A.
Pendahuluan
Ilmu tafsir Al Qur’an
terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan
ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur’an dapat bermakna bagi umat Islam di
segala waktu dan segala tempat. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsilah
metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa
metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al Qur’an maka
dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al Qur’an. Melihat sejarah awal
perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran al-Qur’an secara estafet,
yaitu tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan
tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Untuk meminimalisir perdebatan
tentang bentuk kedua jenis tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya
tidak sebagai sebagai sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis
penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap al-Qur’an.
Tulisan ini akan memberikan penjelasan singkat tentang tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi al-ra’yi.
B.
Tafsir bir-Ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut
definisinya, Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada
pendapat pribadi mufassir. setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat
istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan Nabi sebagai
mubayyin maupun penjelasan shahabat-shahabatnya. Sekilas hal ini jelas akan
berimplikasi negatif pada penyimpulan istinbat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama menolak tafsir ini
bahkan diantaranya ada yang mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir
pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir. Pada
masa ini Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab
dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan
umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari
ayat-ayatal-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang
mereka anut. Meskipun telah terdapat upaya sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka
telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan
tabi’in sebagai tonggak munculnya ijtihad namun tidak menutup kemungkinan bahwa
sejak zaman Nabi, benih-benih tafsir bir-ra’yi telah tumbuh dikalangan ummat
Islam.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak
semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat
secara mutlak. akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam
sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan
akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti
kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair,
prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai
peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan,
pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga
menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat
itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran.
Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai
kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi
yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebagian ulama menerima tafsir ini dengan beberapa syarat yang cukup ketat
diantaranya : (a) menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya (b) menguasai
ilmu-ilmu al-Qur’an (c) berakidah yang benar (d) mengetahui prinsip-prinsip
pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat
yang ditafsirkan. Dengan syarat-syarat tersebut diharapkan tidak ada
penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sedikit mendialogkan pro-kontra
seputar penerimaan tafsir bir-ra’yi dikalangan ulama, bahwa kedua pendapat yang
bertentangan itu mungkin hanya merupakan kesalah pahaman dalam istilah ra’y.
Jelas semua ulama sepakat menolak semua jenis penafsiran yang hanya menggunakan
ra’y [pemikiran] saja tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang berlaku akan
tetapi mereka menerima ijtihad yang didasari oleh al-Qur’an, Sunnah Nabi serta
kaidah-kaidah yang berlaku. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadirnya
tafsir bir-ra’yi justru merupakan perkembangan signifikan dalam khazanah tafsir
al-Qur’an. Namun tidak mengesampingkan kelemahan yang sedikit telah disinggung
diatas bahwa pada masa ini rentan terhadap penyusupan kepentingan dan politik.
Contoh Tafsir bir ra’yi dalam Tafsir Jalalain:
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (QS Al Alaq 2)
Kata ‘alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ‘alaqah
yang berarti segumpal darah yang kental.
Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
1.
Tafsir Abdurrahman bin
Kaisan al-Asam
2.
Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
3.
Tafsir Abdul Jabbar
4.
Tafsir az-Zamakhsyari,
al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
5.
Tafsir Fakhruddin ar-Razi,
Mafatihul Ghaib
6.
Tafsir an-Nasafi,
Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
7.
Tafsir al-Khazin, Lubabut
Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
8.
Tafsir Abu Hayyan,
al-Bahrul Muhit
9.
Tafsir al-Baidlawi,
Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
10. Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
C.
Tafsir bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan
dan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang lain, Sunnah yang tertuang dalam
hadits-hadits Nabi, pendapat Shahabat dan Tabi’in. Namun terdapat perbedaan
dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada
indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal berbeda
dengan pendapat shahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu
ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu shahabat juga menyertai Nabi pada
saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab an-Nuzul
sebuah ayat. Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul
pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam. Sedikit sekali terjadi
perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan
yang ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an tersebut. sehingga wajar ditemukan perbedaan.
Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada
masa itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan
redaksi mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang
juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap
kata shirat al-mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai al-Qur’an dan sebagian
yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada
karena Islam didasari oleh al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu
menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh beracuan pada aspek
riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena dianggap sebagai
jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari
ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an. Namun bukan berarti
tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber kajian
tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad
shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan ijtihad. Dalam bahasa
Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi telah
wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani yang telah
masuk Islam dan hal inilah yang ditengarai sebagai awal kemunculan
Isra’iliyyat. Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
1.
Banyak ditemukan
riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan
merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2.
Banyak ditemukan
usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang
dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
3.
Tercampur aduknya
riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
4.
Banyak ditemukan riwayat
Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Karya-karya Kitab Tafsir bil-ma’tsur :
1.
Tafsir Ibn Abbas
2.
Tafsir Ibn ‘Uyainah
3.
Tafsir Ibn Abi Hatim
4.
Tafsir Abu Syaikh bin
Hibban
5.
Tafsir Ibn ‘Atiyyah
6.
Tafsir Abu Laits
as-Samarqandi
7.
Tafsir Abu Ishaq,
al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
8.
Tafsir Ibn Jarir
at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an
9.
Tafsir Ibn Abi Syaibah
10. Tafsir al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
11. Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim
12. Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an
13. Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri bi al Ma’tsur
14. Tafsir as-Syaukani, Fath al-Qadir
Kepustakaan
Alfatih
Suryadilaga. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Teras. Yogyakarta. hlm. 113.
Hasbi ash
Shiddieqy. 1972. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bulan Bintang. Jakarta. hlm. 220.
Manna’ Khalil
al-Qattan. 2001. Studi Ilmu-ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS. Pustaka Litera
Antar Nusa. Bogor. hlm. 482.
Muhammad H.
adz-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid I. hlm. 34.
Muhammad
Quraish Shihab. 1996. Membumikan
al-Qur’an. Mizan. Bandung. hlm. 71.
Nashruddin
Baidan. 2002. Metode Penafsiran Al-Qur’an. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. hlm.
49.
Supiana, dkk. Ulumul
Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir. Pustaka Islamika. Bandung: hlm.
304.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar