Jumat, 10 Februari 2017

Munasabah Al-Quran



A.                 Pengertian Ilmu Al-Munasabah
Munasabah berasal dari kata ناسب يناسب مناسبة yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. المناسبة sama artinya dengan المقاربة yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya.; النسيب artinya القريب المتصل (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi)  bahwa munasabah adalah ada-nya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna antara ayat dan macam-macam hubungan, atau kemestian dalam fikiran (nalar). Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat dicari penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat secara parsial (pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus dipahami secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami secara utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan akan datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia. Jadi, tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang Ulumul Quran tema munasabah hampir tak pernah terlewatkan .
Secara terminologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainya.
Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.
Menurut istilah, ilmu munasabah / ilmu tanasubil ayati was suwari ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian Al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat Al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus / antara abstrak dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lulnya, ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain. Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dalam menjangkau sinar petunjuknya.
Beberapa para ahi mengartikan munasabah sebagai berikut: :
1.      Menurut Az-Zarkasyi
سخيف هو الشيء الذي لا يمكن فهمه. عندما واجه السبب، لا بد من قبول هذا السبب.
Artinya : munasbah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapakan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2. Menurut manna’ Al-qathan
سخيف هو الرابط بين بعض العبارات في فقرة، أو بين الفقرات في بضع فقرات، أو بين الحروف
Artinya : munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan didalam suatu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar surat (didalam Al-quran).
3. Menurt Ibnu Al-‘Arabi
سخيف هو المرفق إلى آيات من القرآن الكريم حتى كما لو أنه هو تعبير عن أن لديها وحدة المعنى وتحرير النظام. سخيف هو العلم الذي هو كبير.
Artinya : munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-quran sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
4. Menurut Al-Biqa’I Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian –bagian Al-quran, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-quran, munasabah berarti menjelaskan korelaksi antar ayat atau antar surat, baik kolerasi itu bersifat umum maupun khusus : rasional (‘aqli), persepsi (hassiy) atau imajinatif (hayal) : atau korelasi atau berupa sebab akibat ,’llat dan Ma’lul, perbandingan dan perlawanan.
Ilmu munasabah yang juga disebut dengan “Tanasubil Aayati Wassuwari” pertama kali di cetus oleh  Imam Abu Bakar An-Naisaburi (wafat tahun 324 H), Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqai yang menulis kitab “Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan As-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq Al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”. Pada bagian ini muncul pertanyaan, apakah ilmu munasabah itu ada atau tidak?, dari pertanyaan ini muncul dua pendapat yang berbeda sebagai jawabannya. Pertama, pihak yang mengatakan secara pasti pertalian yang erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat (munasabah). Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh ‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd Al-‘Aziz Ibn, Abd As-Salam (577-600 H). Menurut aliran ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya kaitan pembicaraan (الكلام ارتبط ) itu bila antara permulaan dan  akhiranya terkait menjadi satu. Apabila hubungan itu terjadi dengan sebab yang berbeda-beda, tidaklah diisyaratkan adanya pertalian salah satunya dengan yang lain. Kalau Al-Munasabah ditinjau secara terminologis, dalam hal ini munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang di peroleh secara Aqli dan bukan  di peroleh secara tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu. Demikian Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang persoalan munasabah.Pendapat lain yang mengatakan adanya munasabah dalam Al-Quran juga di kemukakan oleh Mufassir, diantaranya As-Syuyuti, Al-Qaththan, Fazlurrahman Dll. Pihak kedua, mengatakan bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, sebab pristiwa-pristiwa tersebut  saling berlainan. Al-Quran disusun dan diturunkan serta diberi hikmah secara tauqifi dan tersusun atas petunjuk Allah. Terlepas dari kedua pendapat diatas , munasabah telah merupakan bagian tak terpisahkan dari ‘ulum Al-Quran. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi atau tauqifi barangkali akan dapat dijawab ketika memperhatikan telaah tentang kaitan ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
B.                 Pendapat-Pendapat Ulama Tentang Ilmu Munasabah
1.      Tertib Surah dan Ayat Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Quran adalah taukifi , artinya penetapan dari Rasul. Sementara tertib surah dalam Al-Quran masih terjadi perbedaan pendapat. Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan. Dalam hal ini ada tiga golongan:
a.      Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah
1)      Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentangs tertib surah dalam Al-Quran.
2)      Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
b.      Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.
c.       Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.
2.      Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi). Di antara ulama yang  yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
a.      Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh pada mushafnya.
b.      Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi. Dengan meneliti pembagian yang dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian Al-Quran dalam tujuh bagian yang seimbang.
c.       Hadis Ibn Abbas tentang alasan penyatuan surat At-Taubah dan Al-Anfal. Ibn Hajar menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan bahwa susunan Al-Quran taukifi, hanya karna Nabi tidak menjelaskan kepada Usman, maka surat At-Taubat disatukan dengan surah Al-Anfal. Selanjutnya Ibn Hajar menyatakan dalam mushaf Ibn Mas’ud  terdapat basmalah di  awal surat At-Taubah, tetapi tidak diambil oleh lembaga
d.      Nabi sering membaca Al-Quran dengan tertib surat yang ada pada sekarang.
3.      Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif  Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal”. Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini. Dan alasan lainnya:
Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.

C.                 Cara Mengetahui Munasabah
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarakan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari nabi maupun dari para sahabatnya. Oleh karena itu tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al;-quran diturunka secara berabsur-ansur mengukuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan  suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan untuk memaksakan diri. Falam hal ini syekh Izzuddin Bin ‘Abd as-salam berkata : Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antar kalam mensyartkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi p[ada berbagai sebab yang berbeda, keterkaitan salah satu dengan yang lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalupun itu terjadi, ia mengaitkan hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam al-quran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatiakan untuk menemukan munasabah ini, yaitu :
  1. Harus diperhatiakan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
  2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
  3. Menentukan tingkatan uraian-uaraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
  4. Dalam mengambil kesimopulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
D.                 Macam-macam Munasabah
Pada garis besarnya munasabah itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan dan hubungan surat dengan surat. Dua pokok hubungan itu di perincian sebagai berikut.
1.      Hubungan Kalimat Dengan Kalimat Dalam Ayat Fakhruddin Ar-Razi menyatakan bahwa “kehalusan / kelembutan” Al-Quran terletak pada keserasian tata urut dan hubungan-nya. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sebaik-baiknya pembicaraan adalah yang bagian satu berkaitan dengan bagian lain sehingga tak terputus. Shubhi As-Shaleh. menegaskan bahwa bahwa para ulama mensyaratkan adanya  munasabah dalam ayat itu apabila dua ayat atau lebih itu saling berhampiran. Hubungan antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat Al-Quran. Ayat yang satu dengan ayat lain adakalanya muncul secara jelas menunjukkan hubungan kalimat satu dengan kalimat lainnya. Hubungan itu memberikan kejelasan satu sama lain tentang maksud keseluruhan ayat. Namun, ada juga hubungan yang tidak jelas. Kandungan makna suatu ayat menjadi kabur karena  kaitan kalimat satu dengan kalimat lain tidak di pahamkan secara utuh. Hubungan “tidak” yang mengakibatkan samar-nya makna suatu ayat bila dikaitkan dengan kalimat berikutnya dipersambung oleh ma’tuf  معطوف (huruf athof). Muhammad ‘Abduh memberikan tekanan dan perhatian pada ayat-ayat yang dimulai dengan  ياايهالذى امنو . Tetapi Al-Baqi’i justru menyatakan bahwa semua ayat bahkan kalimat-kalimat dalam Al-Quran mempunyai ikatan satu sama lain.
Hubungan antara ayat dengan ayat dalam Al-Quran terbagi dalam dua macam. Pertama, hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang dibahas kemudian. Hubungan  ini  dapat berbentuk  اعتراض , تشديد , dan تفسير. Kedua,hubungan belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hubungan demikian terdiri dari dua macam lagi, yaitu    لا تكون معطفةdan تكون معطوفة
a.      Ma’thufah Secara umum dapat dikatakan bahwa adanya huruf ‘athof  ini mengisyaratkan adanya hubungan pembicaraan. Ini dapat dilihat misalnya dalam surat Al-Baqoroh (2): 245 :
 وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٢٤٥)
Namun demikian, ayat-ayat yang ma’thuf itu dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut.
1)      المضا دة (perlawanan/bertolak belakang antara satu kata dengan kata yang lain) Misalnya kata الرحمة disebut setelah العاذاب . kata الرغبة sesudah الرهبة ; menyebut janji dan ancaman sesudah menyebut hukum-hukum. Hubungan ini banyak terdapat dalam surah Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Maidah. Misal lain seperti dalam surah Al-Baqarah;6 :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ (٦)
artinya :Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
            Ayat ini menerangkan watak orang kafir yang pembangkang, keras kepala, tidak percaya kepada kitab-kitab Allah. Sedangkan pada ayat sebelumnya Allah menerangkan watak orang mukmin yang berlawanan dengan orang-orang kafir. Al-Baqarah (2);3-4 :

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣)وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (٤)
Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(3) Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(4)
2)  الاستطراد  (pindah kekata lain yang ada hubungannya atau penjelasannya lebih lanjut). Misal-nya surah Al-Ara’af; 26 :
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (٢٦)
Artinya ;Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. Ayat tersebut menjelaskan tentang nikmat Allah. Sedang Ditengah dijumpai kata وَلِبَاسُ التَّقْوَى yang mengalihkan pada penjelasan ini (pakaian). Dalam hal ini munasabah yang dapat dilihat adalah antara menutup tubuh atau aurat dengan kata-kata taqwa.
3)      التخلص (melepaskan kata kesatu ke kata lain, tetapi masih berkaitan). Misalnya ayat 35 surat An-Nur (24) :
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٣٥)

Artinya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ada lima التخلصات, yaitu :
a)      Menyebut نُورُ dengan perumpamaanya, lalu di takhallush-kan ke الزُّجَاجَةُ dengan menyebut sifatnya.
b)      Kemudian menyebut نُورُ dan زَيْتُونَةٍ yang meminta bantu darinya, lalu di takhallush dengan menyebut شَجَرَةٍ .
c)      Dari شَجَرَةٍ di-takhallush dengan menyebut sifat zaitun.
d)     Lalu di-takhallush dari menyebut sifat زَيْتُونَةٍ ke sifat نُور.
e)      Kemudian dari نُور di-takhallush ke nikmat Allah berupa hidayah (يَهْدِي) bagi orang yang Allah kehendaki.
4)      Tamsil dari kejadian.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٨٩)
Artinya ; Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal ini ditanyakan pula oleh Para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini. Ini merupakan perumpamaan orang yang suka membolak-balikkan pertanyaan. Pertanyaan demikian tidak baik.
b.      Tidak Ada Ma’thufah Dalam hal ini tidak ada ma’thufah dapat dicari hubungan maknawiyah-nya, seperti hubungan sebab akibat. Ada tiga bentuk, yaitu ;
1)      التنظير (berhampiran/berserupaan) Misalnya ayat 4 dan 5 surat Al-Anfal(8) :
أُولَئِكَ هُمُ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٤)كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ الْمُؤْمِنُونَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ (٥)
Huruf al-kaf (كَ) pada ayat lima berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi’il yang tersembunyi (مضمر فعل ). Hubungan itu tampak dari jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. Allah SWT menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad SAW mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya Rasul dari kalangan mereka (surat Al-Baqarah(2)151) : كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ, sebagai mana juga kaummu membencimu (Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad. Hubungan ini terjadi dengan ayat yang jauh sebelumnya.
2)      الاستطراد (pindah ke perkataan lain yang erat kaitannya)
Missal-nya surat Al-A’raaf ; 26, tentang pakaian takwa lebih baik. Allah  menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakain penutup aurat itu lebih baik. Pakain berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang telah Allah ciptakan. Pakaian adalah penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelak dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu t
3)      المضا دة (perlawanan) Misalnya surat Al-Baqarah (2); 6 :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ (٦)
Artinya; Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin, dan petunjuk. Hal ini berkaitan dengan ayat 23 surat Al-Baqarah ;
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٢٣)
Adapun hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan memantapkan iman berdasarkan petunjuk Allah SWT . التثويق و الثبوت على الاول.
2.      Hubungan Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surat Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat sudah di jelaskan sebagian dalam uraian sebelumnya. Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat sudah jelas. Hanya saja, adanya ayat-ayat dalam bentuk ini dapat kita lihat misalnya dalam surat Al-fatihah. Surat Al-Fatihah mengandung pokok ajaran agama Islam yang terkandung dalam Al-Quran, yaitu tentang :
الالهيات , والنبواة ,و القدر , اثباط القضاء , والمعاد
Empat hal itu terlihat dalam urutan ayat sebagai berikut : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ menunjukkan tentang ketuhanan, Allah penguasa seluruh jagat raya ini. Jagat raya ini akan bersimpuh kepada Allah pada hari kiamat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ). Ayat ini menunjukkan ke situlah manusia akan kembali, kepada tuhan pencipta (المعاد). Oleh karena itu, ayat إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ menunjukkan bahwa untuk kembali kepada Tuhan dengan selamat. Manusia hendaklah mengabdi dan pasrah diri dan sepenuhnya kepada Allah semata. اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ dan seterusnya menunjukkan adanya ketentuan Tuhan.


3.      Hubungan Penutup(( فواصل و فاصلة Dan Kandungan Ayat Hubungan seperti ini terdiri dari empat macam, yaitu :
a)      Tamkin التمكين))
Artinya memperkokoh atau mempertegas pertanyaan. Contoh : QS; Al-Ahzab ayat 25 :
وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا (٢٥)
Artinya : Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang Keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh Keuntungan  apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Dari ayat ini dipahami bahwa Tuhan menghindarkan orang mukmin dari perang disebabkan kelemahan mereka (orang-orang kafir), karena angin kencang atau malaikat yang dikirim Allah. Pemahaman yang kurang lurus ini diluruskan dengan fhasilah artinya Allah berkuasa memisahkan antara dua golongan dalam perang tersebut (dalam perang badar). Kejadian ini menguatkan orang-orang beriman agar mereka merasa bahwa orang-orang mukmin lah yang menang.
b)      Tashdir (التصدير )
Kalimat akan menjadi fhasilah  ayat sudah dimuat di permulaan, atau pertengahan, atau akhir kalimat/ayat. Misalnya :
QS. Al-Maidah: 39 :         فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ
QS. Al-Ahzab: 37:                                وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
QS. Al-Anbiya; 37:          خُلِقَ الإنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ سَأُرِيكُمْ آيَاتِي فَلا تَسْتَعْجِلُونِ            
QS. An-Nisa: 166:
لَكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِهِ وَالْمَلائِكَةُ يَشْهَدُونَ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيد
c)      Tausikh (التوشيخ) Kandungan fashilah ayat-ayat sudah tersirat dalam rangakaian kalimat sebelumnya dalam suatu ayat. Misal surat Al-Baqarah(2) 20:
يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٠)
Kata قَدِير (mahakuasa) menegaskan bahwa Allah bisa dan berkuasa untuk melakukan sesuatu bila ia kehandaki, apalagi hanya menghilangkan penglihatan dan pendengaran manusia.
d)     Al-Ighal (الايغال) Yaitu penjelasan tambahan untuk mempertajam makna, misal : QS. Al-Maidah(5); 50 ;
 أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (٥٠)
Kalimat وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا sudah merupakan kalimat sempurna. Akan tetapi, ada persesuaian fashilah-nya dengan kalimat sebelumnya lalu ditambah dengan لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ. QS. An-Naml(27): 80 :
إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ (٨٠)
Makna kalimat ini telah lengkap sampai ke الدُّعَاء , lalu ditambahkan seterusnya إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ untuk menyempurnakan hubungan dengan Fashilah ayat sebelumnya.
4.      Hubungan Awal Uraian Dengan Akhir Uraian Surat Dalam kitab Al-Itqan, As-Syuyuti memberikan contoh-contoh tentang hubungan awal uraian dan akhir uraian suatu surat. Hubungan ini tidak berdasarkan riwayat tertentu, tetapi merupakan telaah pemikiran logis dari kandungan yang termakhtub dalam ayat-ayat itu. Berikut ini adalah contoh yang menunjukkan hubungan tersebut : Awal surat dan akhir surat Al-Qhasash (28) Surat Al-Qasash dengan kisah Nabi Musa dengan Fira’un yang termuat dalam ayat 3 dan 4 misalnya, dan berakhir  dengan uraian tentang keadaan yang dihadapi Nabi Muhammad. Nabi Musa pada mulanya menghadapi Fira’un yang kuat, namun kemudian pada akhirnya menemukan kemenangan dari cengkeraman Fira’un. Sementara di akhir surat memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menhadapi tekanan dari kaumnya, Muhammad pun memperoleh kemenangan juga, yaitu Fath Makkah pada tahun VIII hijrah. Dalam kisah ini kita memperoleh gambaran tentang adanya kesamaan keadaan dan proses yang dihadapi antara Nabi Musa dab Nabi Muhammad SAW. Contoh lain juga ada pada surat Al-Mukminun (23) dan surat Shad (38).
5.      Hubungan Nama Surat Dengan Tujuan Turunnya Shubhi As-Shalih, ketika membicarakan Asbab An-Nuzul, menyatakan bahwa segala sesuatu pasti ada sebab dan tujuan. Begitu juga halnya dengan nama surat-surat Al-Quran. Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya terbagi menjadi dua :
a.      Hubungan yang diketahui berdasarkan riwayat. Misalnya pada surat Al-Baqarah, kata Al-Baqarah di ambil dari kata yang terdapat dalam ayat 67 sampai 71. Dan Surat An-Nahl juga mempunyai kaitan nama dan tujuan turunnya berdasrkan riwayat, ada beberapa riwayat dari Ibn Mas’ud, Abi Hurairah, dan Ibn Abbas. Yang terletak pada ayat 9-67 surat An-Nahl.
b.      Hubungan yang diketahui berdasarkan penelaah pikiran secara logis. Misalnya surat Al-Kahfi[18] dinamai demikian karena didalamnya mengandung kisah Al-Kahfi.
6.      Hubungan Surat Dengan Surat Sebelumnya As-Syuyuti menyebutkan bahwa sebagian ulama meyakini bahwa tiap-tiap surat mempunyai kaitan pasti dengan surat sebelumnya. Adakala jelas dan tidak. Hubungan surat satu dengan surat sebelumnya dapat dicari melalui empat cara,
a.       Dilihat melalui huruf (bi hasb huruf). Misalnya, surat-surat yang dimulai dengan حم dan الر tersusun berurutan.
b.      Karena ada persesuaian antara akhir suatu surat dengan permulaan surat berikutnya. Misalnya akhir surat Al-Fatihah dengan permulaan surat Al-Baqarah.
c.       Dapat dilihat melalui الوزن dalam lafadznya. Misalnya, ahir surat Al-Lahab dengan permulaan surat Al-Ikhlas.
d.      Adanya kemiripan (bahkan sama) dalam bilangan ayat dalam ayat dalam suatu surat dengan surat berikutnya. Misalnya, bilangan surat  الضحي  dan الم نشراح
7.      Hubungan Penutup Surat Terdahulu Dengan Awal Surat Berikutnya Az-Zarkasyi menyebutkan bahwa adanya hubungan awal dengan akhir surat sebelumnya merupakan rahasia yang akan menunjukkan juga hubungan lafadznya. Contohnya : hubungan akhir surat Ali ‘Imran [3] dengan permulaan surat An-Nisa [4]. Surat Ali ‘Imran ditutup dengan perintah bersabar dan bertakwa kepada Allah, sedangkan surat An-Nisa diawali oleh perintah takwa kepada Allah juga.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٢٠٠)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
E.                 Fungsi Dan faedah Ilmu Munasabah Al-quran
1.      Ada empat fungsi utama dari Ilmu Al-Munasabah
a.       Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Quran.
b.      Untuk menjadikan bagian-bagian dalam Al-Quran saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral.
c.       Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat berikutnya.
d.      Untuk menjawab kritikan orang luar (orientalis) terhadap sistematika Al-Quran.
2.      Faedah mempelajari ilmu munasabah ini banyak, antara lain sebagai berikut :
a.       Mengetahui persambungan hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lainnya. Sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan. Karena itu, Izzudin Abdul Salam mengatakan, bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan betul-betul, baik di awal atau diakhirnya.
b.      Dengan ilmu munasabah itu dapat diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta persesuaian ayat atau suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Karena itu Imam Arrazi mengatakan, bahwa kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an itu terletak pada susunan dan persesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah yang sering berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
c.       Dengan ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat / sesuatu ayat dengan kalimat / ayat yang lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.
d.      Peranan munasabah dalam tafsir Diantara para mufassir ada yang mengawali penafsirannya dengan terlebih dahulu menampilkan asbab al-nuzul ayat atau surah yang akan ditafsirkan. Tetapi sebagian dari mereka ada juga yang bertanya-tanya,manakah yang seharusnya didahulukan, menguraikan sabab nuzul atau memulai penafsiran dengan mengemukakan munasabah ayat-ayat, ataukah sebaliknya mengakhirkannya setelah dilakukan penafsiran secara terperinci. Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antar ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaian yang serasi. Perlu diketahui bahwa, secara garis besar ada tiga arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan al- Qur’an. Pertama, dari sisi balaghah, korelasi (tanasub) antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an, dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan, dari keindahan kalimat yang teruntai di dalam setiap ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan ragamnya jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik di bagian awal maupun di bagian akhirnya Ketiga, sebagai ilmu kritis ilmu munasabah akan sangat membantu seseorang (mufassir) dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah hubungan antara ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan dengan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya. 

Kepustakaan
Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, Bandung februari 2006.
Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober 2005.
Al-Quran, Microsoft Word Office 2007.
www.makalah-ibnu.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau Tanralili ( Surga Di Kaki Gunung Bawakaraeng)

Sumb er: Dokum entasi Pribadi M e nd e ngar kata Gunung Bawakara e ng s e kilas akan t e rlintas angan t e ntang k e tinggian dan huta...