A.
Pengertian Ilmu Al-Munasabah
Munasabah berasal dari kata ناسب يناسب مناسبة
yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. المناسبة
sama artinya dengan المقاربة yakni mendekatkannya dan
menyesuaikannya.; النسيب artinya القريب
المتصل (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang
bersaudara dan anak paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan
dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-Nasib juga
berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.
Selanjutnya Quraish Shihab
menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi) bahwa munasabah adalah
ada-nya
keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan kalimat yang
mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan
makna antara ayat dan macam-macam hubungan, atau kemestian dalam fikiran
(nalar). Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu
ayat atau surah sulit ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode
munasabah ini mungkin dapat dicari penjelasannya di ayat atau di surah lain
yang mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain
? karena pemahaman ayat secara parsial (pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain)
sangat mungkin terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang
ingin memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus dipahami
secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami
secara utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa
sekarang dan akan datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi
kebutuhan manusia. Jadi, tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang
Ulumul Quran tema munasabah hampir tak pernah terlewatkan .
Secara terminologis, munasabah
adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran
baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang
lainya.
Menurut
bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan
persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang
sebelum atau sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan
hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.
Menurut
istilah, ilmu munasabah / ilmu tanasubil ayati was suwari ini
ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian
Al-Qur’an yang mulia.
Ilmu
ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat
Al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan
khusus / antara abstrak dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat
dan ma’lulnya, ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara
dua hal yang kontradiksi. Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya
sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun
termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang
kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu kadang-kadang
merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan
kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering
pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah
amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang
seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang
lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena
itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang
lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara
teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang
satu dengan yang lain. Karena itu, ilmu munasabah
itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia
kebalaghahan Al-Qur’an dalam menjangkau sinar petunjuknya.
Beberapa para ahi mengartikan munasabah sebagai
berikut: :
1.
Menurut Az-Zarkasyi
سخيف هو الشيء الذي لا يمكن فهمه. عندما واجه
السبب، لا بد من قبول هذا السبب.
Artinya :
munasbah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapakan kepada akal,
pasti akal itu akan menerimanya.
2. Menurut manna’ Al-qathan
سخيف هو الرابط
بين بعض العبارات في فقرة، أو بين الفقرات في بضع فقرات، أو بين الحروف
Artinya :
munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan didalam suatu ayat,
atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar surat (didalam Al-quran).
3. Menurt Ibnu
Al-‘Arabi
سخيف هو المرفق
إلى آيات من القرآن الكريم حتى كما لو أنه هو تعبير عن أن لديها وحدة المعنى
وتحرير النظام.
سخيف هو العلم
الذي هو كبير.
Artinya :
munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-quran sehingga seolah-olah merupakan
satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah
merupakan ilmu yang sangat agung.
4. Menurut
Al-Biqa’I Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan
dibalik susunan atau urutan bagian –bagian Al-quran, baik ayat dengan ayat,
atau surat dengan surat.
Jadi,
dalam konteks ‘Ulum Al-quran, munasabah berarti menjelaskan korelaksi antar
ayat atau antar surat, baik kolerasi itu bersifat umum maupun khusus : rasional
(‘aqli), persepsi (hassiy) atau imajinatif (hayal) : atau korelasi atau berupa
sebab akibat ,’llat dan Ma’lul, perbandingan dan perlawanan.
Ilmu munasabah yang juga
disebut dengan “Tanasubil Aayati Wassuwari” pertama kali di cetus
oleh Imam Abu Bakar An-Naisaburi (wafat tahun 324 H), Kemudian disusul
oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu fi Munasabati
Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqai yang menulis kitab
“Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan As-Suyuthi yang
menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati
Wassuwari” serta M. Shodiq Al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul
Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”. Pada bagian ini muncul pertanyaan, apakah
ilmu munasabah itu ada atau tidak?, dari pertanyaan ini muncul dua pendapat
yang berbeda sebagai jawabannya. Pertama, pihak yang
mengatakan secara pasti pertalian yang erat antara surat dengan surat dan
antara ayat dengan ayat (munasabah). Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh
‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd Al-‘Aziz Ibn, Abd As-Salam (577-600 H). Menurut aliran ini, munasabah adalah
ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya kaitan pembicaraan (الكلام ارتبط ) itu bila antara permulaan dan akhiranya terkait menjadi satu.
Apabila hubungan itu terjadi dengan sebab yang berbeda-beda, tidaklah
diisyaratkan adanya pertalian salah satunya dengan yang lain. Kalau Al-Munasabah ditinjau secara
terminologis, dalam hal ini munasabah bisa berarti suatu pengetahuan
yang di peroleh secara Aqli dan bukan di peroleh secara tauqifi.
Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan,
pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu. Demikian Az-Zarkasyi mengemukakan
pendapatnya tentang persoalan munasabah.Pendapat lain yang mengatakan
adanya munasabah dalam Al-Quran juga di kemukakan oleh Mufassir,
diantaranya As-Syuyuti, Al-Qaththan, Fazlurrahman Dll. Pihak kedua, mengatakan
bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, sebab pristiwa-pristiwa
tersebut saling berlainan. Al-Quran disusun dan diturunkan serta diberi
hikmah secara tauqifi dan tersusun atas petunjuk Allah. Terlepas dari kedua pendapat diatas , munasabah
telah merupakan bagian tak terpisahkan dari ‘ulum Al-Quran. Apakah adanya
munasabah itu ijtihadi atau tauqifi barangkali akan dapat
dijawab ketika memperhatikan telaah tentang kaitan ayat dengan ayat atau surat
dengan surat.
B.
Pendapat-Pendapat Ulama
Tentang Ilmu Munasabah
1. Tertib Surah dan Ayat Para ulama sepakat bahwa
tertib ayat-ayat dalam Al-Quran adalah taukifi , artinya penetapan dari
Rasul. Sementara tertib surah dalam Al-Quran masih terjadi perbedaan pendapat. Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb
bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan. Dalam hal ini ada tiga golongan:
a. Tertib surat berdasarkan ijtihad
para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik,
Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah
1)
Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentangs tertib surah dalam
Al-Quran.
2)
Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran
berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya
empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara
yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu
Abbas.
b. Mushaf yang ada pada catatan
sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk
resmi dari Rasul.
c. Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad
Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan
tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.
2.
Susunan surat
berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi). Di antara ulama yang yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu
Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan
sebagai berikut :
a. Ijma’ sahabat terhadap mushaf
Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy,
seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya
akan berpegang teguh pada mushafnya.
b. Hadist tentang hijzb Al-Quran yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi. Dengan
meneliti pembagian yang dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian
Al-Quran dalam tujuh bagian yang seimbang.
c. Hadis Ibn Abbas tentang alasan penyatuan surat
At-Taubah dan Al-Anfal. Ibn Hajar menyatakan bahwa kebijakan tersebut
menunjukkan bahwa susunan Al-Quran taukifi, hanya karna Nabi tidak
menjelaskan kepada Usman, maka surat At-Taubat disatukan dengan surah Al-Anfal.
Selanjutnya Ibn Hajar menyatakan dalam mushaf Ibn Mas’ud terdapat basmalah
di awal surat At-Taubah, tetapi tidak diambil oleh lembaga
d. Nabi sering membaca Al-Quran dengan tertib surat
yang ada pada sekarang.
3.
Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya:
“seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif Rasul kecuali surat
Baraah dan Al-Anfal”. Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini.
Dan alasan lainnya:
Ternyata tidak semua nama-nama surah itu
diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang
diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya
surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi
adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan
Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan
lafal basmalah.
C.
Cara Mengetahui
Munasabah
Para ulama
menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya,
pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarakan ijtihad karena tidak ditemukan
riwayat, baik dari nabi maupun dari para sahabatnya. Oleh karena itu tidak ada
keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al;-quran diturunka
secara berabsur-ansur mengukuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada.
Terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang
lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak
diperkenankan untuk memaksakan diri. Falam hal ini syekh Izzuddin Bin ‘Abd
as-salam berkata : Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan
antar kalam mensyartkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian
akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi p[ada berbagai sebab yang
berbeda, keterkaitan salah satu dengan yang lainnya tidak menjadi syarat. Orang
yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya.
Kalupun itu terjadi, ia mengaitkan hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang
pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik.
Untuk meneliti
keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam al-quran diperlukan
ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa
langkah yang perlu diperhatiakan untuk menemukan munasabah ini, yaitu :
- Harus diperhatiakan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
- Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
- Menentukan tingkatan uraian-uaraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
- Dalam mengambil kesimopulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
D.
Macam-macam Munasabah
Pada garis besarnya munasabah
itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan dan hubungan
surat dengan surat. Dua pokok hubungan itu di perincian sebagai berikut.
1.
Hubungan Kalimat Dengan
Kalimat Dalam Ayat Fakhruddin Ar-Razi
menyatakan bahwa “kehalusan / kelembutan” Al-Quran terletak pada keserasian
tata urut dan hubungan-nya. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sebaik-baiknya
pembicaraan adalah yang bagian satu berkaitan dengan bagian lain sehingga tak terputus.
Shubhi As-Shaleh. menegaskan bahwa bahwa para ulama mensyaratkan adanya munasabah
dalam ayat itu apabila dua ayat atau lebih itu saling berhampiran. Hubungan
antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat Al-Quran. Ayat
yang satu dengan ayat lain adakalanya muncul secara jelas menunjukkan hubungan
kalimat satu dengan kalimat lainnya. Hubungan itu memberikan kejelasan satu
sama lain tentang maksud keseluruhan ayat. Namun, ada juga hubungan yang tidak jelas.
Kandungan makna suatu ayat menjadi kabur karena kaitan kalimat satu
dengan kalimat lain tidak di pahamkan secara utuh. Hubungan “tidak” yang
mengakibatkan samar-nya makna suatu ayat bila dikaitkan dengan kalimat
berikutnya dipersambung oleh ma’tuf معطوف (huruf athof). Muhammad ‘Abduh
memberikan tekanan dan perhatian pada ayat-ayat yang dimulai dengan ياايهالذى امنو . Tetapi Al-Baqi’i justru
menyatakan bahwa semua ayat bahkan kalimat-kalimat dalam Al-Quran mempunyai
ikatan satu sama lain.
Hubungan antara ayat dengan ayat dalam Al-Quran
terbagi dalam dua macam. Pertama, hubungan yang sudah
jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat
dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang
dibahas kemudian. Hubungan ini dapat berbentuk اعتراض , تشديد , dan تفسير. Kedua,hubungan belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat.
Hubungan demikian terdiri dari dua macam lagi, yaitu
لا تكون معطفةdan تكون معطوفة
a. Ma’thufah Secara umum dapat dikatakan bahwa adanya huruf ‘athof
ini mengisyaratkan adanya hubungan pembicaraan. Ini dapat dilihat
misalnya dalam surat Al-Baqoroh (2): 245 :
وَاللَّهُ يَقْبِضُ
وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٢٤٥)
Namun demikian, ayat-ayat yang ma’thuf itu dapat diteliti melalui bentuk
susunan berikut.
1) المضا دة (perlawanan/bertolak belakang antara satu kata dengan kata yang lain) Misalnya kata الرحمة disebut setelah العاذاب . kata الرغبة sesudah الرهبة ; menyebut janji dan ancaman
sesudah menyebut hukum-hukum. Hubungan ini banyak terdapat dalam surah
Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Maidah. Misal lain seperti dalam surah Al-Baqarah;6 :
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
لا يُؤْمِنُونَ (٦)
artinya :Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja
bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak
juga akan beriman.
Ayat
ini menerangkan watak orang kafir yang pembangkang, keras kepala, tidak percaya
kepada kitab-kitab Allah. Sedangkan pada ayat sebelumnya Allah menerangkan
watak orang mukmin yang berlawanan dengan orang-orang kafir. Al-Baqarah (2);3-4
:
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(٣)وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (٤)
Artinya:
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(3) Dan mereka
yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.(4)
2) الاستطراد
(pindah
kekata lain yang ada hubungannya atau penjelasannya lebih lanjut). Misal-nya surah Al-Ara’af; 26 :
يَا
بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا
وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ
يَذَّكَّرُونَ (٢٦)
Artinya
;Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah
yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu
ingat. Ayat tersebut menjelaskan tentang nikmat Allah.
Sedang Ditengah dijumpai kata وَلِبَاسُ التَّقْوَى yang mengalihkan pada
penjelasan ini (pakaian). Dalam hal ini munasabah yang dapat dilihat adalah
antara menutup tubuh atau aurat dengan kata-kata taqwa.
3)
التخلص (melepaskan kata kesatu ke kata lain, tetapi masih
berkaitan). Misalnya ayat 35 surat An-Nur (24) :
اللَّهُ
نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ
مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ
زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي
اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٣٥)
Artinya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya
ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang
(yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ada
lima التخلصات, yaitu :
a)
Menyebut
نُورُ dengan perumpamaanya, lalu di takhallush-kan ke الزُّجَاجَةُ dengan menyebut sifatnya.
b)
Kemudian
menyebut نُورُ dan زَيْتُونَةٍ yang meminta bantu darinya, lalu di takhallush dengan
menyebut شَجَرَةٍ .
c)
Dari
شَجَرَةٍ di-takhallush dengan menyebut sifat zaitun.
d)
Lalu
di-takhallush dari menyebut sifat زَيْتُونَةٍ ke sifat نُور.
e) Kemudian
dari نُور di-takhallush ke nikmat Allah berupa hidayah (يَهْدِي) bagi orang yang Allah
kehendaki.
4) Tamsil
dari kejadian.
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ
بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى
وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(١٨٩)
Artinya
; Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. Pada
masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah
dari belakang bukan dari depan. hal ini ditanyakan pula oleh Para sahabat
kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini. Ini merupakan
perumpamaan orang yang suka membolak-balikkan pertanyaan. Pertanyaan demikian
tidak baik.
b.
Tidak
Ada Ma’thufah Dalam
hal ini tidak ada ma’thufah dapat dicari hubungan maknawiyah-nya, seperti
hubungan sebab akibat. Ada tiga bentuk, yaitu ;
1) التنظير (berhampiran/berserupaan) Misalnya ayat 4 dan 5 surat Al-Anfal(8) :
أُولَئِكَ
هُمُ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٤)كَمَا
أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ الْمُؤْمِنُونَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ (٥)
Huruf al-kaf (كَ) pada ayat lima berfungsi
sebagai pengingat dan sifat bagi fi’il yang tersembunyi (مضمر فعل ). Hubungan itu tampak dari
jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta
rampasan, seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun kaummu
membenci cara demikian itu. Allah SWT menurunkan ayat ini agar kaum Nabi
Muhammad SAW mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya Rasul
dari kalangan mereka (surat Al-Baqarah(2)151) : كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ, sebagai mana juga kaummu membencimu (Rasul) ketika engkau
mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad. Hubungan ini terjadi dengan
ayat yang jauh sebelumnya.
2) الاستطراد (pindah ke perkataan lain
yang erat kaitannya)
Missal-nya surat Al-A’raaf ; 26, tentang pakaian
takwa lebih baik. Allah menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia
bahwa pakain penutup aurat itu lebih baik. Pakain berfungsi sebagai alat untuk
memperbagus apa yang telah Allah ciptakan. Pakaian adalah penutup aurat dan
kebejatan karena membuka aurat adalah hal
yang jelak dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu t
3) المضا دة (perlawanan) Misalnya surat Al-Baqarah (2); 6 :
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
لا يُؤْمِنُونَ (٦)
Artinya; Sesungguhnya orang-orang
kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri
peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka yang
kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan
tentang kitab, orang mukmin, dan petunjuk. Hal ini berkaitan dengan ayat 23
surat Al-Baqarah ;
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
(٢٣)
Adapun hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan
memantapkan iman berdasarkan petunjuk Allah SWT .
التثويق و الثبوت على الاول.
2.
Hubungan
Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surat Hubungan
ayat dengan ayat dalam satu surat sudah di jelaskan sebagian dalam uraian
sebelumnya. Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat sudah jelas. Hanya saja,
adanya ayat-ayat dalam bentuk ini dapat kita lihat misalnya dalam surat
Al-fatihah. Surat Al-Fatihah mengandung pokok ajaran agama
Islam yang terkandung dalam Al-Quran, yaitu tentang :
الالهيات
, والنبواة ,و القدر , اثباط القضاء , والمعاد
Empat hal itu terlihat dalam urutan ayat sebagai
berikut : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ menunjukkan tentang
ketuhanan, Allah penguasa seluruh jagat raya ini. Jagat raya ini akan bersimpuh
kepada Allah pada hari kiamat (مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ ). Ayat
ini menunjukkan ke situlah manusia akan kembali, kepada tuhan pencipta (المعاد). Oleh karena itu, ayat إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ menunjukkan bahwa untuk kembali kepada Tuhan dengan selamat.
Manusia hendaklah mengabdi dan pasrah diri dan sepenuhnya kepada Allah semata. اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ dan seterusnya menunjukkan adanya ketentuan Tuhan.
3.
Hubungan
Penutup(( فواصل و فاصلة Dan Kandungan Ayat Hubungan
seperti ini terdiri dari empat macam, yaitu :
a) Tamkin
التمكين))
Artinya memperkokoh atau mempertegas pertanyaan.
Contoh : QS; Al-Ahzab ayat 25 :
وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ
الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا (٢٥)
Artinya : Dan Allah menghalau orang-orang yang
kafir itu yang Keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh
Keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin
dari peperangan. dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Dari ayat ini dipahami bahwa Tuhan menghindarkan
orang mukmin dari perang disebabkan kelemahan mereka (orang-orang kafir),
karena angin kencang atau malaikat yang dikirim Allah. Pemahaman yang kurang
lurus ini diluruskan dengan fhasilah artinya Allah berkuasa memisahkan
antara dua golongan dalam perang tersebut (dalam perang badar). Kejadian ini
menguatkan orang-orang beriman agar mereka merasa bahwa orang-orang mukmin lah
yang menang.
b) Tashdir
(التصدير )
Kalimat akan menjadi fhasilah ayat
sudah dimuat di permulaan, atau pertengahan, atau akhir kalimat/ayat. Misalnya
:
QS. Al-Maidah: 39 :
فَمَنْ
تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ
QS. Al-Ahzab:
37:
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
QS. Al-Anbiya;
37: خُلِقَ
الإنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ سَأُرِيكُمْ آيَاتِي فَلا تَسْتَعْجِلُونِ
QS. An-Nisa: 166:
لَكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا
أَنْزَلَ إِلَيْكَ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِهِ وَالْمَلائِكَةُ يَشْهَدُونَ وَكَفَى
بِاللَّهِ شَهِيد
c) Tausikh
(التوشيخ) Kandungan fashilah ayat-ayat sudah tersirat dalam
rangakaian kalimat sebelumnya dalam suatu ayat. Misal surat Al-Baqarah(2) 20:
يَكَادُ
الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا
أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ
وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٠)
Kata قَدِير (mahakuasa) menegaskan bahwa
Allah bisa dan berkuasa untuk melakukan sesuatu bila ia kehandaki, apalagi
hanya menghilangkan penglihatan dan pendengaran manusia.
d) Al-Ighal
(الايغال) Yaitu penjelasan tambahan untuk mempertajam makna,
misal : QS. Al-Maidah(5); 50 ;
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
(٥٠)
Kalimat وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا sudah merupakan kalimat sempurna. Akan tetapi, ada persesuaian
fashilah-nya dengan kalimat sebelumnya lalu ditambah dengan لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ. QS. An-Naml(27): 80 :
إِنَّكَ
لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا
مُدْبِرِينَ (٨٠)
Makna kalimat ini telah lengkap sampai ke الدُّعَاء , lalu ditambahkan seterusnya
إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ untuk menyempurnakan hubungan dengan Fashilah ayat
sebelumnya.
4.
Hubungan
Awal Uraian Dengan Akhir Uraian Surat Dalam kitab Al-Itqan, As-Syuyuti memberikan
contoh-contoh tentang hubungan awal uraian dan akhir uraian suatu surat.
Hubungan ini tidak berdasarkan riwayat tertentu, tetapi merupakan telaah
pemikiran logis dari kandungan yang termakhtub dalam ayat-ayat itu. Berikut ini
adalah contoh yang menunjukkan hubungan tersebut : Awal surat dan akhir
surat Al-Qhasash (28) Surat Al-Qasash dengan kisah Nabi Musa dengan Fira’un
yang termuat dalam ayat 3 dan 4 misalnya, dan berakhir dengan uraian
tentang keadaan yang dihadapi Nabi Muhammad. Nabi Musa pada mulanya menghadapi
Fira’un yang kuat, namun kemudian pada akhirnya menemukan kemenangan dari
cengkeraman Fira’un. Sementara di akhir surat memberikan kabar gembira kepada
Nabi Muhammad yang menhadapi tekanan dari kaumnya, Muhammad pun memperoleh
kemenangan juga, yaitu Fath Makkah pada tahun VIII hijrah. Dalam kisah
ini kita memperoleh gambaran tentang adanya kesamaan keadaan dan proses yang
dihadapi antara Nabi Musa dab Nabi Muhammad SAW. Contoh lain juga ada pada surat Al-Mukminun (23)
dan surat Shad (38).
5.
Hubungan
Nama Surat Dengan Tujuan Turunnya Shubhi
As-Shalih, ketika membicarakan Asbab An-Nuzul, menyatakan bahwa segala
sesuatu pasti ada sebab dan tujuan. Begitu juga halnya dengan nama surat-surat
Al-Quran. Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya terbagi menjadi dua :
a.
Hubungan
yang diketahui berdasarkan riwayat. Misalnya
pada surat Al-Baqarah, kata Al-Baqarah di ambil dari kata yang terdapat dalam
ayat 67 sampai 71. Dan Surat
An-Nahl juga mempunyai kaitan nama dan tujuan turunnya berdasrkan riwayat, ada
beberapa riwayat dari Ibn Mas’ud, Abi Hurairah, dan Ibn Abbas. Yang terletak
pada ayat 9-67 surat An-Nahl.
b.
Hubungan
yang diketahui berdasarkan penelaah pikiran secara logis. Misalnya surat Al-Kahfi[18] dinamai demikian karena
didalamnya mengandung kisah Al-Kahfi.
6.
Hubungan
Surat Dengan Surat Sebelumnya As-Syuyuti
menyebutkan bahwa sebagian ulama meyakini bahwa tiap-tiap surat mempunyai
kaitan pasti dengan surat sebelumnya. Adakala jelas dan tidak. Hubungan surat
satu dengan surat sebelumnya dapat dicari melalui empat cara,
a.
Dilihat
melalui huruf (bi hasb huruf). Misalnya, surat-surat yang dimulai dengan
حم dan الر tersusun berurutan.
b.
Karena
ada persesuaian antara akhir suatu surat dengan permulaan surat berikutnya.
Misalnya akhir surat Al-Fatihah dengan permulaan surat Al-Baqarah.
c.
Dapat
dilihat melalui الوزن dalam lafadznya. Misalnya, ahir surat Al-Lahab dengan permulaan
surat Al-Ikhlas.
d.
Adanya
kemiripan (bahkan sama) dalam bilangan ayat dalam ayat dalam suatu surat dengan
surat berikutnya. Misalnya, bilangan surat الضحي dan
الم نشراح
7.
Hubungan
Penutup Surat Terdahulu Dengan Awal Surat Berikutnya Az-Zarkasyi
menyebutkan bahwa adanya hubungan awal dengan akhir surat sebelumnya merupakan
rahasia yang akan menunjukkan juga hubungan lafadznya. Contohnya : hubungan
akhir surat Ali ‘Imran [3] dengan permulaan surat An-Nisa [4]. Surat Ali ‘Imran
ditutup dengan perintah bersabar dan bertakwa kepada Allah, sedangkan surat
An-Nisa diawali oleh perintah takwa kepada Allah juga.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٢٠٠)
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263]
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264],
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.
E.
Fungsi
Dan faedah Ilmu Munasabah Al-quran
1. Ada empat fungsi utama dari Ilmu Al-Munasabah
a.
Untuk
menemukan arti yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat,
ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Quran.
b.
Untuk
menjadikan bagian-bagian dalam Al-Quran saling berhubungan sehingga tampak
menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral.
c.
Ada
ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat berikutnya.
d.
Untuk
menjawab kritikan orang luar (orientalis) terhadap sistematika Al-Quran.
2.
Faedah
mempelajari ilmu munasabah ini banyak, antara lain sebagai berikut :
a.
Mengetahui
persambungan hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau
ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lainnya. Sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan. Karena itu, Izzudin Abdul Salam
mengatakan, bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali.
Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Beliau
mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan betul-betul, baik di awal
atau diakhirnya.
b.
Dengan
ilmu munasabah itu dapat diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan bahasa
Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta
persesuaian ayat atau suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
meyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah
SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Karena itu Imam Arrazi mengatakan,
bahwa kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an itu terletak pada susunan dan
persesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra)
adalah yang sering berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya.
c.
Dengan
ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat / sesuatu ayat dengan
kalimat / ayat yang lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbatan
hukum-hukum atau isi kandungannya.
d.
Peranan munasabah dalam
tafsir Diantara para mufassir ada yang mengawali penafsirannya dengan terlebih
dahulu menampilkan asbab al-nuzul ayat atau surah yang akan ditafsirkan. Tetapi
sebagian dari mereka ada juga yang bertanya-tanya,manakah yang seharusnya
didahulukan, menguraikan sabab nuzul atau memulai penafsiran dengan
mengemukakan munasabah ayat-ayat, ataukah sebaliknya mengakhirkannya setelah
dilakukan penafsiran secara terperinci. Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang
erat antar ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaian yang serasi. Perlu
diketahui bahwa, secara garis besar ada tiga arti penting dari munasabah
sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan al- Qur’an. Pertama,
dari sisi balaghah, korelasi (tanasub) antara ayat dengan ayat menjadikan
keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an, dan bila dipenggal maka
keserasian, kehalusan, dari keindahan kalimat yang teruntai di dalam setiap
ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami
makna ayat atau surah. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan ragamnya jelas
membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut antara ayat yang satu dengan yang
lainnya, baik di bagian awal maupun di bagian akhirnya Ketiga, sebagai ilmu
kritis ilmu munasabah akan sangat membantu seseorang (mufassir) dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah hubungan antara ayat-ayat tersebut
dipahami secara tepat, dan dengan demikian akan dapat mempermudah dalam
pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di
dalamnya.
Kepustakaan
Dr.
M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.
Prof.
Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit
Pustaka Setia, Bandung februari 2006.
Drs.
Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober
2005.
Al-Quran,
Microsoft Word Office 2007.
www.makalah-ibnu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar