A.
Ayat Tentang Riba dan Artinya
Dalam Al-Qur’an ditemukan
kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga diantarannya turun
setelah Nabi Hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah.
Yang di Makkah walaupun menggunakan kata riba (QS. Al-Rum (30) : 39)
ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia
diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak
dalam kesempatan yang lain.[1]
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus
melainkan diturunkan dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang
menjelaskan masalah riba diantaranya :
1.
Surat Ar-Ruum ayat 39
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ (الروم :39)“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
2.
Surat An-Nisaa’ Ayat 160
dan 161.
فَبِظُلْمٍ مِنَ
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ
نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
(النساء : 160 ،161 “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”
3. Surat Ali Imron Ayat 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
4. Surat Al-Baqarah Ayat 275-276.
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ
كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan
dari Allah. Lalu ia berhenti maka baginya adalah apa
yang telah berlalu dan urusannya adalah kepada Allah dan
barang siapa yang kembali lagi, maka mereka adalah penghuni
neraka yang kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan
sedekah dan Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi pendosa”.(QS.
Al-Baqarah : 275- 276)
5. Surat Al-Baqarah Ayat 278-279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279) “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba.
jika memang kamu orang yang beriman.
Jika kamu tidak melakukannya, maka
terimalah pernyataan perang dari
Allah dan rasul Nya dan jika kalian
bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat
zalim dan tidak pula dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)[2]
B.
Mufrodat Ayat Riba
Dalam Surat Ar-Ruum Ayat 39, terdapat beberapa kata yang
sebelumnya perlu kita fahami yakni:
وَمَا آتَيْتُمْ
|
dan apa-apa yang kamu berikan
|
مِنْ زَكَاةٍ
|
berupa atau dari Zakat
|
مِنْ رِبًا
|
sesuatu dari Riba
|
تُرِيدُونَ
|
yang kamu semua maksudkan atau kehendaki
|
لِيَرْبُوَ
|
agar dia (harta tersebut) tambah
|
وَجْهَ
اللَّهِ
|
untuk mencapai keridhoan Allah
|
فِي أَمْوَالِ
النَّاسِ
|
di dalam hartaya manusia
|
فَأُولَئِكَ
|
maka mereka yang berbuat itu
|
فَلَا يَرْبُو
|
maka riba itu tidak menjadikan bertambah
|
هُمُ
|
orang yang berbuat itulah
|
عِنْدَ
اللَّهِ
|
di sisi Allah
|
الْمُضْعِفُونَ
|
yakni orang-orang yang melipat gandakan dalam (Pahalanya)
|
وَمَا
آتَيْتُمْ
|
dan apa yang kamu berikan
|
Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba” itu bisa
mengandung ma’na tambahan secara mutlaq atau bahwa Riba secara bahasa
bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara
linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar.[3]
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil.[4]
Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prisip muamalah dalam Islam. Tetapi dalam lafadz yang terdapat dalam
Surat Ar-Ruum ayat 39, tambah disini yang dimaksud tidak lahil hanyalah dalam
perihal Pemberihan hadiah supaya orang yang memberi hadiah tersebut mendapat
tambahan yang lebih. Ini sekilas dari pada uraian lafadz Riba yang dibaca Jer
sebab kemasukan huruf Jer Min.
Lafadz yang terdapat dalam surat kedua Surat An-Nisa’
Ayat 160 dan 161 dalam masalah Riba yang telah disampaikan di atas terdapat
beberapa kata diantaranya :
فَبِظُلْمٍ
|
maka disebabkan perbuatan zholim
|
وَأَخْذِهِمُالرِّبَا
|
dan disebabkan mereka mengambil atau memaksan riba
|
مِنَ
الَّذِينَهَادُوا
|
orang-orang Yahudi
|
وَقَدْ نُهُوا
عَنْهُ
|
padahal sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya
|
حَرَّمْنَا
|
kami haramkan
|
فَأُولَئِكَ
|
maka karena mereka
|
عَلَيْهِمْ
|
kepada orang Yahudi
|
وَأَكْلِهِمْ
|
mereka memakan
|
طَيِّبَاتٍ
|
yang baik-baik
|
أَمْوَالَ النَّاسِ
|
harta benda manusia
|
أُحِلَّتْ
|
yang dulunya dihalalkan
|
بِالْبَاطِلِ
|
dengan jalan bathil
|
لَهُمْ
|
bagi mereka orang Yahudi
|
وَأَعْتَدْنَا
|
kami telah menyediakan
|
وَبِصَدِّهِمْ
|
dan karena mereka menghalalkan
|
لِلْكَافِرِينَ
|
untuk orang-orang yang kafir
|
عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ
|
dari Jalam Allah
|
مِنْهُمْ
|
diantara mereka itu
|
كَثِيرًا
|
Banyak
|
عَذَابًا
أَلِيمًا
|
seksaan yang pedih
|
Lafadz فَبِظُلْمٍini diwali dengan huruf
Fa’ dan Ba’, kalau Fa’nya ini dalah hurf Athof pada lafadz sebelumnya. Adapun
huruf Ba’nya merupakan Ba’ Sababiyah yang mempuyai arti sebab, dalam lafadz فَبِظُلْمٍitu asalnya dari fiil
Madhiظلمyang mempunyai arti hal
meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidak adilan, penganiayaan,
penindasan dan tidak sewenang-wenang. Maka sebab kedholiman orang Yahudi
tersebut, maka Allah mengharamkan sesuatu yang dulunya sesuatu itu baik.
Surat Ali Imron ayat 130 sebagaimana di atas terdapat
kata-kata diantaranya :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا
|
Hai orang-orang yang beriman
|
اللَّهَ
|
kepada Allah
|
لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا
|
janganlah kamu memakan riba
|
لَعَلَّكُمْ
|
supaya kamu
|
أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً
|
dengan berlipat
|
تُفْلِحُونَ
|
mendapat keberuntungan
|
وَاتَّقُوا
|
dan bertakwalah kamu
|
Lafadz يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا itu
terdapat munada di dalamnya yakni lafadz أيyang digunakan untuk
munada yang mana sifatnya berupa isim mausul yang dipasang Al. juga bahwa
lafadz diatas itu sudah kelaku dalam Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn Malik
diutarakan dalam Nadhomyna :
وايها ذا ايها الذي ورد * ووصف اي بسوى هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya terdapat huruf لَا nahi
yang mempunyai arti larangan pada lafadzأَضْعَافًا مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا الرِّبَاyakni larangan atau jangan
kamu semua memakan harta riba dengan berlipat ganda.
Dalam Surat Al-Baqoroh ayat 275 terdapat beberapa kata
yang sebelumnya perlu kita fahami dalam berbagai disiplin ilmu yakni:
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَا
|
Orang-orang yang makan/ mengambil Riba
|
مَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِ
|
peringatan dari Allah
|
لايَقُومُونَ
|
tidak dapat berdiri
|
فَانْتَهَى
|
Lalu ia berhenti
|
إِلَّاكَمَايَقُومُ
|
melainkan seperti berdirinya
|
فَلَهُ
|
maka baginya adalah
|
الَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُ
|
orang yang kemasukan syaitan
|
مَا سَلَفَ
|
apa yang telah berlalu
|
مِنَالْمَسّ
|
lantaran (tekanan) penyakit gila
|
وَأَمْرُهُ
|
dan urusannya adalah
|
ذَلِكَ
|
Keadaan mereka yang demikian itu
|
إِلَى اللَّهِ
|
kepada Allah
|
بِأَنَّهُمْقَالُوا
|
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat)
|
وَمَنْ
|
barang siapa
|
إِنَّمَا
الْبَيْعُ
|
sesungguhnya jual-beli itu
|
عَادَ
|
yang kembali lagi
|
مِثْلُ
الرِّبَا
|
sama dengan riba
|
فَأُولَئِكَ
|
maka mereka adalah
|
وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَ
|
padahal Allah telah menghalalkan jual-beli
|
أَصْحَابُ
النَّارِ
|
penghuni neraka
|
وَحَرَّمَالرِّبَا
|
dan mengharamkan riba
|
هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
|
Mereka yang kekal di dalamnya
|
فَمَنْجَاءَهُ
|
Barang siapa yang datang kepadanya
|
Surat Al-Baqoroh ayat 276 terdapat beberapa kata yang
sebelumnya perlu kita fahami juga yakni:
يَمْحَقُ اللَّهُ
|
Allah akan menghapus
|
وَاللَّهُ
|
Allah
|
الرِّبَا
|
Riba
|
لَا يُحِبُّ
|
tidak suka
|
وَيُرْبِي
|
dan melipat gandakan
|
كُلَّ
كَفَّارٍ أَثِيمٍ
|
kepada orang-orang kafir lagi pendosa
|
الصَّدَقَاتِ
|
Sedekah
|
Dalam Surat yang kelima dalam urutan surat di atas yaitu
Surat Al-Baqorah ayat 278 dan 279 Lafadz yang terkandung di dalamnya yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا
|
Hai orang-orang yang beriman
|
مِنَ اللَّهِ
|
dari Allah
|
اتَّقُوا
اللَّهَ
|
bertakwalah kepada Allah
|
وَرَسُولِهِ
|
dan dari rasul Nya
|
وَذَرُوا مَا
بَقِيَ
|
dan tinggalkanlah sisa-sisa
|
وَإِنْ
تُبْتُمْ
|
dan jika kalian bertobat
|
مِنَ الرِّبَا
|
Riba
|
فَلَكُمْ
|
maka bagi kalian
|
إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ
|
jika memang kamu orang yang beriman
|
رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ
|
adalah modal-modal
|
فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا
|
Jika kamu tidak melakukannya
|
لَا
تَظْلِمُونَ
|
kalian tidak berbuat zalim
|
فَأْذَنُوا
|
maka terimalah
|
وَلَا
تُظْلَمُونَ
|
dan tidak pula dizalimi
|
بِحَرْبٍ
|
pernyataan perang
|
C.
Asbabul Nuzul Ayat Riba
Riba adalah
kebiasaan yang telah membudaya di kalangan
masyarakat Arab jauh sebelum larangan
tentang ini berlaku. Budaya ini jelas tidak akan bisa
langsung bisa hilang di kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam
pengharaman riba di dalam Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap
dalam pengharaman ini menuju kepada keadaan masyarakat
saat itu yang memang telah terbiasa
melakukan muamalah ribawiyah atau transaksi dengan dasar riba untuk
mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Secara umum ada 4 periode turunnya ayat
tentang riba,
1.
Ayat turun di kota Mekah
yang berarti ayat tersebut adalah makiyah dan 3 ayat lainnya
turun di kota Madinah yang berati
ayat tersebut adalah madaniyah. Ayat yang turun di Kota
Mekkah adalah :
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي
أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ
تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)) Pada ayat ini
dijelaskan bahwasanya Allah SWT membenci riba
dan perbuatan riba tersebut tidaklah mendapatkan
pahala di sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang
mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif[5].
2.
Periode kedua Allah SWT
menurunkan ayat : Al Nisa’ Ayat 160-161. sebagaimana di atas. Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat
ini merupakan kisah tentang orang-orang Yahudi.
Allah SWT mengharamkan kepada
mereka riba akan tetapi
mereka tetap mengerjakan perbuatan ini.
Pengharaman riba pada ayat ini adalah
pengharaman secara tersirat tidak dalam
bentuk qoth’i/tegas, akan tetapi berupa kisah
pelajaran dari orang-orang Yahudi yang telah
diperintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba tetapi mereka mereka tetap
melakukannya,[6]
hal ini juga dijelaskan al-Maroghi bahwasanya sebagian
nabi-nabi mereka telah melarang melakukan perbuatan
riba.[7]
3. Periode ketiga Allah SWT menurunkan Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat ini
adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat ini
menjelaskan kebiasaan orang Arab saat itu
yang sering mengambil riba dengan berlipat
ganda. Ayat ini telah secara jelas mengharamkan
perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat
sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang mengambil
riba dengan berlipat ganda dari modal. Riba ini disebut
dengan riba keji (ربا فحش) yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari
hutang yang berlipat ganda.[8]
4.
Periode
terakhir adalah periode pengharaman mutlak, yaitu
Surat Al Baqarah ayat 278 s/d 279.
Ada beberapa riwayat tentang riba yang
menjadi sebab-sebab turunnya ayat tentang riba, diantaranya :
a.
Riwayat dari
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun
kepada Bani Amru bin Umair bin Auf
bin Tsaqif. Adalah Bani Mughirah bin Makhzum
mengambil riba dari Bani Amru bin Umair
bin Auf bin Tsaqif, selanjutnya mereka
melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW dan beliau melarang
mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba.[9]
b.
Berkata ‘Atho dan
‘Ikrimah bahwasanya ayat ini diturunkan kepada
Abbas bin Abdul Mutholib dan Utsman bin
Affan. Adalah Rasulullah melarang keduanya untuk mengambil riba
dari korma yang dipinjamkan dan Allah SWT
menurunkan ayat ini kepada mereka, setelah mereka
mendengar ayat ini mereka mengambil modal mereka saja tanpa mengambil ribanya.
c.
Berkata Sadi:
Ayat ini diturunkan kepada Abbas dan Khalid
bin Walid. Mereka melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka
meminjamkan uang kepada orang-orang dari
Bani Tsaqif. Ketika Islam datang mereka
memiliki harta berlimpah yang berasal dari usaha
riba, maka Allah menurunkan ayat :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Maka Nabi SAW bersabda :
“Ketahuilah setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba
pertama yang saya hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthollib”.
D.
Tafsir Ayat-Ayat Riba
Dalam ayat Al-Qur’an yang telah diutarakan di atas para
Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam mentafsiri Ayat Al-Qur’an terdapat
berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang pertama Surat Ar-Ruum
ayat 39 dalam Kitab Jalalain karya Al-Imamaini yakni Syeh Jalaluddin Muhammad
bin Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin Abu Kar As Syuyuti,
menafsiri bahwa Lafadz “وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا ”yakni umpamanya sesuatu yang
diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya dari apa yang telah
diberikan orang lain memberikan kepadanya basalan yang lebih banyak dari apa
yang telah ia berikan, pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan
yang dimaksudkan dalam masalah muamalah. Kemudian dilanjutkan lafadz “ لِيَرْبُوَ“
yakni orang-orang yang memberi itu, mendapatkan balasan yang bertambah banyak,
dari sesuatu hadiah yang telah diberikan.sedangkan “ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ “ yang terdapat penjelasana yakni riba itu tidak
menambah banyak inda Allah atau disisi Allah dalam arti tidak ada pahalanya
bagi orang-orang yang memberikannya. وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ
زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ ... ألحini bahwa orang-orang yang melakukan sedekah semata-mata
karena Allah, untuk mendapatkan keridhoaan-Nya inilah yang akan mendapatkan
pahala yang berlipat ganda dari Allah, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki.
Di dalam ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang
diajak bicara atau mukhathabin”.[10]
Dalam uraian di atas dalam kami simpulkan bahwa :
1.
Riba di dalam Muamalah
yang tidak akan mendadikan tambah di sisi Allah atau Inda Allah.
2.
Tidak mendapat pahala
orang yang melakukan riba atau tambahan.
3.
Anggapan salah yang ditolak,
bahwa pinjaman riba yang pada diri orang yang memberi hadiah, seolah-olah
menolong mereka yang membutuhkannya dan juga melakukan suatu perbuatan untuk
mendekatitakarrub kepada Allah.
4.
Shodaqoh merupakan perkara
yang dilipat-lipat gandakan oleh Allah kepada orang yang bersedekah.
5.
Ayat yang bersifat
peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif atau perkara yang dilarang
oleh Allah.
6.
Ayat ini tidak ada
petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya “riba itu haram”.
Dalam surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161 para Ulama Tafsir
berpendapat bahwa ; Lafaz فَبِظُلْمٍمِنَ الَّذِينَ هَادُوا artinya disebabkan
keaniayaan atas perbutan orang-orang Yahudi, حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍyakni yang tersebut dalam
Firman-Nya, “Kami haramkan setiap yang berkuku. “sampai akhir ayat وَبِصَدِّهِمْ
yakni manusai عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ maksudnya agama-Nya كَثِيرًا
. Juga dalam lafadz وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ ini di utarakan dalam kitab Taurat وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ yakni dengan memberi suap dalam pengadilan وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا
أَلِيمًا yakni menyakitkan.[11]
Pada ayat ini Allah menjelaskan kalau riba adalah
pekerjaan yang batil, maka dari itu Allah juga menjelaskan dalam ayat tersebut
bahwa Allah sudah menyiapkan mereka azab yang pedih. Sebagian ulama’ berkata :
Orang-orang yang menghalalkan riba serta besar dosanya, maka diapun akan tahu
betapa keadaan mereka-mereka kelak di hari akhirat, merka akan dikumpulkan
dalam keadaan gila, kekal di neraka, disamakan dengan orang kafir akan mendapat
perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam la’nat.[12]
Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan
bahwa lafadz يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا ini yang dimaksud adalah kaum Sakif
atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz لَا تَأْكُلُوا الرِّبَاأَضْعَافًا ini yang dimaksud adalah di dalam harta dirham yang
berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةً ini
maksudnya adala الاجل misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan
kata وَاتَّقُوا
اللَّهَ takutlah kamu semua orang Iman kepada Allah di
dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba. لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَini dengan maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka
seksaan Allah.[13].
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini penulis simpulkan bahwa
:a. yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat
Mamusia beragama Islam, b.Peringatan untuk menjahui makan Riba, c. Takutlah
kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan
Seksa dari Allah.
Surat Al Baqarah Ayat 275 – 276 bahwa :
الربا : الزيادة والنمو[14]
Riba: secara bahasa berarti bertambah dan berkembang,
sedangkan dalam terminologi syar’i berarti tambahan nilai dari modal yang
diambil pemilik modal/debitor kepada peminjam/kreditor atas tempo yang
diberikan.[15]
Menurut Ibnu Arabi, riba adalah sesuatu yang biasa
dilakukan manusia Arab pada masa Jahiliyah, seseorang berjual
beli dengan orang lain dalam tempo waktu tertentu, setelah datang
temponya orang tersebut akan menagih ketika tagihan tidak bisa dilunasi
makaorang tersebut akan melipatgandakan pokok hartanya[16].
يَأْكُلُونَ الرِّبَا
Arti makan di sini adalah bermuamalah atau bertransaksi,
disebutkan dengan kata makan karena pada umumnya kebanyakan tujuan
kepemilikan harta adalah untuk dimakan[17].
لَا يَقُومُونَ
Maksudnya dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat
nanti[18].
Hal ini juga seperti bacaan Abdullah bin Mas’ud yang menambahkan kata hari
kiamat [19].
pada kalimat: لَا يَقُومُونَ
إِلَّا كَمَا يَقُومُ
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Maksudnya berdiri tidak seimbang seperti orang gila [20].
مَوْعِظَةٌ
Maksudnya peringatan untuk kebaikan[21].
Yang dimaksud disini adalah larangan untuk meninggalkan riba[22].
Secara ringkas bahwa Ibnu Kasir menafsiri Surat
Al-Baqarah ayat yang ke 275, yakni: bahwa orang yang memakan riba maka ketika
mereka bangkit dari kuburannya pada hari kiamat melainkan seperti berdirinya
orang gila pada saat dia mengamuk dan kesurupan Setan. Keadaan ini ada sebab
dalam ayat di atas bahwa Allah SWT. sudah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba namun mereka berkata “Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba”. Diperkuat dengan perkataan Ibnu Abbas yaitu “Pemakan riba
akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan seperti orang gila yang
mengamuk”.[23]
يمحق الله الربا
Maksudnya Allah SWT akan mengurangi dan menghilangkan
harta riba secara keseluruhan dari
pemiliknya atau menghilangkan berkahnya sehingga
tidak bermanfaat bahkan dan diberi hukuman
di akhirat[24].
ويربى الصدقات
Kebalikan riba maka sedekah Allah SWT akan menambah,
mengembangkan dan memperbanyak ganjaran dengan berlipat ganda di
akhirat[25].
Dalam Kitabnya Al Imamaini yakni Syeh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahallii
dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin Abu Kar As Syuyuti, menafsiri ayat Surat Al
Baqarah ayat ke 275 di atas bahwa Lafadz الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا artinya mengambil Riba.
Riba itu ialah tambahan dalam muamalah dengan uang dan bahan makanan, baik
mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya, لَا يَقُومُونَ dari
kubur-kubur mereka إِلَّا كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّyang menyerang mereka;
minal massi berkata dengan yaquuumuuna. ذَلِكَ maksudnya yang menimpa mereka itu بِأَنَّهُمْmaksudnya disebabkan
mereka mengatakanقَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَاdalam soal diperbolehkannya. Berikut ini kebalikan dari persamaan yang
mereka katakan itu secara bertolak belakang, maka Firman Allah menolaknya.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَافَمَنْ جَاءَهُ,
maksudnya sampai kepadanya مَوْعِظَةٌatau nasihat مِنْ
رَبِّهِ ,lafadz فَانْتَهَى, artnya tidak memakan riba lagi فَلَهُ مَا سَلَفَ artinya sebelum datangnya
larangan dan doa tidak diminta untuk mengembalikannya وَأَمْرُهُdalam memaafkannya
terserah وَمَنْ عَادَ memakannya dan tetap meyamakannya dengan jual beli
tentang halalnya, فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ .
mereka tetap di dalam neraka selamanya.[26]
Dalam ayat di atas telah ditafsiri oleh Muhammad bin
Ibrahim bin Al-Mundzir An Naisabuuri, sebagai Syaih Tanah Haram Makkah (242-319
H. / 856-931 M) .
Sesudah Allah menyebutkan sifat orang-orang yang
bertakwa, yang menunaikan kewajiban zakat disamping bersedekah kepada fakir
miskin, dan selalu membantu perjuangan di jalan Allah dengan harta dan
tenaganya, yang kesemuanya itu semata-mata karena mengharap ridha Allah, maka
dalam ayat ini Allah menceritakan sifat orang yang menyalahgunakan kalimat
menolong atau membantu, padahal sebenarnya ia mencari keuntungan bahkan
mencekik dan menghisap darah. Mereka adalah pemakan riba. Allah menyatakan,
bahwa mereka yang memakan riba tak akan dapat berdiri tegak dalam hidupnya di
tengah masyarakat, melainkan bagaikan orang kesurupan setan. Sebab, ia takkan
pernah tenang sesudah ia menghisap darah dan kekayaan dengan cara yang sekejam-kejamnya
karena sasarannya selalu orang-orang yang membutuhkan bantuan dengan jalan
menghutang. Lebih-lebih kelak jika bangkit dari kubur di hari kiamat ia
bagaikan orang kesurupan yang dipermainkan setan.
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Pemakan riba (rentenir) akan
dibangkitkan di hari kiamat bagaikan orang gila yang tercekik." Ibnu Abbas
r.a. juga mengatakan, banwa kelak di hari kiamat akan dikatakan kepada pemakan
riba: "Angkatlah senjatamu untuk berperang". Kemudian Ibnu
Abbas membaca ayat 275 ini.
Abu Hurairah r.a. menuturkan, bahwa Rasulullah saw.
bersabda, "Ketika nulam Mi'raj aku melihat suatu kaum yang perut mereka
bagaikan rumah. Dari dalamnya tampak adaular-ularyangmerayapkeluar. Kemudian
aku bertanya, “Siapakah mereka itu, hai Jibril?' Jawab Jibril/Mereka adalah
pemakan riba'."
Ketika menceritakan hadis tentang Isra' Samurah bin
Jundub menyebutkan sabda Nabi SAW.: "Kemudian kami sampai ke sungai
yang airnya merah bagaikan darah, dan di situ ada orang berenang, sementara di
tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu-batu. Apabila orang yang berenang
itu datang ke tepi sambil membuka mulutnya, maka orang yang mengumpulkan batu
itu memasukkan batu ke dalam mulutnya.'' Kemudian disebutkan dalam
penjelasan-nya, bahwa itu adalah pemakan riba.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا
Maknanya: "Karena mereka telah menentang hukum
Allah, dan mengatakan, bahwa jual beli itu sama dengan riba".
Dalam hal ini mereka mempergunakan qiyas yang terbalik dan keliru.
Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, yang mengetahui
hakikat dan akibat dari segala sesuatu yang berguna sehingga dibolehkan dan
yang berbahaya diharamkan-Nya. Sebab, Allah itu sayang kepada hamba-Nya
melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya yang masih bayi.
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَى فَلَهُ مَاسَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
Maknanya: "Maka barangsiapa yang mendengar larangan
Allah ini lalu berhenti, baginya apa yang telah lalu sebelum turunnya ayat
yang mengharamkan ini, sebagaimana yang tersebut di ayat yang lain".عق الله عما سلق ,
maknanya: "Allah memaafkan apa yang telah lalu".Juga
disebutkan dalam sabda Nabi saw. ketika Fathu Makkah: "Dan setiap
riba yang terjadi di masa Jahiliyah terletak di bawah telapak kakiku, dan yang
pertama aku hapus ialah riba yangdilakukan oleh Al-Abbas'. Sejak Nabi saw.
bersabda begitu, maka orang yang biasa membayar bunga hutangnya dihentikan, dan
yang harus dibayar hanya pokok hutangnya saja. Dan Nabi saw. tidak menyuruh
mereka yang sudah menerima bunga riba itu untuk mengembalikan apa yang telah
diterimanya.
Ummu Yunus (al-Aliyah) binti Abqa' mengatakan, bahwa Ummu
Bahnah ibunya Zaid bin Arqam (yakni bekas budaknya yang pernah dikumpulinya
sehingga melahirkan anak) berkata kepada Aisyah r.a., "Ya Ummul
Mukminin, kenalkah anda kepada Zaid bin Arqam?" Jawab Aisyah,
"Kenal." Ummu Bahnah berkata, "Aku telah menjual kepadanya
seorang hamba seharga delapan ratus dengan hutang sampai waktu membayarnya.
Tetapi kini ia butuh uang, maka aku beli budak itu seharga enam ratus."
Aisyah r.a. berkata, "Busuk sekaji pembelianmu itu. Sampaikanlah kepada
Zaid, bahwa ia telah menggugurkan jihadnya bersama Rasulullah saw. Sunguh telah
gugur jihadnya bersama Rasulullah saw. Sungguh telah gugur jihadnya, jika ia
tidak segera bertobat." Ummu Bahnah bertanya, "Bagaimana
pendapatmu jika aku halalkan yang dua ratus itu dan aku hanya menerima uang
enam ratus saja?" Jawab Aisyah, "Ya, seharusnya memang begitu.
Barangsiapa yang mendapat petunjuk Tuhannya lalu menghentikan perbuatan
ribanya, maka baginya apa yang telah lalu sebelum ia ketahui. Yakni jika sudah
mengetahui hukumnya, maka haram dan sebagai seorang muslim harus
menghentikannya. Jika tidak, berarti ia menentang hukum Allah, berperang
melawan Allah." (H.R. Ibnu Abi Hatim).
Keterangan atsar ini masyhur dan ini menjadi dalil
haramnya menjual barang dengan hutang, kemudian dibeli kembali oleh penjualnya
dengan harga kontan yang kurang dari harga pembeliannya.
وَمَنْ عَادَmaknanya: "Dan
barangsiapa yang mengulangi perbuatan ribanya sesudah mendapat keterangan ini,
maka mereka layak menerima siksa Allah. Mereka adalah ahli neraka dan kekal di
dalamnya".
Shohabat Jabir RA. menuturkan, bahwa ketika ayat 275 ini
turun, Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa yang tidak menghentikan
(meninggalkan) mukhabarah. maka hendaknya diberitahu, bahwa ia akan berperang
dengan Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Mukhabarah ialah menggarapkan tanah kepada orang lain
untuk minta bagian dari hasilnya. Muzabanah ialah membeli dengan caramenukar
kurma ruthab yang masih basah di atas pohon dengan kurma yang sudah kering di
atas tanah. Muhaqalah ialah membeli dengan menukar biji-biji (padi dan
sebagainya) yang masih di pohon dengan padi yang sudah kering di tanah.
Kesemua-nya itu diharamkan, karena tidak dapat diketahui persamaan
timbangannya.
Ulama fiqih berpendapat, tidak mengetahui persamaan
timbangan antara dua jenis barang sama dengan riba fadhal (menukar barang
sejenis dengan kelebihan yang satu dari yang lainnya).
Dan urusan riba ini termasuk perkara sulit bagi
kebanyakan ahli ilmu, sehingga Umar bin Khathab r.a. berkata,"Ada tiga hal
yang aku inginkan, andaikan Rasulullah saw. memberi kepada kami pedoman untuk
menjadi pegangan, yaitu hak waris nenek (datuk) dan kalalah serta beberapa
masalah riba dan yang mirip dengan riba atau dapat menyebabkan riba."
An-Nu'man bin Basyir mengatakan, bahwa ia mendengar
Rasulullah saw. bersabda:
حرام
فالوسيلة إليه مثله؛ لأن ما أفضى إلى الحرام حرام، كما أن ما لا يتم الواجب إلا به
فهو واجب. وقد ثبت في الصحيحين، عن النعمان بن بشير، قال: سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول: "إن الحلال بين وإن الحرام بين، وبين ذلك أمور مشتبهات، فمن
اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام، كالراعي يرعى
حول الحمى يوشك أن يرتع فيه (رواه البخارى ومسلم )
"Sesungguhnya
halal itu sudah jelas dan haram juga sudah jelas, dan di antara keduanya ada
hal-hal yang samar. Karenanya, barangsiapa yang menjaga diri dari
perkarasyuhbat, bersih agama dan kehormatannya. Sebalilnya barangsiapa yang
terjerumus ke dalam perkara syuhbat maka ia akan jatuh ke dalam perkara haram,
^agaikan gembala yang memelihara ternaknya di sekiiar tempat terlarang, mungkin
ternaknya terjerumus ke didalamnya."(H.R. Bufchari-Muslim).
Al-Hasan bin Ali r.a. mengatakan, bahwa ia mendengar
Rasulullah saw. bersabda:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
"Tinggalkan apa yang anda ragukan, kerjakan apa yang
tidak anda ragukan. ". (HR. Ashabus Sunan)
tidak anda ragukan. ". (HR. Ashabus Sunan)
Dan di hadis lain disebutkan:
وفي الحديث الآخر: "الإثم ماحاكفي القلب
وتردد تفيه النفس،وكرهت أن يطلع عليه الناس
"Dosa itu yang goyah dalam hati, dan ragu dalam perasaan, serta tidak
suka dilihat orang. "
Di lain riwayat disebutkan:
استفت قلبك وإن أفتاك الناس المفتون
"Tanyakan kepada hatimu
sendiri, meskipun sudah diberi fatwa oleh semua orang. "
Umar r.a. berkata,"Di antara ayat-ayat yang akhir turunnya ialah ayat
tentang riba, dan Rasulullah saw. meninggal dunia sebelum menerangkan semua
rinciannya kepada kami. Karena itu, tinggalkan riba dan semua yang
meragukan."
Abu Sa'id mengatakan, bahwa Umar r.a. berkhotbah: "Sungguh, mungkin
aku melarang kalian dari apa-apa yang mungkin berguna bagi kamu, dan termasuk
di antara ayat-ayat yang terakhir turunnya ialah ayat tentang riba, sehingga
ketika Rasulullah saw. meninggal dunia belum menerangkan semuanya kt?ada kita.
Karena itu, tinggalkan apa yang kalian ragukan, untuk melakukan apa yang tidak
meragukan."
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih)
Ibnu Mas'ud r.a. mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda, "Riba itu ada
tujuh puluh tiga bab (cara)."
(HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Abu Hurairah mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda, "Riba itu ada tujuh
puluii macam bagiannya, seringan-ringannya seperti seseorang yang bersetubuh
dengan ibunya."
(HR. Ibnu Majah)
E.
Kandungan Hukum Ayat Riba
Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran
dan Sunnah bahwa terdapat larangan untuk melakukan
transaksi riba. Larangan yang paling jelas dari nash Al-Quran
adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) Ayat ini di dalam uslubnya adalah perintah, tetapi perintahnya adalah
untuk meninggalkan. Di dalam ushul fiqih
larangan terhadap sesuatu adalah berarti perintah
untuk berhenti mengerjakan sesuatu tersebut. Dalam
hal ini larangan untuk mengerjakan riba
berarti perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan
adalah untuk pengharaman.[27] Disamping ayat
di atas pengharaman riba juga terdapat pada
ayat yang turun sebelum ayat ini, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Di dalam Hadits bahkan ada
beberapa orang yang terkait dengan orang
yang bertransaksi riba ini akan mendapat
laknat dari Allah SWT, yaitu:
عن
جابر رضى الله عنه قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم : أكل الربا وموكلها
وكاتبها وشاهديه وقال : هم سوء (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir r.a berkata:
Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, orang
yang mewakili riba, penulis riba, dan
2 orang yang menjadi saksi dari transaksi riba, beliau bersabda: mereka
adalah sama[28]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba adalah
jika dilakukan dengan berlipat ganda
sebagaimana ayat di atas yang menyebutkan
larangan untuk tidak memakan riba dengan
berlipat ganda. Menjawab
hal tersebut bahwa
sesungguhnya lafadz أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً adalah
bukan menunjukkan bahwa larangan ini berlaku hanya
kepada riba yang diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi ayat
ini hanya menggambarkan bahwa keadaan
ketika ayat tersebut diturunkan bahwa masyarakat
Arab ketika itu benar-benar melakukan perbuatan
tercela dengan mengambil riba yang berlipat
ganda. Turunnya ayat ini adalah fase
ketika dari turunnya larangan riba yang
secara bertahap. Artinya larangan sampai
fase yang ketiga ini hanya bersifat
larangan terbatas (juz’i), akan tetapi
selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara jelas
disebutkan bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba
adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil
keuntungan dengan riba itu yang berlipat
ganda maupun yang tidak berlipat ganda.
Seperti pengharaman khomar, bahwa khomar sedikit
maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar
yang merupakan salah satu budaya dari
masyarakat Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya
masyarakat Arab yang sangat kuat, oleh karena itu
Allah SWT dalam pengharaman riba menurunkannya
secara bertahap sama seperti pengharaman khomar
yang juga bertahap.
Ada satu kaedah fiqh yang terkait dengan hukum riba,
yaitu :
اذا اتحد الجنسان حرم الزيادة والنساء واذا اختلف
الجنسان حل التفاضل دون النساء
Artinya: Jika sama bentuk kedua barang maka haram (riba fadl dan
nasi’ah) dan jika berbeda bentuk kedua barang maka boleh lebih nilai satu
dengan yang lain tetapi tetap haram riba nasiah. [29]
Dalam kaedah ini dijelaskan bahwa ushul ribawyah yang
sama haram untuk berbeda, antara gandum
dengan gandum haram untuk ditukar dalam jumlah yang berbeda.
Selanjutnyaapakah transaksi ribawi akan merusak akad/
perjanjian jual-beli? Berdasarkan kaedah ushul fiqih terdapat
perbedaan di kalangan ulama, yaitu:
1. Bahwasanya larangan terhadap perkara
muamalah akan menyebabkan rusaknya aqad muamalah tersebut. Artinya akad jual
beli bisa batal ketika jual beli tersebut menggunakan transaksi riba di
dalamnya.
النهى يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى المعاملات
2. Bahwasanya larangan terhadap perkara
muamalah tidak akan menyebabkan rusaknya akad muamalah tersebut. Artinya akad
jual beli tidak batal tetapi jual beli
tersebut sah, hanya saja hukum akadnya menjadi
makruh.
النهى لا يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى
المعاملات
Di dalam perkembangannya bahwa riba terdapat dalam banyak
bentuk. Salah satu bentuk riba adalah
bunga bank. Mengapa bunga bank haram?
Karena terdapat unsur riba jahiliyah di
dalamnya. Pengertian riba sangat dikenal dekat di masyarakat Arab sebagai
riba nasi’ah. Biasanya
orang yang memberi
hutang ketika jatuh tempo/waktu
pembayaran akan mengatakan
kepada orang yang berhutang تقضي او تربيartinya hendak engkau
lunasi hutangmu atau bertambah hutangmu? bertambah di sini adalah berlipat
bunga hutang tersebut. Di dalam sistem bunga disamping bunga yang telah
dihitung, ketika jatuh tempo dan belum
dibayar maka secara otomatis denda akan dikenakan yang
akan semakin menambah hutang nasabah.
Riba nasi’ah pada dasarnya adalah
riba tempo, yaitu ketika seseorang berhutang dalam
waktu berjangka yang telah ditetapkan maka ia dikenakan
tambahan berdasarkan persentase bunga dari sisa
pokok hutangnya.
Selanjutnya banyak pertanyaan yang sebenarnya adalah
ulangan yang ditanyakan orang-orang jahiliyah dahulu yang menyebutkan
bahwa riba adalah sama atau identik
dengan jual beli. Bahkan banyak juga
pertanyaan-pertanyaan kritis bahwa bank Islam
atau Bank Syariah tidak lebih
hanya sama dengan bank-bank
konvensional. Untuk menjawab hal ini
penulis mengutip pendapat Prof. A. Mannan yang
menyebutkan beberapa perbedaan antara perdagangan/jual beli
bebas bunga dan jual beli berbunga :
1. Pengambilan resikolah
yang membedakan antara jual beli dan bunga.
Bagi perdagangan normal resiko
adalah dasar yang diperkenankan Islam, sedangkan bunga
tetap dan tidak turun naik seperti laba.
2. Bila modal yang diinvestasikan dalam
perdagangan menghasilkan laba, ia merupakan hasil inisiatif, usaha, dan
efesiensi, yang tidak terdapat pada bunga, yang hanya tahu untuk tanpa usaha.
3. Perdagangan adalah
produktif dan akan mendapatkan manfaat sesudah
bekerja, mengalami kesulitan dan berketerampilan, maka seseorang
membuka lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Adapun bunga terbukti hanya meningkatkan
krisis dan riskan terhadap resiko gejolak moneter.
4. Perdagangan salah satu faktor
dominan dalam proses
pembangunan peradaban, sedangkan bunga
menciptakan kelemahan, dengan mementingkan keuntungan diri sendiri.[30]
F.
Hikmah Diharamkannya Riba
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba,
semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya,
masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk
mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam
tafsirnya sebagai berikut:
1.
Riba adalah suatu
perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan
uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham
tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan
mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis
Nabi: "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.”(Abu Nua'irn dalam Hilyah). Oleh karena itu mengambil
harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja.
Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh
tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan
persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung
beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam
itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang
tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan
oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak
diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi
perekonomian).
3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama
manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka
seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu
dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang
akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya
mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan
kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
4.
Pada umumnya pemberi
piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu.
Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya
untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak
layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini
ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur
pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion
de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang
yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas
masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan
golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api
terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan
oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi. Sejarah pun telah mencatat betapa
bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional
dan internasional.
Kepustakaan
[1] . Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung.
Cet. I. hlm. 545.
[2]Depardemen Agama RI. Al
Qur’an Dan Terjemahannya hlm. 86-87
[3]Muhammad Syafi’I Antoni, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009. hlm. 37
diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A Study of The Prohibition
of Riba and its contemporary Interpretation (Leiden: EJ. Brill, 1996) karya
Abdullah Saeed.
[4]Muhammad Syafii Antonio, Bank
Syariah: Wawasan Ulama dan Cendekiawan (Jakarta; Central Bank of Indonesia
and Tazkia Institute, 1999).
[5]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.390
[6]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.390
[7]Ahmad Musthofa al-Maroghi.
Tafsir al-Maroghi.Jilid.2. Juz. 6 (Beirut: Dar al- Fikr) hal. 18
[8]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. 390
[9]An-Nisabury. Asbab
an-Nuzul. (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 58-59.
[10]Jalalaini, Tafsir Al
Qur’an AL Karim, Jilid 1 hlm. 295.
[11]Jalalaini, Tafsir Al
Qur’an AL Karim, Jilid 1 hlm. 82
[12]Muhammad Ali Ash-Shabuni,
Terjemah Kitab Tafsir Ayat Ahkam, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003, hal. 324
[13]Ibn Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi zadi, Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir
Ibn Abbas, Dar Al-Fikr.hlm. 56.
[14]Ibnu
al-Manzhur. Lisan al-Arab.Jild. 14
(Beirut: Dar al-Fikr. 1990) hal. 304. Lihat juga Majma
al-Lughoh al-Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wasith. Jilid.1 ( Arab Saudi:
al-Dar al-Handasah. 1985) hal. 338
[15]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.383
[16]Ibnu Arabi. Ahkam al-Quran.Jilid1(Beirut:
Dar al-Fikr) hal.320.
[17]Al-Baghwi. Ma’alim
Tanzil fi al-Tafsir wa al-Takwil.
(Bairut: Dar el-Fikr. Juz.1. 1989) hal.
397. Lihat juga an-Nisabury. Tafsir Ghoroib
al-Quran wa Roghoib al-Furqon. Jilid. 2 ( Libanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. 1996 ) hal 60.
[18]Al-Baghwi……. hal.
397. Lihat juga Sayyidi Abdurrahman. Al-Jawahir Al-Hisan fi Tafsir al-Quran.
(Libanon. Dar al-Kutub al_ilmiyah. Juz.1) hal. 216.
[19]Ibnu Katsir. Al-Quran
al-Azhim. Jilid. 1 (Beirut: Dar al-Fikr.)
hal. 275. Lihat juga Sayidi Abdurrahman. al-Jawahir
al-Hisan fi Tafsir al-Quran. Juz.1 (Libanon. Dar
al-Kutub al-Ilmiyah. Bairut) hal. 216.
[20]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.383.
[21]Muhammad Ali as-Shobuni. …….
hal. 383.
[22]Ibnu Katsir. ……… hal. 275
[23]Lihat Tafsir Ibnu Katsir
Jilid I, hal. 452
[24]Muhammad Ali as-Shobuni. ……….
hal. 383.
[25]Muhammad Ali as-Shobuni. ………..
hal. 384.
[26]Jalalaini, Tafsir Al
Qur’an AL Karim, Jilid 1 hlm. 40.
[27]Muhammad Hudri Bik. UshuL
Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr. 1988) hal.199.
[28]Ibnu Hajar. Bulugh
al-Maram. (Semarang: Toha Putra) hal.169.
[29]Muhammad Ali as-Shobuni.
hal. 392.
[30] M.A Mannan.
Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. Alih
bahasa: Potan Arif Harahap ( Jakarta: PT Intermasa. 1992) hal.
295-296.
[31]Muhammad Syafi’I Antoni, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009. hlm. 37
diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A Study of The Prohibition
of Riba and its contemporary Interpretation (Leiden: EJ. Brill, 1996) karya
Abdullah Saeed.
[32]Muhammad Syafii Antonio, Bank
Syariah: Wawasan Ulama dan Cendekiawan (Jakarta; Central Bank of Indonesia
and Tazkia Institute, 1999).
[33]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung.
Cet. I. hlm. 544.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar