksudnya disebabkan mereka mengatakanقَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَاdalam soal diperbolehkannya. Berikut ini kebalikan dari persamaan yang mereka katakan itu secara bertolak belakang, maka Firman Allah menolaknya.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَافَمَنْ جَاءَهُ, maksudnya sampai kepadanya مَوْعِظَةٌatau nasihat  مِنْ رَبِّهِ ,lafadz فَانْتَهَى, artnya tidak memakan riba lagi فَلَهُ مَا سَلَفَ artinya sebelum datangnya larangan dan doa tidak diminta untuk mengembalikannya  وَأَمْرُهُdalam memaafkannya terserah وَمَنْ عَادَ memakannya dan tetap meyamakannya dengan jual beli tentang halalnya, فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ  . mereka tetap di dalam neraka selamanya.[26]
Dalam ayat di atas telah ditafsiri oleh Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mundzir An Naisabuuri, sebagai Syaih Tanah Haram Makkah (242-319 H. / 856-931 M) .
Sesudah Allah menyebutkan sifat orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan kewajiban zakat disamping bersedekah kepada fakir miskin, dan selalu membantu perjuangan di jalan Allah dengan harta dan tenaganya, yang kesemuanya itu semata-mata karena mengharap ridha Allah, maka dalam ayat ini Allah menceritakan sifat orang yang menyalahgunakan kalimat menolong atau membantu, padahal sebenarnya ia mencari keuntungan bahkan mencekik dan menghisap darah. Mereka adalah pemakan riba. Allah menyatakan, bahwa mereka yang memakan riba tak akan dapat berdiri tegak dalam hidupnya di tengah masyarakat, melainkan bagaikan orang kesurupan setan. Sebab, ia takkan pernah tenang sesudah ia menghisap darah dan kekayaan dengan cara yang sekejam-kejamnya karena sasarannya selalu orang-orang yang membutuhkan bantuan dengan jalan menghutang. Lebih-lebih kelak jika bangkit dari kubur di hari kiamat ia bagaikan orang kesurupan yang dipermainkan setan.
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Pemakan riba (rentenir) akan dibangkitkan di hari kiamat bagaikan orang gila yang tercekik." Ibnu Abbas r.a. juga mengatakan, banwa kelak di hari kiamat akan dikatakan kepada pemakan riba: "Angkatlah senjatamu untuk berperang". Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat 275 ini.
Abu Hurairah r.a. menuturkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Ketika nulam Mi'raj aku melihat suatu kaum yang perut mereka bagaikan rumah. Dari dalamnya tampak adaular-ularyangmerayapkeluar. Kemudian aku bertanya, “Siapakah mereka itu, hai Jibril?' Jawab Jibril/Mereka adalah pemakan riba'."
Ketika menceritakan hadis tentang Isra' Samurah bin Jundub menyebutkan sabda Nabi SAW.: "Kemudian kami sampai ke sungai yang airnya merah bagaikan darah, dan di situ ada orang berenang, sementara di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu-batu. Apabila orang yang berenang itu datang ke tepi sambil membuka mulutnya, maka orang yang mengumpulkan batu itu memasukkan batu ke dalam mulutnya.'' Kemudian disebutkan dalam penjelasan-nya, bahwa itu adalah pemakan riba.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Maknanya: "Karena mereka telah menentang hukum Allah, dan mengatakan, bahwa jual beli itu sama dengan riba".
Dalam hal ini mereka mempergunakan qiyas yang terbalik dan keliru.
Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, yang mengetahui hakikat dan akibat dari segala sesuatu yang berguna sehingga dibolehkan dan yang berbahaya diharamkan-Nya. Sebab, Allah itu sayang kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya yang masih bayi.

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَاسَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
Maknanya: "Maka barangsiapa yang mendengar larangan Al­lah ini lalu berhenti, baginya apa yang telah lalu sebelum turunnya ayat yang mengharamkan ini, sebagaimana yang tersebut di ayat yang lain".عق الله عما سلق , maknanya: "Allah memaafkan apa yang telah lalu".Juga disebutkan dalam sabda Nabi saw. ketika Fathu Makkah: "Dan setiap riba yang terjadi di masa Jahiliyah terletak di bawah telapak kakiku, dan yang pertama aku hapus ialah riba yangdilakukan oleh Al-Abbas'. Sejak Nabi saw. bersabda begitu, maka orang yang biasa membayar bunga hutangnya dihentikan, dan yang harus dibayar hanya pokok hutangnya saja. Dan Nabi saw. tidak menyuruh mereka yang sudah menerima bunga riba itu untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya.
Ummu Yunus (al-Aliyah) binti Abqa' mengatakan, bahwa Ummu Bahnah ibunya Zaid bin Arqam (yakni bekas budaknya yang pernah dikumpulinya sehingga melahirkan anak) berkata kepada Aisyah r.a., "Ya Ummul Mukminin, kenalkah anda kepada Zaid bin Arqam?" Jawab Aisyah, "Kenal." Ummu Bahnah berkata, "Aku telah menjual kepadanya seorang hamba seharga delapan ratus dengan hutang sampai waktu membayarnya. Tetapi kini ia butuh uang, maka aku beli budak itu seharga enam ratus." Aisyah r.a. berkata, "Busuk sekaji pembelianmu itu. Sampaikanlah kepada Zaid, bahwa ia telah menggugurkan jihadnya bersama Rasulullah saw. Sunguh telah gugur jihadnya bersama Rasulullah saw. Sungguh telah gugur jihadnya, jika ia tidak segera bertobat." Ummu Bahnah bertanya, "Bagaimana pendapatmu jika aku halalkan yang dua ratus itu dan aku hanya menerima uang enam ratus saja?" Jawab Aisyah, "Ya, seharusnya memang begitu. Barangsiapa yang mendapat petunjuk Tuhannya lalu menghentikan perbuatan ribanya, maka baginya apa yang telah lalu sebelum ia ketahui. Yakni jika sudah mengetahui hukumnya, maka haram dan sebagai seorang muslim harus menghentikannya. Jika tidak, berarti ia menentang hukum Allah, berperang melawan Allah." (H.R. Ibnu Abi Hatim).
Keterangan atsar ini masyhur dan ini menjadi dalil haramnya menjual barang dengan hutang, kemudian dibeli kembali oleh penjualnya dengan harga kontan yang kurang dari harga pembeliannya.
 وَمَنْ عَادَmaknanya: "Dan barangsiapa yang mengulangi perbuatan ribanya sesudah mendapat keterangan ini, maka mereka layak menerima siksa Allah. Mereka adalah ahli neraka dan kekal di dalamnya".
Shohabat Jabir RA. menuturkan, bahwa ketika ayat 275 ini turun, Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa yang tidak menghentikan (meninggalkan) mukhabarah. maka hendaknya diberitahu, bahwa ia akan berperang dengan Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Mukhabarah ialah menggarapkan tanah kepada orang lain untuk minta bagian dari hasilnya. Muzabanah ialah membeli dengan caramenukar kurma ruthab yang masih basah di atas pohon dengan kurma yang sudah kering di atas tanah. Muhaqalah ialah membeli dengan menukar biji-biji (padi dan sebagainya) yang masih di pohon dengan padi yang sudah kering di tanah. Kesemua-nya itu diharamkan, karena tidak dapat diketahui persamaan timbangannya.
Ulama fiqih berpendapat, tidak mengetahui persamaan timbangan antara dua jenis barang sama dengan riba fadhal (menukar barang sejenis dengan kelebihan yang satu dari yang lainnya).
Dan urusan riba ini termasuk perkara sulit bagi kebanyakan ahli ilmu, sehingga Umar bin Khathab r.a. berkata,"Ada tiga hal yang aku inginkan, andaikan Rasulullah saw. memberi kepada kami pedoman untuk menjadi pegangan, yaitu hak waris nenek (datuk) dan kalalah serta beberapa masalah riba dan yang mirip dengan riba atau dapat menyebabkan riba."
An-Nu'man bin Basyir mengatakan, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
حرام فالوسيلة إليه مثله؛ لأن ما أفضى إلى الحرام حرام، كما أن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. وقد ثبت في الصحيحين، عن النعمان بن بشير، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "إن الحلال بين وإن الحرام بين، وبين ذلك أمور مشتبهات، فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام، كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه (رواه البخارى ومسلم )

"Sesungguhnya halal itu sudah jelas dan haram juga sudah jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar. Karenanya, barangsiapa yang menjaga diri dari perkarasyuhbat, bersih agama dan kehormatannya. Sebalilnya barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syuhbat maka ia akan jatuh ke dalam perkara haram, ^agaikan gembala yang memelihara ternaknya di sekiiar tempat terlarang, mungkin ternaknya terjerumus ke didalamnya."(H.R. Bufchari-Muslim).
Al-Hasan bin Ali r.a. mengatakan, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
"Tinggalkan apa yang anda ragukan, kerjakan apa yang
tidak anda ragukan. ".
(HR. Ashabus Sunan)
Dan di hadis lain disebutkan:

وفي الحديث الآخر: "الإثم ماحاكفي القلب وتردد تفيه النفس،وكرهت أن يطلع عليه الناس
"Dosa itu yang goyah dalam hati, dan ragu dalam perasaan, serta tidak suka dilihat orang. "
Di lain riwayat disebutkan:
استفت قلبك وإن أفتاك الناس المفتون
"Tanyakan kepada hatimu sendiri, meskipun sudah diberi fatwa oleh semua orang. "
Umar r.a. berkata,"Di antara ayat-ayat yang akhir turunnya ialah ayat tentang riba, dan Rasulullah saw. meninggal dunia sebelum menerangkan semua rinciannya kepada kami. Karena itu, tinggalkan riba dan semua yang meragukan."
Abu Sa'id mengatakan, bahwa Umar r.a. berkhotbah: "Sungguh, mungkin aku melarang kalian dari apa-apa yang mungkin berguna bagi kamu, dan termasuk di antara ayat-ayat yang terakhir turunnya ialah ayat tentang riba, sehingga ketika Rasulullah saw. meninggal dunia belum menerangkan semuanya kt?ada kita. Karena itu, tinggalkan apa yang kalian ragukan, untuk melakukan apa yang tidak meragukan."
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih)
Ibnu Mas'ud r.a. mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda, "Riba itu ada tujuh puluh tiga bab (cara)."
(HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Abu Hurairah mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda, "Riba itu ada tujuh puluii macam bagiannya, seringan-ringannya seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya."
(HR. Ibnu Majah)

E.                 Kandungan Hukum Ayat Riba
Berdasarkan  ayat-ayat  Al-Quran  dan  Sunnah  bahwa  terdapat larangan untuk melakukan transaksi  riba. Larangan  yang paling  jelas dari nash Al-Quran adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)  Ayat ini di dalam uslubnya adalah perintah, tetapi perintahnya adalah  untuk  meninggalkan.  Di  dalam  ushul  fiqih  larangan  terhadap sesuatu  adalah  berarti  perintah  untuk  berhenti  mengerjakan  sesuatu tersebut.  Dalam  hal  ini  larangan  untuk  mengerjakan  riba  berarti perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.[27] Disamping  ayat  di  atas  pengharaman  riba  juga  terdapat  pada ayat yang turun sebelum ayat ini, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Di  dalam  Hadits  bahkan  ada  beberapa  orang  yang  terkait dengan  orang  yang  bertransaksi  riba  ini  akan  mendapat  laknat  dari Allah SWT, yaitu:
عن جابر رضى الله عنه قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم : أكل الربا وموكلها وكاتبها وشاهديه وقال : هم سوء (رواه مسلم)
Artinya:  Dari  Jabir  r.a  berkata:  Rasulullah  SAW  melaknat pemakan  riba,  orang  yang  mewakili  riba,  penulis  riba,  dan  2  orang yang menjadi saksi dari transaksi riba, beliau bersabda: mereka adalah sama[28]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba adalah jika  dilakukan  dengan  berlipat  ganda  sebagaimana  ayat  di  atas  yang menyebutkan  larangan  untuk  tidak  memakan  riba  dengan  berlipat ganda.    Menjawab    hal    tersebut    bahwa    sesungguhnya    lafadz أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً  adalah  bukan  menunjukkan  bahwa  larangan  ini berlaku hanya kepada riba yang diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi  ayat  ini  hanya  menggambarkan  bahwa  keadaan  ketika  ayat tersebut  diturunkan  bahwa  masyarakat  Arab  ketika  itu  benar-benar melakukan  perbuatan  tercela  dengan  mengambil  riba  yang  berlipat ganda.  Turunnya  ayat  ini  adalah  fase  ketika  dari  turunnya  larangan riba  yang  secara  bertahap.  Artinya  larangan  sampai  fase  yang  ketiga ini  hanya  bersifat  larangan  terbatas  (juz’i),  akan  tetapi  selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara  jelas disebutkan  bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil keuntungan  dengan  riba  itu  yang  berlipat  ganda  maupun  yang  tidak berlipat  ganda.  Seperti  pengharaman  khomar,  bahwa  khomar  sedikit maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar  yang  merupakan  salah  satu  budaya  dari  masyarakat  Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya masyarakat Arab yang sangat  kuat,  oleh  karena  itu  Allah  SWT  dalam  pengharaman  riba menurunkannya  secara  bertahap  sama  seperti  pengharaman  khomar yang juga bertahap.
Ada satu kaedah fiqh yang terkait dengan hukum riba, yaitu :
اذا اتحد الجنسان حرم الزيادة والنساء واذا اختلف الجنسان حل التفاضل دون النساء

Artinya: Jika sama bentuk kedua barang maka haram (riba fadl dan nasi’ah) dan jika berbeda bentuk kedua barang maka boleh lebih nilai satu dengan yang lain tetapi tetap haram riba nasiah. [29]

Dalam kaedah ini dijelaskan bahwa ushul ribawyah yang sama haram  untuk  berbeda,  antara  gandum  dengan  gandum  haram  untuk ditukar dalam jumlah yang berbeda.
Selanjutnyaapakah transaksi ribawi akan merusak akad/ perjanjian jual-beli?  Berdasarkan kaedah   ushul fiqih terdapat perbedaan di kalangan ulama, yaitu:
1.   Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah akan menyebabkan rusaknya aqad muamalah tersebut. Artinya akad jual beli bisa batal ketika jual beli tersebut menggunakan transaksi riba di dalamnya.
النهى يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى المعاملات
2.   Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah tidak akan menyebabkan rusaknya akad muamalah tersebut. Artinya akad jual beli  tidak  batal  tetapi  jual  beli  tersebut  sah,  hanya  saja  hukum akadnya menjadi makruh. 
النهى لا يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى المعاملات
Di dalam perkembangannya bahwa riba terdapat dalam banyak
bentuk.  Salah  satu  bentuk  riba  adalah  bunga  bank.  Mengapa  bunga bank  haram?  Karena  terdapat  unsur  riba  jahiliyah  di  dalamnya. Pengertian riba sangat dikenal dekat di masyarakat  Arab sebagai riba nasi’ah.    Biasanya    orang    yang    memberi    hutang    ketika    jatuh tempo/waktu   pembayaran   akan   mengatakan   kepada   orang   yang berhutang  تقضي او تربيartinya hendak engkau lunasi hutangmu atau bertambah hutangmu? bertambah di sini adalah berlipat bunga hutang tersebut. Di dalam sistem bunga disamping bunga yang telah dihitung, ketika  jatuh  tempo  dan  belum  dibayar  maka  secara  otomatis  denda akan dikenakan yang akan semakin menambah hutang nasabah.  
Riba nasi’ah  pada  dasarnya  adalah  riba  tempo,  yaitu  ketika seseorang berhutang dalam  waktu berjangka yang telah ditetapkan maka ia  dikenakan  tambahan  berdasarkan  persentase  bunga  dari  sisa pokok hutangnya.
Selanjutnya banyak pertanyaan yang sebenarnya adalah ulangan yang ditanyakan orang-orang jahiliyah dahulu yang menyebutkan  bahwa  riba  adalah  sama  atau  identik  dengan  jual  beli. Bahkan  banyak  juga  pertanyaan-pertanyaan  kritis  bahwa  bank  Islam atau  Bank  Syariah   tidak   lebih   hanya   sama   dengan   bank-bank konvensional.  Untuk  menjawab  hal  ini  penulis  mengutip  pendapat Prof. A. Mannan yang  menyebutkan  beberapa  perbedaan  antara perdagangan/jual beli bebas bunga dan jual beli berbunga :
1.    Pengambilan  resikolah  yang  membedakan  antara  jual  beli  dan bunga. Bagi  perdagangan   normal   resiko   adalah   dasar   yang diperkenankan Islam, sedangkan bunga tetap dan tidak turun naik seperti laba.
2.    Bila modal yang diinvestasikan dalam perdagangan menghasilkan laba, ia merupakan hasil inisiatif, usaha, dan efesiensi, yang tidak terdapat pada bunga, yang hanya tahu untuk tanpa usaha.
3.    Perdagangan  adalah  produktif  dan  akan  mendapatkan  manfaat  sesudah bekerja, mengalami kesulitan dan berketerampilan, maka  seseorang  membuka  lapangan  kerja  dan  pertumbuhan  ekonomi. Adapun  bunga  terbukti  hanya  meningkatkan  krisis  dan  riskan terhadap resiko gejolak moneter.
4.    Perdagangan  salah satu faktor dominan  dalam    proses pembangunan     peradaban,  sedangkan bunga menciptakan kelemahan, dengan mementingkan keuntungan diri sendiri.[30]
F.                  Hikmah Diharamkannya Riba          
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya. Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:
1.      Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi: "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.”(Abu Nua'irn dalam Hilyah). Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2.      Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3.      Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
4.      Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi. Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.
Kepustakaan
[1] . Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung. Cet. I. hlm. 545.
[2]Depardemen Agama RI. Al Qur’an Dan Terjemahannya hlm. 86-87
[3]Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009. hlm. 37 diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation (Leiden: EJ. Brill, 1996) karya Abdullah Saeed.
[4]Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Wawasan Ulama dan Cendekiawan (Jakarta; Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999).
[5]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.390
[6]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.390
[7]Ahmad Musthofa al-Maroghi. Tafsir al-Maroghi.Jilid.2. Juz. 6 (Beirut: Dar al-  Fikr) hal. 18
[8]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. 390
[9]An-Nisabury. Asbab an-Nuzul. (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 58-59.
[10]Jalalaini, Tafsir Al Qur’an AL Karim, Jilid 1 hlm. 295.
[11]Jalalaini, Tafsir Al Qur’an AL Karim, Jilid 1 hlm. 82
[12]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemah Kitab Tafsir Ayat Ahkam, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003, hal. 324
                [13]Ibn Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi zadi, Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas, Dar Al-Fikr.hlm. 56.
[14]Ibnu  al-Manzhur.  Lisan  al-Arab.Jild.  14  (Beirut:  Dar  al-Fikr.  1990)  hal.  304. Lihat juga Majma al-Lughoh al-Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wasith. Jilid.1 ( Arab Saudi: al-Dar al-Handasah. 1985) hal. 338
[15]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.383
[16]Ibnu Arabi. Ahkam al-Quran.Jilid1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.320.
[17]Al-Baghwi.  Ma’alim  Tanzil  fi  al-Tafsir  wa  al-Takwil.  (Bairut:  Dar  el-Fikr. Juz.1.  1989)  hal.  397.  Lihat  juga  an-NisaburyTafsir  Ghoroib  al-Quran  wa Roghoib al-Furqon. Jilid. 2 ( Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1996 ) hal 60.
[18]Al-Baghwi……. hal.  397. Lihat juga Sayyidi Abdurrahman. Al-Jawahir Al-Hisan fi Tafsir al-Quran. (Libanon. Dar al-Kutub al_ilmiyah. Juz.1) hal. 216. 
[19]Ibnu  Katsir.  Al-Quran  al-Azhim.  Jilid.  1  (Beirut:  Dar al-Fikr.) hal.  275.  Lihat juga  Sayidi  Abdurrahman.  al-Jawahir  al-Hisan  fi  Tafsir  al-Quran.  Juz.1 (Libanon. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Bairut) hal. 216. 
[20]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.383.
[21]Muhammad Ali as-Shobuni. ……. hal. 383.
[22]Ibnu Katsir. ……… hal. 275
[23]Lihat Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, hal. 452
[24]Muhammad Ali as-Shobuni. ………. hal. 383.
[25]Muhammad Ali as-Shobuni. ……….. hal. 384.
[26]Jalalaini, Tafsir Al Qur’an AL Karim, Jilid 1 hlm. 40.
[27]Muhammad Hudri Bik. UshuL Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr. 1988) hal.199.
[28]Ibnu Hajar. Bulugh al-Maram. (Semarang: Toha Putra) hal.169.
[29]Muhammad Ali as-Shobuni. hal. 392.
[30] M.A  Mannan.  Ekonomi  Islam:  Teori  dan  Praktek.  Alih  bahasa:  Potan  Arif Harahap ( Jakarta: PT Intermasa. 1992) hal. 295-296. 
[31]Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009. hlm. 37 diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation (Leiden: EJ. Brill, 1996) karya Abdullah Saeed.
[32]Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Wawasan Ulama dan Cendekiawan (Jakarta; Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999).
[33]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung. Cet. I. hlm. 544.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...